08 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Kesejahteraan, Pers Bebas, dan Kepercayaan

Kesejahteraan, Pers Bebas, dan Kepercayaan

Oleh AGUS RAKASIWI

”Independent journalists’ unions are necessary because labour rights for journalists are press freedom issues.”

Kalimat itu saya kutip dari laman International Federation of Journalist (IFJ) -- yang beranggotakan lebih dari 600.000 jurnalis, perorangan atau lembaga. Kalimat tersebut merupakan pernyataan kekhawatiran IFJ terhadap perkembangan industri media massa. Di hampir seluruh negara, ancaman pekerja media hampir sama dengan pekerja di sektor industri lainnya. Namun, ancaman bagi kelangsungan nasib pekerja media adalah juga ancaman bagi tiang demokrasi. Setelah tiga pilar (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) melemah karena kepentingan politik dan kekuasaan, giliran media massa diuji keberpihakannya.


Apakah media massa Indonesia dengan mudah menjadi pengharapan ideal untuk kepentingan publik? Kenyataannya, dunia media massa kita mengalami beragam persoalan kompleks. Tekanan itu datang dari internal media berupa sistem manajerial perusahaan dan tekanan penguasa terhadap redaksi media. Fokus tulisan ini akan membahas pada persoalan internal manajerial media massa.

Mantan Presiden IFJ Christopher Warren (2006) berasumsi, persoalan kesejahteraan jurnalis segaris lurus dengan isu kemerdekaan pers. Ia mengatakan, pers yang bebas tidak akan menjadi tiang demokrasi jika persoalan di dalam internal tidak cepat diselesaikan. Persoalan internal akan menjadi faktor tercepat hilangnya kepercayaan publik terhadap media yang berarti juga kerugian untuk bisnis.

Sejak sepuluh tahun terakhir, media massa di AS mulai melakukan pemecatan yang berujung pada pelanggaran hak pekerja. Awal mula pemecatan konon karena turunnya oplah koran dan iklan. Sepanjang 2008, industri koran AS terpaksa harus melepas sekitar 41.000 tenaga kerja, dan sekitar 9.000 lowongan kerja di industri koran hilang dari awal 2009 sampai sekarang. Lima koran besar tutup sejak akhir tahun lalu.

Persoalan di AS pun terjadi di Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, media massa tumbuh pesat sekaligus tutup. Ada pula yang bertahan dengan kondisi ”seadanya”. Mereka menggaji wartawan di bawah upah minimum atau tidak digaji.

Data Depnakertrans, sejak November 2008 hingga April 2009, sekitar 94 pekerja media di Kalimantan, Sulawesi, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatra, dan DKI Jakarta mengalami PHK. Dari 94 kasus, 67 persen akibat perusahaan media kesulitan keuangan. Lalu 30 persen lantaran pensiun dini, 2 persen diputihkan masa kerjanya dengan dikontrak kembali, dan 1 persen akibat kasus sengketa pendirian serikat kerja.

Tudingan pertama kali ditujukan pada kehadiran teknologi internet pada awal 1990-an. Tudingan ini bisa jadi ada benarnya. Ongkos produksi terus meningkat akibat kenaikan harga kertas (untuk media cetak) dan turunnya biaya iklan perusahaan karena terpaan krisis sejak 1997. Di tambah klien media massa (pengiklan) membuat aneka strategi baru dalam beriklan. Salah satunya, penciptaan brand dan strategi pemasaran menyasar situs web yang interaktif dan sering dipadukan dengan media sosial semacam Facebook.

Tudingan yang lain adalah hilangnya kepercayaan publik. Peneliti media dari lembaga penelitian Knight Rider di Amerika Serikat David Merrit mengatakan, masalah media massa yang paling utama adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap media massa. Menurunnya kepercayaan publik disebabkan elitisme media massa. Elitisme media mendorong munculnya gerakan indymedia di Seattle pertengahan 1980-an. Lewat isu citizen journalism, publik di Seatte mulai mengampanyekan peran warga mengontrol media massa mainstream dan elite politik.

