17 Maret 2010

» Home » Lampung Post » Pendidikan Islam Inklusif?

Pendidikan Islam Inklusif?

Aan Hasanah
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Bandung
Peradaban Islam pernah mengalami perkembangan yang pesat pada abad pertengahan. Karakteristik peradaban yang dikembangkan pada saat itu berlandaskan pada dua hal. Pertama, berkembangnya nilai-nilai masyarakat yang terbuka (open society) yang menghasilkan kontak dengan kebudayaan-kebudayaan lain, yang mana kontak kebudayaan ini kemudian melahirkan nilai-nilai baru yang modern dan egaliter. Kedua, perkembangan humanisme yang melahirkan perhatian terhadap masalah hubungan antara sesama manusia. Dalam perspektif ini manusia memiliki otoritas yang lebih luas dalam menentukan makna kehidupan dan peradabannya. Kedua nilai ini menjadi spirit dalam membangun peradaban yang modern.
Namun, pada perkembangan berikutnya, akar peradaban modern yang berbasis pada open society dan humanisme ini tidak berkembang baik di negara-negara Islam. Justru spirit ini telah diambil alih oleh negara Barat sehingga sekarang mereka memimpin peradaban dunia. Sekarang spirit yang sama dikembangkan oleh negara-negara non-Barat yang non-Islam seperti India, China, Jepang, dan Korea. Mereka adalah negara modern baru yang mengembangkan peradaban Timur dengan memasukkan elemen-elemen tradisi Timur dengan elemen modernitas Barat, menjadi peradaban modern baru yang berbasis pada induk budaya (mother culture) agama.


Bertumbuhkembangnya negara modern baru non-Barat yang non-Islam ini melahirkan pertanyaan epistemologis. Mengapa negara-negara Islam dan berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia yang memiliki kebudayaan induk yang sangat kohesif justru tertinggal dari negara-negara lainnya? Padahal, modal sosial yang dimiliki lebih dari cukup untuk membangun sebuah peradaban Islam yang modern.
Jika nilai-nilai Islam yang memiliki induk kebudayaan (mother culture) yang amat kohesif, sesungguhnya jati diri itulah yang harus dikembangkan oleh model pengembangan pendidikan Islam. Di mana pun Islam berkembang, seharusnya tempat tersebut mampu menjadi melting values untuk membangun peradaban baru yang lebih maju. Karena itu, tantangan yang paling besar adalah mengubah paradigma Islam ekslusif menjadi paradigma Islam inklusif. Ketika kita menempatkan Islam vis a vis dengan peradaban modern dan menjadi sangat ekslusif, sekohesif apa pun induk kebudayaan ini, tidak akan mampu membangun peradaban.
Sistem pendidikan Islam harus dikembangkan untuk menanamkan pemahaman Islam yang moderat, terbuka, toleransi, dan menghargai ragam perbedaan. Dengan memahami realitas masyarakat yang majemuk maka konsepsi pendidikan yang dikembangkan pada lembaga pendidikan Islam adalah pemahaman, semangat, dan cara pengelolaan yang mampu mengakomodasi perbedaan dan keragaman dengan tanpa mengorbankan keyakinan dalam keberagamaan masing-masing individu. Tetapi, selama pemahaman keagamaan berada pada ujung yang ekstrem, pendidikan Islam akan tetap menjadi periferal dan marjinal.
Selain itu, pendidikan Islam juga harus responsif terhadap kehidupan berdemokrasi. Pendidikan demokrasi perlu dikembangkan sebagai upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih menghargai hak-hak individu, termasuk kebebasan berpikir, berserikat, berpendapat, dan bebas dari ketakutan (Cohen:2002; Cristoper:1989). Upaya ini penting untuk menciptakan kohesivitas nasional dan komitmen warganya dalam membangun warga negara kesatuan yang demokratis.
Sudah saatnya sekarang ini pendidikan Islam juga mampu untuk memgembangkan dan menjalankan pola pikir yang sama, yaitu sebuah cara berpikir maju dan moderat yang sejauh ini belum terlihat secara maksimal di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Peluang untuk sampai ke arah itu telah tersedia, yaitu dengan diakomodasinya pola pengelolaan pendidikan Islam ke dalam Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan Islam juga dituntut untuk responsif terhadap modernisasi pembelajaran yang telah berjalan pada lembaga-lembaga pendidikan sekolah umum di bawah Kementerian Pendidikan. Ada dua hal yang bisa dikembangkan. Pertama, mengembangkan strategi pembelajaran aktif dengan berpusat pada siswa, di samping mengembangkan sikap yang sensitif terhadap perubahan melalui berbagai strategi pembelajaran yang tepat dan mengembangkannya sesuai dengan kondisi psikososial anak. Yang tidak kalah penting adalah yang kedua, yaitu memodernisasi fasilitas pembelajaran, lingkungan, dan faktor pendukung, seperti manajemen sekolah yang terbuka, transparan, dan akuntabel, termasuk keterlibatan dari orang tua, pemerintah, masyarakat serta para pemangku kepentingan pendidikan lainnya.
Persoalan-persoalan krusial di atas adalah gambaran bahwa lembaga pendidikan Islam masih eksklusif. Tetapi, jika nilai-nilai di atas dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh para pengelola dan pengasuh dalam lingkup pendidikan Islam, peluang untuk tampil sebagai pilar peradaban baru yang modern dan kokoh berlandaskan pada nilai-nilai keislaman sangat terbuka luas. Berbagai tantangan khas umat Islam di Indonesia membutuhkan sikap yang terbuka dari pemerintah dan lembaga pendidikan Islam itu sendiri untuk mengembangkan berbagai model pendidikan yang inklusif, terbuka, dialogis, serta bertumpu pada kebutuhan siswa. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan Islam mampu melahirkan SDM tangguh dan berkarakter kuat yang akan berkiprah mengisi dan menciptakan peradaban baru yang bertumpu pada nilai keagamaan, spiritualitas, dan humanisme.
Opini Lampung Post 18 Maret 2010