17 Maret 2010

» Home » Kompas » Perlu Konsultasi Presiden-DPR

Perlu Konsultasi Presiden-DPR

Ketika publik masih menunggu tindak lanjut rekomendasi DPR atas dugaan kesalahan kebijakan dalam penalangan Bank Century, kini justru berkembang wacana boikot terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Apa dampak wacana boikot yang berkembang di antara anggota Badan Anggaran DPR tersebut?
Meskipun rencana untuk menolak kehadiran Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR baru sekadar sikap individual beberapa orang anggota DPR, wacana tersebut jelas mengkhawatirkan. Persoalannya, setiap kebijakan penting dan strategis negeri ini diputuskan secara bersama-sama oleh DPR dan Presiden. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2010 adalah salah satu kebijakan strategis berbentuk undang-undang yang memerlukan keputusan bersama DPR-Presiden.
Karena itu, seandainya rencana boikot itu menjadi kenyataan, yang terjadi bukanlah sekadar penolakan Badan Anggaran terhadap Sri Mulyani, melainkan juga penolakan institusi DPR terhadap Presiden karena Menkeu mewakili Presiden selaku salah satu unsur pembentuk UU bersama-sama dengan DPR.
Fenomena inilah yang sering disebut sebagai situasi kebuntuan politik (deadlock) dalam relasi eksekutif-legislatif yang potensial muncul dalam skema sistem demokrasi presidensial berbasis multipartai. Secara teoretis sistem presidensial memang lebih menjamin stabilitas politik ketimbang sistem parlementer karena adanya jaminan konstitusi atas masa jabatan presiden yang bersifat tetap. Namun, ahli perbandingan politik, seperti Juan J Linz (1994), mengingatkan bahwa komplikasi politik presidensialisme justru muncul dari sifat keterpisahan kekuasaan antara presiden dan parlemen.



Scott Mainwaring (1993) juga mengingatkan, komplikasi keterpisahan kekuasaan eksekutif-legislatif itu lebih berisiko lagi jika presidensialisme berbasis sistem multipartai karena bisa berujung pada situasi kebuntuan politik. Salah satu komplikasi politik yang diingatkan Linz adalah kemungkinan terjadinya legitimasi demokratis ganda (dual democratic legitimacy), yakni ketika presiden dan parlemen saling mengklaim legitimasi yang lebih kuat di hadapan rakyat. Di satu pihak, presiden mengklaim lebih legitimate dibandingkan dengan parlemen, begitu pula sebaliknya, karena dua-duanya terpilih secara demokratis melalui pemilihan umum.
Pada dasarnya fenomena itulah yang kita saksikan ketika DPR menyatakan terdapat kesalahan kebijakan dalam skandal Bank Century. DPR tentu berharap bahwa rakyat ”bertepuk tangan” atas sikap parlemen yang diputuskan melalui mekanisme pemungutan suara secara terbuka tersebut. Sebaliknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga berbicara di hadapan rakyat yang sama dengan harapan ”tepuk tangan” yang sama pula, menegaskan bahwa kebijakan tersebut sudah tepat dan benar.
Mencari titik temu
Meskipun demikian, peringatan Linz dan Mainwaring tidak perlu dikhawatirkan jika lembaga eksekutif dan legislatif tidak sepenuhnya terpisah, seperti dianut bangsa kita. Juga, apabila dalam pengelolaan relasi eksekutif-legislatif tersedia instrumen politik yang bisa menjembatani potensi konflik dan ketegangan politik antara dua cabang kekuasaan utama tersebut.
Dalam konteks kita, tidak hanya tersedia mekanisme ”persetujuan bersama” antara presiden dan DPR atas setiap kebijakan penting dan strategis, melainkan juga ada mekanisme rapat konsultasi antara presiden dan pimpinan DPR, termasuk pimpinan fraksi, komisi, dan alat-alat kelengkapan Dewan lainnya. Rapat konsultasi memang tidak diatur dalam konstitusi, tetapi dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Melalui mekanisme rapat konsultasi, Presiden dan pimpinan DPR tak hanya bisa saling mendengar harapan masing- masing terhadap penyelesaian skandal Century, tetapi juga dapat saling mencari titik temu atas perbedaan sikap dan posisi politik kedua pihak. Tak kalah penting, bagaimana Presiden dan DPR dapat saling menghargai perbedaan sikap politik masing-masing tanpa harus terperangkap konflik politik yang tak produktif.
Posisi saling berhadapan antara DPR dan Presiden dalam skandal Century tentu tak harus berujung pada terganggunya hubungan kemitraan dan kerja sama kedua pihak. Terlalu besar risiko dan ongkos politik bagi negeri ini jika DPR dan Presiden membiarkan diri terperangkap dalam relasi konflik yang berdampak pada stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan.
Oleh karena itu, sudah waktunya Presiden Yudhoyono mengambil inisiatif bagi suatu rapat konsultasi antara Presiden dan pimpinan DPR. Pengalaman periode 2004-2009 memperlihatkan, konflik dan ketegangan antara presiden dan DPR hampir selalu dapat ”dicairkan” melalui rapat konsultasi presiden-pimpinan DPR yang diadakan secara bergantian di Istana Negara dan Gedung MPR/DPR/DPD.
Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa rapat konsultasi hendaknya tidak berubah menjadi arena negosiasi dan transaksi politik jangka pendek antara Yudhoyono dan partai-partai politik (parpol) yang bersikap oposisi terhadap pemerintah sebab jika hal itu terjadi, mungkin hampir tak ada yang diperoleh rakyat negeri ini dari heboh skandal Century, kecuali kekecewaan demi kekecewaan.
Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI

Opini Kompas 18 Maret 2010