08 Februari 2010

» Home » Lampung Post » Transisi Politik dan Konsolidasi Demokrasi

Transisi Politik dan Konsolidasi Demokrasi

Hertanto
Pengajar FISIP Universitas Lampung
OPINI Sugiharto, Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat dan Menteri Negara BUMN 2004-2007, berjudul Konsolidasi Demokrasi untuk Kesra (Lampung Post, Kamis, 28 Januari 2010), sangat menarik untuk disimak. Dia menyebutkan bahwa konsolidasi demokrasi dimaksudkan untuk menghasilkan sistem politik yang kokoh bagi bekerjanya sistem nasional yang lain termasuk sistem perekonomian, karena demokrasi hanyalah alat dan bukan tujuan. Tujuan dalam kehidupan bernegara adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.


Dengan demikian, terdapat korelasi positif di antara peningkatan kesejahteraan rakyat dan penguatan demokrasi, demikian pula demokrasi kian terkonsolidasi dan kuat jika kesejahteraan rakyat semakin meningkat dan sebaliknya demokrasi sulit bertumbuh dengan benar jika kesejahteraan rakyat tidak mengalami peningkatan. Namun, menurut beliau, saat ini demokrasi Indonesia belum terkonsolidasi. Pertanyaan yang belum terjawab adalah mengapa transisi politik di Indonesia belum mencapai konsolidasi (pengukuhan) demokrasi?
Perubahan, Transisi, dan Konsolidasi
Perubahan politik di suatu negara bisa diikuti dengan transisi atau bisa tidak (bila hanya sekadar pergeseran kepala pemerintahan tanpa pergantian rezim). Transisi politik berarti peralihan rezim dari suatu bentuk pemerintahan kepada bentuk pemerintahan yang lain. Transisi merupakan selang waktu (interval) antara satu rezim politik dengan rezim (aturan main) yang lain. Di satu sisi, transisi dibatasi oleh dimulainya proses perpecahan sebuah rezim otoritarian, dan di sisi lain, oleh pengesahan beberapa bentuk demokrasi, atau kembalinya beberapa bentuk pemerintahan otoriter, atau kemunculan suatu alternatif revolusioner (O'Donnell & Schmitter, 1993).
Syarat terjadinya transisi demokratis, menurut Huntington (1991), adalah: a) berakhirnya rezim authoritarian; b) munculnya pemerintahan demokratis; dan c) adanya konsolidasi demokrasi. Dua syarat pertama itu telah terjadi di Indonesia, yaitu (a) berakhirnya rezim otoriter yang ditandai oleh jatuhnya pemerintahan Soeharto pada 21 Mei 1998 kemudian digeser kepada B.J. Habibie, dan (b) munculnya pemerintahan demokratis yang ditandai dengan dilantiknya Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI melalui hasil pemilu demokratis tahun 1999. Sedangkan, syarat ketiga tentang tahap konsolidasi (pengukuhan) demokrasi masih menjadi perdebatan di kalangan pengamat politik. Sebagian besar pengamat menganggap sampai saat ini Indonesia belum mengalami konsolidasi demokrasi.
Konsolidasi demokrasi merupakan stabilitas dan ketahanan demokrasi (O'Donnell, 1993). Sedangkan Diamond (1999) menyebutkan konsolidasi sebagai legitimasi demokrasi yang luas dan kuat sebagai suatu "rezim" yang benar dan tepat bagi masyarakat. Konsolidasi ditandai oleh pembiasaan perilaku dan norma serta kepercayaan, di mana elite politik percaya pada legitimasi demokrasi dan saling menghargai hak satu sama lain untuk mendapatkan kekuasaan berdasarkan rule of law dan konstitusi, serta organisasi masyarakat dan partai politik mendukung--atau setidaknya tidak menolak--demokrasi, aturan dan lembaga konstitusional negara, serta lebih dari 70% publik percaya bahwa demokrasi merupakan sistem yang paling tepat.
Pengukuhan demokrasi menjadi harapan rakyat Indonesia akan berkembangnya sistem politik yang demokratis secara kekal. Namun, sampai saat ini ada beberapa kendala untuk mencapai hal itu. Ilmuwan politik Samuel P. Huntington (1991) pernah mencatat bahwa era transisi mestinya berakhir setelah ada dua kali pemilu berkala yang demokratis, di mana pemilu-pemilu tersebut mengantarkan suatu rezim demokratis, yang bekerja atas dasar konstitusi yang demokratis pula.
Apabila merujuk pada hal tersebut, apakah Indonesia sudah layak disebut telah masuk ke era konsolidasi demokrasi karena telah lebih dari dua kali menyelenggarakan pemilu, pada 1999, 2004 dan 2009? Harusnya sudah. Tetapi, menurut Alfian (2009) ada beberapa catatan yang meragukannya. Pertama, aturan main dan teknis pemilu masih berubah-ubah. DPR menyetujui UU tentang Pemilu, lantas MK "merevisinya", dan pemerintah pun belakangan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Pemilu. Menilik dari fenomena demikian, sepertinya tidak ada proses penguatan atas electoral law yang ada, selalu berubah dan perubahan itu membawa ekses yang mengganggu proses konsolidasi demokrasi.
