17 Maret 2010

» Home » Kompas » Anak dan "KDRT"

Anak dan "KDRT"

Tanggal 28 Januari 2010 adalah tanggal penting bagi pemerhati pendidikan Indonesia. Pada hari itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkritik bahwa ujian nasional untuk bahasa Inggris terlalu sulit.
Tindakan Presiden itu tepat dan malah dapat diperluas pada seluruh rencana UN (dalam hal ini sulit bagi orang Kementerian Pendidikan Nasional untuk menuduh Presiden tidak tahu tentang pendidikan, seperti sering dituduhkan kepada orang yang mengkritik kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional tentang ujian ataupun tentang lainnya). Itu dilakukan Presiden pada suatu sekolah di Banten. Di Jakarta Pusat, Aldo, seorang anak yang belum tamat SD, melatih matematika kepada sekelompok anak SMP. Itu tanda bahwa ujian SD yang ditempuh anak SMP itu (dan dia lulus) sama sekali tidak membuktikan apa pun dalam hal kecerdasan anak.
Daftar ini dapat diperpanjang lagi karena anak yang dilatih Aldo bukan hanya satu orang. Hanya orang yang tidak berpijak di bumi Nusantara yang tidak tahu bahwa sekolah-sekolah mengajarkan bahan ajar secara amat berbeda-beda: ada yang karena kurang waktu, ada yang kurang mampu, ada yang kurang tahu, ada yang tak tahu, ada pula yang ”sok tahu”. Oleh sebab itu, memakai UN untuk memeriksa secara nasional ”sejauh manakah mutu sekolah-sekolah kita” tidaklah tepat: kalaupun DPR menyetujui atau kalaupun Presiden tak melarang, juga jika keputusan yudikatif dipelintir tafsirannya.
Apakah mutu sekolah tidak perlu diperiksa secara nasional? Perlu, tetapi tidak dengan UN yang mengorbankan anak dan melecehkan proses didik. Juga, kalau dikatakan bahwa UN bukan satu-satunya penentu kelulusan. Sebenarnya UN bukan hanya ”bukan satu-satunya penentu kelulusan”, tetapi bahkan ”pengganggu proses didik dan struktur didik di sekolah”. Kita tidak perlu membicarakan tentang ketidakjujuran dan korupsi etis/finansial dalam penyelenggaraan UN: korupsi yang belum ditangani siapa pun walau jauh lebih mencelakakan untuk masa depan negara dan bangsa kita. Keputusan yudikatif tidak diperhatikan oleh Kementerian Pendidikan Nasional.


