17 Maret 2010

» Home » Solo Pos » Putri Cempo sebagai sentra produksi pedet

Putri Cempo sebagai sentra produksi pedet

Gagasan ini mungkin sangat kontroversial di tengah-tengah wacana yang kuat wajib disingkirkannya sapi-sapi yang digembalakan di TPA Putri Cempo. Di areal seluas 17 hektare, tidak kurang dari 1.025 ekor ternak sapi berpesta pora melahap sampah pasar dan domestik yang diturunkan dari puluhan truk yang setara 250 ton/hari.

Berdasarkan perhitungan teknis, jumlah pakan ternak gratis ini berpotensi memberi makan sapi secara ad libitum lebih dari 6.600 ekor. Dengan asumsi konsumsi bahan kering (BK) 3,68 kg rata-rata per ekor.

Kondisi penggembalaan bebas tersebut telah berjalan lebih dari satu dasawarsa dan secara riil mampu menambah pendapatan berkala bagi para pemulung di samping pendapatan pokok mereka sehari-hari dari mengais sisa-sisa plastik, kardus, logam dan kaca. Program pemberian gaduhan ternak sapi dari pemerintah seakan-akan turut mendorong pengakuan model penggembalaan ternak tersebut sebagai instrumen bagi peningkatan kesejahteraan para pemulung.

Pendidikan mereka yang rendah, di mana lebih dari 72% hanya setingkat SD menjadikan profesi inilah yang baru bisa mereka kerjakan saat ini. Dari penggemukan sapi potong di TPA telah memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan produksi daging. Terlebih-lebih negara kita masih mengimpor daging dari luar negeri.

Program menuju swasembada daging belum mencapai hasil yang signifikan. Sayangnya hasil penelitian yang dilakukan oleh instansi pembina di bidang peternakan bekerja sama dengan perguruan tinggi menunjukkan hasil dari sapi-sapi yang digembalakan di TPA Putri Cempo dagingnya mengandung logam berat Pb di atas ambang batas yang dipersyaratkan.

Sehingga direkomendasikan untuk dihindari dari dikonsumsi manusia. Vonis ini menjadi alasan yang kuat untuk menutup TPA guna dimanfaatkan bagi penggembalaan sapi potong dan sekaligus membuka peluang bagi investor untuk mengelola guna tujuan lain.

Kinerja reproduksi

Apabila TPA memang tidak mungkin dipakai untuk usaha penggemukan sapi sebagai penghasil daging, apakah tertutup peluang lain agar para pemulung sekaligus peternak dapat diselamatkan dari ancaman turunnya pendapatan mereka?

Suatu penelitian yang didanai dari hibah bersaing Ditjen Dikti Depdiknas telah menyimpulkan, bahwa tampilan reproduksi dari induk-induk sapi di TPA Putri Cempo memiliki keunggulan dibanding dengan rata-rata peternakan rakyat secara nasional. Calving interval atau jarak beranak rata-rata adalah 13,6 bulan sekali. Ini berarti lebih pendek daripada rata-rata nasional pada peternakan rakyat pada umumnya yaitu, 17,5 bulan sekali.

Dengan rata-rata bobot lahir 23,15 kg, berarti normal untuk sapi PO dengan interval 21.1-24,5 kg. Lebih separuh populasi memiliki frekuensi beranak 4-7 kali dengan post partum mating 3,21 bulan. Sedang peternakan rakyat pada umumnya sapi-sapi induk baru kawin lagi setelah beranak lebih dari tujuh bulan.

Solusi

Realita tersebut di atas kiranya sayang kalau diabaikan begitu saja. Fakta menunjukkan bahwa sampah memiliki potensi sebagai pakan ternak untuk pembibitan yang sangat besar baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, sehingga cukup strategis apabila dikembangkan pola pembibitan berbasis pakan sampah ini.

Untuk itu perlu penataan bersama antara investor dengan para petani ternak. Investor bisa menyiapkan kondisi lahan dengan membuat jalur-jalur penggembalaan (strip grazing) menggunakan teknologi electric fancing cable (kawat kejut listrik) yang tidak berbahaya bagi manusia dan ternak. Pada jalur yang ditetapkan penggembalaan dilakukan dan para pemulung dapat mengambil barang-barang yang dapat didaur ulang.

Setelah sapi puas dengan santapannya di jalur yang bersangkutan ia akan memberikan kontribusi berupa kotoran yang akan memperkaya sampah menjadi bahan baku pupuk organik maupun sumber energi seperti biogas yang dapat diubah jadi listrik. Para pemulung telah mendapatkan pendapatan hariannya. Dengan sistem rotasi, maka akan terjadi siklus yang tidak pernah terputus sehingga pelestarian TPA pun telah terwujud.

Guna meningkatkan daya guna dan hasil guna TPA ini peningkatan pengetahuan pemulung sebagai peternak perlu ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan. Apabila saat ini perkawinan sapi 90% masih dengan kawin alam, maka dikemudian hari perlu dikembangkan inseminasi buatan (IB) dengan bimbingan, fasilitas dan subsidi dari pemerintah. Bila perlu dilakukan program synchronisasi estrous agar terjadi kelahiran yang serempak dan dengan frozen semen dari sapi unggul Brahman, Simmental, Aberden Angus akan diperoleh generasi baru sapi yang unggul.

Setelah disapih pedet-pedet itu langsung dikeluarkan dari area TPA, dibebaskan dari memakan sampah. Ia akan menjadi calon-calon induk atau sapi jantan untuk bakalan penggemukan yang berdaging sehat bagi manusia. Bila kita memiliki 1.000 ekor induk sapi pemakan sampah gratis di TPA, lebih kurang 700 ekor pedet akan lahir setiap tahun; ini berarti pendapatan lebih dari Rp 5 miliar per tahun dari hasil penjualan anak sapi lepas sapih.




Performans reproduksi

Parameter  Sapi induk  Sapi induk di 

   di TPA  peternakan rakyat

Litter size    1 ekor 1 ekor

Pedet betina baru lahir   62,96% -

Pedet jantan baru lahir   37,04% -

Pedet betina lepas sapih  53,57% - 

Pedet jantan lepas sapih  46,43  -    

Bobot lahir    23,15 kg 21,1-24,5 kg

Bobot sapih    168,56 kg 104,6-109 kg

Umur sapih    9,18 bulan 4,7-6,8 bulan

S/C kawin IB    2,5 kali 1,9-2,2 kali

S/C kawin alam    1,2 kali 1,7-2,1 kali

Calving interval   13,59 bulan 15,5-17,5 bulan

Post partum mating   3,21 bulan 5,5-7,7 bulan

Mortalitas    12%  7%

 Sumber: berbagai penelitian 
- Oleh : Hartono, Dosen Akademi Peternakan Karanganyar

Opini SoloPos 18 Maret 2010