Media massa di Indonesia memiliki masalah yang sama. Hilangnya kepercayaan ketika media massa tidak lagi menghadirkan karya yang akurat dan berpihak kepada kepentingan publik. Dalam bahasa Merrit, terlalu elitis hanya melayani suara pejabat dan politisi.

Data Dewan Pers Indonesia, sampai Maret 2009, jumlah pengaduan mencapai 142 kasus. Tahun 2008 sekitar 424 pengaduan dan pada 2007 sebanyak 319 pengaduan. Sebagian besar pelanggaran etika jurnalistik seperti tidak akurat, kurang verifikasi, pelanggaran etik, dan kriminal seperti pemerasan, dan ada jurnalis yang menerima amplop. Ini adalah data puncak gunung es.

Semasa industri media massa di Indonesia bertumbuh pada 1998-2001, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan, angka perusahaan baru yang muncul tidak dibarengi dengan standar upah yang layak bagi pekerjanya, sektor redaksi, dan nonredaksi. Hasil penelitian AJI, perusahaan dengan modal Rp 50 juta bisa mendirikan perusahaan media. Bahkan ada yang bermodal Rp 5 juta seperti terjadi di Palu, Sulawesi. Di Medan, ada yang berkantor di garasi dengan mesin ketik manual.

Hasil penelitian itu menunjukkan, media massa banyak yang kolaps dan atau bertahan tanpa menggaji pekerja mereka. Ada media massa yang meminta pekerjanya menjual koran sekaligus mencari iklan sendiri. Mereka pun diperbolehkan menerima amplop, padahal hal itu dilarang dalam UU Pers No. 40/1999 dan Kode Etik Jurnalistik Indonesia.

Dunia media massa hari ini jauh berbeda saat Tirto Adhi Soerjo mendirikan Medan Prijaji. Dalam novel sejarah Sang Pemula karya Pramudya Ananta Toer, Tirto digambarkan sebagai sosok pemberontak. Sosok yang memberontak dengan pena. Tulisan-tulisannya membuat berang pemerintahan kolonial saat itu.

Sama halnya penjelasan tokoh pers Atmakusumah yang mengatakan napas pers Indonesia adalah institusi yang melawan rezim penindas. Pers menjadi corong aspirasi tentang yang baik dan buruk. Pers menjadi penjelas bagi publik tentang fenomena politik, sosial, budaya, dan ekonomi.

Kebanyakan pers di zaman era kolonial hidup dari sumbangan-sumbangan pembaca mereka. Menurut pakar pers Ashadi Siregar, pers komersial umumnya dikelola oleh kelompok Cina. Mereka menjadikan pers sebagai usaha untuk mengumpulkan profit. Namun, dari tulisan Jakoeb Oetama di Pers Indonesia, pers di masa itu adalah bisnis perseorangan. Pers belum menjadi lembaga bisnis seperti saat ini.

Namun, kini ketika lembaga pers menjadi industri dan orang menjadi wartawan karena butuh kerja, persoalan kesejahteraan patut dibicarakan. Dalam pendekatan kriminologi, lapar bisa menjadi alasan untuk berbuat apa saja.

Tentunya kita berharap kelompok jurnalis bisa segesit dan segalak tulisan mata pena mereka. Dalam bahasa Antonio Gramsci, jurnalis seharusnya berada pada kuadran kelompok organik, sosok personifikasi yang gigih dalam perenungannya, reflektif atas konteks historisnya, dan revolusioner memperjuangkan manifes perenungannya bagi kaumnya.

Jika dalam konteks perjuangan hak serikat pekerja media, jurnalis tidak bisa berbuat banyak, itu merupakan ancaman bagi demokrasi secara umum. Dengan membiarkan diri terperangkap dalam persoalan kesejahteraan, secara otomatis mutu informasi kepada masyarakat akan menjadi korban.

Industri ini bergulat dalam ruang simulakra yang unik. Kepercayaan adalah motor bisnis media massa. Publik akan memberikan poin tinggi jika publik percaya dan yakin dengan produk media. Sebaliknya, jika suatu media massa tidak dipercaya maka ia akan ditinggalkan masyarakat.***

 Penulis, ”freelance journalist”, Ketua AJI Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 9 Februari 2010