Kedua, proses demokrasi kita juga belum mengarah pada penguatan kelembagaan (institusi) partai-partai politik, yang terjadi justru deinstitusionalisasi dan pragmatisme partai politik. Mestinya partai bukan semata-mata untuk arena "main-main" para "petualang politik". Oleh sebab itulah, proses demokrasi di Indonesia masih berada dalam wilayah unconsolidated democracy.
Senada dengan Alfian, Sparringa (2009) menuturkan bahwa era konsolidasi demokrasi justru sudah dimulai sejak 10 tahun terakhir. Konsolidasi sama dengan masa transisi yang, menurut ukuran progresif, berlangsung dua tahun. Adapun dalam ukuran konservatif lamanya sekitar 10 tahun. Dengan perhitungan tersebut, setelah tahun 2009 Indonesia seharusnya sudah dapat memetik buah dari demokrasi yang dijalankan selama ini. Namun, hal itu sepertinya belum dapat terwujud karena parpol masih butuh waktu lebih lama lagi untuk mengonsolidasikan dirinya.
Masih belum berhasilnya konsolidasi parpol selama ini, antara lain terlihat dari kualitas parlemen di Indonesia. Parlemen dibangun dari dua unsur, yaitu pemilu dan parpol. Dalam 10 tahun terakhir, pemilu sudah berjalan demokratis. Namun, representasi dan akuntabilitas parlemen masih jauh dari harapan, yang antara lain terlihat dari maraknya korupsi dan lemahnya penegakan hukum di lembaga itu. Kondisi itu semakin diperparah oleh tiadanya pemimpin nasional yang kuat untuk segera mengakhiri era transisi Indonesia.
Subono (2008) pun berpendapat bahwa kondisi struktural yang ada saat ini sangat tidak memadai untuk pendalaman demokrasi (deepening democracy) di Indonesia. Faktanya kalangan oligarkis, baik politik maupun ekonomi, masih tetap berkuasa, baik di tingkat lokal maupun nasional. Sementara itu, masyarakat tetap saja lemah peran dan posisinya. Kebebasan sipil dan politik yang ada, dan juga pemilu yang dijalankan, baik di tingkat nasional maupun lokal, dalam banyak kasus malah semakin memperkuat politik identitas, konflik, politik uang, dan korupsi, tanpa perbaikan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang berarti bagi masyarakat banyak.
Penyebabnya ada dua pandangan, yaitu pertama pendapat kaum progresif yang menganggap bahwa masalah utamanya ada pada neoliberalisme global yang merupakan penghambat demokrasi sejati di Indonesia. Ini artinya, proyek neoliberalisme yang mengusung pasar bebas, swastanisasi, deregulasi dan pengurangan atau penghapusan pembelanjaan publik bagi pelayanan sosial, yang harus menjadi target perlawanan sebelum mempromosikan demokrasi di Indonesia.
Sementara pendapat kedua dari kalangan konservatif ("status quo") yang didasarkan pada teori "demokrasi sekuensi" (sequence democracy). Menurut mereka, demokrasi pada umumnya baru bisa tumbuh dan berkembang melalui sejumlah kondisi dan pengalaman. Ini artinya, beberapa kondisi yang ada seperti tegaknya rule of law, tingkat pembangunan ekonomi, kesetaraan dan kesejahteraan masyarakat, stabilitas sosial-politik, dan manajemen pemerintahan yang baik harus terbangun dan mapan terlebih dahulu sebelum kemudian demokrasi dipromosikan (Berman, 2007).
Berbagai pendapat para pengamat tersebut menyimpulkan bahwa konsolidasi (pengukuhan) demokrasi di Indonesia belum terselenggara. Lantas apakah kita harus pesimis dan berbelok arah lagi mengambil jalan otoriterisme untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan? Tidak. Yang dibutuhkan adalah kesabaran untuk memberi waktu bagi penguatan instrumen-instrumen atau lembaga-lembaga demokrasi, dan aktor-aktor politik yang terus mendorong pelembagaan instrumen demokrasi agar lebih substansial. Demokrasi membutuhkan partisipasi dan komitmen dari seluruh lapisan masyarakat, terutama para pemimpinya. Ketika pemimpin memahami derita rakyatnya, maka mereka berkewajiban merantas segala penghalang bagi terwujudnya konsolidasi demokrasi.
Selama 10 tahun lebih proses reformasi menunjukkan bahwa pelembagaan instrumen demokrasi di Indonesia sudah berjalan dengan baik. Sebut saja misalnya, hak sipil dan politik, pemilu damai berkala, good governance, dan karena itu demokrasi kita sudah on the right tracks (UNDP, Bank Dunia). Artinya, pada akhirnya demokrasi akan bergandengan tangan dan saling menguatkan dengan kesejahteraan sosial. Jadi, demokrasi adalah alat sekaligus tujuan bersama.

Opini Lampung Post 9 Februari 2010