Konflik pers dengan penegak hukum tidak dapat dicegah karena tiap pihak merasa memiliki keterdekatan dengan kebutuhan manusia, yang ingin diperankan masing-masing.
PERS adalah ”mata, telinga, dan hati” publik. Melalui pemberitaan media massa (pers), publik di berbagai sudut planet bumi kita, mengetahui banyak hal yang terjadi di jagad raya. Publik banyak tahu tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terutama lewat media massa cetak dan elektronik (radio/TV). Di banyak negara, pemberitaan pelanggaran HAM, siapa pun pelakunya, dipergunakan sebagai sumber informasi bagi negara atau lembaga kemasyarakatan, dalam rangka memperteguh komitmen terhadap penegakan HAM di negaranya.
Dalam konteks kepentingan kemanusiaan, pers memiliki berbagai fungsi. Di antaranya yang menonjol adalah jendela pengalaman umat manusia. Media massa bertindak selaku pengantar, sekaligus penyaring informasi, selain selaku penghubung dan penunjuk jalan.
Orang bijak mengatakan, media massa itu cermin realita, walau (tidak jarang) media massa cuma menghadirkan realita buatan (realita semu), yaitu realita yang dibuat oleh pers, kendati keadaan sebenarnya tidak ada. Media massa adalah juga pengawas lingkungan, sekaligus pengawas perilaku manusia. Semua itu, memosisikan pers memiliki kekuasaan dalam struktur opini publik. Di samping mempunyai keperkasaan di bidang pembentukan agenda kegiatan (agenda setting), baik bagi pemerintah maupun masyarakat.
Keperkasaan media massa, dalam praktik sering menghadirkan konflik profesi, khususnya antara media massa dan penegak hukum. Konflik pers dengan penegak hukum tidak dapat dicegah karena tiap pihak merasa memiliki keterdekatan dengan kebutuhan manusia, yang ingin diperankan masing-masing.
Dalam konteks inilah perlunya kita mencoba memahami latar filosofi, regulasi dan latar belakang, serta sejauh mana peluang konflik lembaga pers dengan penegak hukum. Dalam hal ini, Pedoman Perilaku PBB untuk petugas penegak hukum yang lazim disebut Pedoman Perilaku PBB, memosisikan pers sebagai saluran pengaduan. Itu berarti sinergi pers dengan penegak hukum, sangat dibutuhkan karena setiap pihak memiliki kekhususan tugas, yang —sebetulnya— saling berkepentingan.
Sebagai contoh, kalau penegak hukum, terutama polisi, memiliki diskresi untuk membongkar rahasia (blowing the whistle), pers pun mempunyai ”hak moral dan profesi” guna menggapai tujuan yang sama. Bedanya, penegak hukum diberi diskresi, sebagai hak istimewa untuk bertindak atas nama pribadi, dengan tanpa perlu pertimbangan pimpinan/komandan, demi menegakkan ketertiban umum.
Sementara pers melakukan tugas itu, dengan tujuan memberi tahu objek pelayanannya, agar mereka dapat berhati-hati, sekaligus mampu menjaga diri. Perbedaannya adalah pekerjaan penegak hukum mempunyai kewajiban melaporkan hasil pekerjaannya kepada pemberi perintah, sesuai atau melalui rantai komando. Pasal 4 Pedoman Perilaku PBB menegaskan ”masalah-masalah yang bersifat rahasia yang diketahui petugas penegak hukum, harus dijaga kerahasiaannya, kecuali jika pelaksanaan kewajiban dan demi keadilan membutuhkan sebaliknya”.
Sedang pekerjaan jurnalis/pekerja lembaga pers, mempertanggungjawabkannya langsung ke forum publik.
Selain itu, rasionalitas pekerja lembaga media massa, seharusnya dapat langsung diketahui, dan bersifat terukur, menurut ukuran publik. Sebaliknya, rasionalitas pekerjaan penegak hukum —dari sononya— memang tidak boleh bersifat terlalu terbuka/transparan. Perbedaan ini membentuk kesenjangan hubungan (gap) antara penegak hukum dan media massa.
Dikejar Target Sebab, kehati-hatian penegak hukum dalam menyampaikan informasi publik, menimbulkan keengganan pekerja media massa berhubungan dengan mereka. Tidak demikian halnya dengan pekerja lembaga pers, yang biasanya secara vulgar menuntut keterbukaan, kalau perlu ”ketelanjangan”.
Di sisi lain, media massa yang bekerja atas dasar pemenuhan kebutuhan publik akan informasi, dikejar target untuk menyampaikan informasi yang diperolehnya kepada publik. Kebutuhan media massa menyampaikan informasi dengan prinsip semakin cepat semakin baik, bertentangan dengan tuntutan kehati-hatian penegak hukum dalam penyampaian informasi. Kontradisi ini berlaku sepanjang pola transparansi dan akuntabilitas lembaga penegak hukum di satu sisi, dan lembaga media massa di sisi lain, tidak berada pada frame of interest (bingkai kepentingan) yang sama.
Pengalaman membuktikan, betapa sulitnya membentuk bingkai kepentingan yang sama dalam konteks pemberitaan media massa dan penyampaian informasi oleh penegak hukum. Ini terutama disebabkan karena pamrih kepentingan (vested of interest) di pihak lembaga penegak hukum, di samping pada lembaga media massa. Keduanya seolah sangat sulit diperpadukan, terutama di Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi kemerdekaan pers (freedom of the press).
Karenanya, diperlukan perpaduan kepentingan pers di satu sisi, dengan kepentingan penegakan hukum di sisi lain. Jika di antara kedua kepentingan itu selalu terdapat barikade, yang disebabkan kecenderungan para pihak bersandar pada tujuan pihaknya sendiri-sendiri, akan sulit diharapkan terjadinya pembauran kepentingan penegakan hukum dan partisipasi pers dalam penegakan hukum. Inilah salah satu benang merah, yang perlu disikapi bijaksana oleh penegah hukum di satu sisi, dan oleh para awak lembaga pers di sisi lain. (10)
— Novel Ali, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip
Wacana Suara Merdeka 9 Februari 2010