Mendidik dan mengajar
Kementerian ini ditugasi di bidang pendidikan, tetapi sudah puluhan tahun berfokus pada suatu bagian saja dari proses sekolah, yakni pengajaran; itu pun hanya segi formalnya. Yang diperiksa dalam UN adalah suatu (bukan seluruh) hasil pengajaran. Kita tahu, kecerdasan yang diperiksa dalam UN barulah sebagian dari sekian banyak jenis kecerdasan. Padahal, sekolah-sekolah kita justru tengah menuju ke arah memerhatikan kecerdasan ganda, sebagaimana dipesan oleh Howard Gardner.
Oleh sebab itu, memeriksa salah satu kecerdasan dalam proses pendidikan adalah hambatan untuk mengembangkan pencerdasan menyeluruh. Apakah kecerdasan itu tidak perlu diperiksa? Tentu saja perlu, tetapi bukan dengan suatu cara fragmentaris dan generalisasi seperti UN. Cara ini bertolak belakang dengan prinsip dasar ilmu mendidik manapun: bahwa pendidikan adalah suatu proses berkesinambungan sehingga tes hanya dapat dilakukan dengan memedulikan prosesnya dan karena itu pelaku utamanya adalah guru/sekolahnya sendiri. Mereka itu yang harus dibantu untuk makin mampu melayani proses pertumbuhan murid-murid.
Lebih jauh, setiap orang yang pernah mempelajari metodik didaktik mengetahui bahwa performance test (yang direncanakan pemerintah) hanya satu dari sekian banyak tes dan harus dilakukan dalam kaitan dengan tes-tes lain sehingga tidak mungkin dikerjakan secara nasional dengan cara yang sudah dilakukan. Dalam setiap laporan anak (rapor) termuat tidak hanya satu jenis ”prestasi” murid, tetapi beraneka. Mengambil sebagian saja, dan menjadikannya laporan umum tentang anak-anak kita, adalah ketidakadilan, baik kepada si anak maupun kepada guru sehari-hari dan sekolah penyelenggara didik. Dari segi ini, UN tidaklah dapat dipertanggungjawabkan.
Filsafat pendidikan yang sehat menunjukkan bahwa pendidikan pikiran (yang akan diperiksa dalam UN) hanya dapat dilakukan dengan amat memerhatikan keseluruhan aspek pikir seraya mengingat bahwa pendidikan perasaan dan pendidikan tingkah laku merupakan sisi lain dari suatu pendidikan menyeluruh.
Suatu kementerian yang secara sengaja menitikberatkan evaluasi pada hanya satu segi sebenarnya melawan dirinya sendiri. Dengan demikian, ia membahayakan tugas didiknya karena dengan mempersempitnya, pendidikan dijadikan pincang dan pemincangan pendidikan adalah perusakan pendidikan. Penyempitan arti mendidik menjadi mencolok ketika diperhatikan bahwa keputusan yudikatif hanya dicoba ditanggapi dengan memperbaiki sistem pengujian dan pemeriksaannya, sementara perbaikan pendidikan membutuhkan koreksi dalam motivasi didik, struktur didik, tata kelola didik, relasi didik, bahan didik dan kerangka didik.
Baru kalau kompleks permasalahan didik itu diperbaiki, suatu evaluasi didik (baca ”ujian”) dapat dipertanggungjawabkan. Juga dari sudut pandang ini, UN yang sudah ’diperintahkan’ tidak baik dilaksanakan: kecuali kalau ”dengan diperintahkan”, maka segala kekurangan ”dengan serta merta terbereskan” secara tepat guna dan berhasil guna.
Memeriksa sekolah
Dalam tes PISA beberapa waktu yang lalu, diperiksa mutu hasil didik sekolah dari puluhan negara di dunia. Indonesia tidak sampai menduduki peringkat di atas 100, tetapi di sekitar 40. Memang amat berdekatan dengan AS, yang kerap dijadikan guru oleh banyak pejabat kita. Unesco mencatat di banyak negara, ujian untuk seluruh negara dilakukan amat jarang dan kalau diadakan pun secara amat terbatas bahan tes dan tujuannya.
Diakui, untuk dapat melayani (bukan memerintah!) dunia pendidikan, departemen perlu memiliki data mengenai sekolah-sekolah. Namun, karena kebanyakan ahli didik mengetahui bahwa anak pada usia sekolah amat rentan terhadap haru biru afektif sehingga dapat terkacaukan perkembangan kepribadiannya, banyak negara memperlakukan urusan tes ini secara ekstra hati-hati. Kebanyakan negara memberi fasilitas saja kepada yayasan dan unit sekolah untuk meningkatkan kemampuan didiknya serta pendampingan pribadi murid dan guru.
Pemeriksaan atas kinerja sekolah dilakukan dengan check atas tata kelola dan administrasi sekolah, yang di sini sudah sering dilakukan juga. Hanya diperlukan konsistensi dan penjagaan basis data yang lebih cermat; tidak perlu setiap tahun dilakukan berulang-ulang, seakan-akan di kementerian tidak ada filing cabinet (komputer) yang menyimpan segala data sehingga menyita waktu sekolah-sekolah untuk mengurus administrasi yang bertumpuk. Kita tak perlu menyuburkan sikap ”over-acting” banyak pihak yang menyebabkan rakyat dibebani secara finansial, psikologis, teknis, dan waktu untuk tindakan-tindakan yang malah kontraproduktif bagi pendidikan sendiri. Waktu, energi, dan uang kita tidak cukup banyak untuk dihambur-hamburkan bagi usaha yang malah merusak dunia didik.
Berilah kesempatan dan kepercayaan kepada para pendidik di lapangan guna melaksanakan cita-cita didik ataupun semangat didiknya; bukan dengan merecokinya melalui beban yang menggerogoti pendidikan.
Karena pendidikan berkenaan dengan pribadi anak-anak kita yang peka sekali pada masukan, tetapi juga rentan pada sentuhan yang merugikan kemanusiaan, sebaiknya prinsip subsidiaritas sungguh diperhatikan: berilah swasta dan pengelola setempat lebih banyak kewenangan untuk mendidik. Manfaatkanlah para pendidik yang mempunyai hati dan profesionalitas serasi. Jauhkanlah anak-anak kita dari ”KDRT”: Kekerasan Dalam Rekayasa Tes.
BS Mardiatmadja Budayawan

Opini  Kompas 18 Maret 2010