08 Februari 2010

» Home » Media Indonesia » Moratorium Pilkada (2010), Why Not?

Moratorium Pilkada (2010), Why Not?

Walau persiapannya karut marut; mulai dari dana yang terbatas, kredibilitas KPU daerah yang buruk, data kependudukan yang amburadul, keberadaan Panwas yang tidak jelas, sampai dengan sejumlah regulasi yang membingungkan; sehingga mendorong sejumlah kalangan mengusulkan penundaan, pemerintah, DPR, dan KPU sepertinya tetap ngotot meneruskan pilkada (2010). Arogansi sikap pemerintah dan DPR tersebut tentu saja riskan dan mengkhawatirkan. Selain berpotensi melanggengkan kesemrawutan dan memicu konflik politik lokal, meneruskan pilkada (2010) akan semakin merusak hakikat dan esensi pilkada itu sendiri.


Defisit lokalitas politik
Dalam term politik modern, sebuah pilkada (2010) seharusnya merupakan perwujudan local-sovereignty (kedaulatan lokal). Pilkada harusnya merupakan wujud dari demokrasi yang berporos pada lokalitas. Lokalitas harus menjadi 'roh' sekaligus substansi (isi) dari pilkada. Lokalitas yang dimaksud tentu saja bukan lokalitas dalam konteks pendekatan politik identitas berdasar sentimen SARA (tribalisme politik). Bukan pula lokalitas dalam arti pilkada yang terisolasi dari jangkauan sentral (pusat) kekuasaan (politik separatis). Lokalitas yang dimaksud adalah lokalkrasi, yakni masyarakat dan pranata politik lokal menjadi subjek politik yang berdaulat menentukan proses dan output sebuah pilkada. Dengan kata lain, hal-hal strategis dalam pilkada seperti pencalonan kandidat, dan pembuatan agenda kebijakan lokal harusnya ditentukan masyarakat dan pranata politik lokal. Garansi terhadap hal itu akan menjadikan pilkada bisa mencerminkan representasi politik lokal yang sesungguhnya. Celakanya, esensi dan desain Pilkada yang demikian nyaris tidak kita temukan di republik ini. Pilkada yang berlangsung adalah pilkada dengan lokalitas semu. Pilkada dengan kondisi defisit lokalitas yang akut. Hal itu ditunjukkan beberapa fakta berikut ini.

Pertama, pilkada berlangsung dalam kondisi masih bercokol dan dominannya kultur politik sentralis, baik di daerah (lokal) maupun di pusat kekuasaan (sentral) Jakarta. Di daerah, kultur sentralis membuat lokalitas terdistorsi ke dalam dua bentuk puritanisme politik. Pertama, menguatnya etnodemokrasi yang berpusat pada sentimen SARA. Sebagian besar pelaksanaan pilkada didominasi isu SARA, yang mengalahkan isu strategis lokal seperti kemiskinan, pengangguran, kesehatan, pertanahan, perburuhan, dan penggusuran PKL yang dirasakan langsung oleh masyarakat lokal. Kedua, masih kukuhnya inferioritas politik lokal. Elite dan masyarakat lokal belum percaya diri dengan kemampuan politiknya untuk menjadi subjek dalam pilkada. Mereka masih lebih cenderung 'menengadah ke atas', dan meminjam 'jago' dari pusat kekuasaan untuk dijadikan sebagai kandidat maupun sekadar juru kampanye pilkada. Inferioritas politik itu, ditambah dengan sumber daya politik lokal yang minim, bahkan menjadi lahan subur bagi calon perseorangan yang tidak berasal dari tingkat lokal. Dalam situasi demikian, alih-alih memunculkan kandidat alternatif, instrumen calon perseorangan justru terdistorsi menjadi kanal politik elite daripada kanal politik rakyat.

Di pusat, kultur politik sentralis melucuti makna lokalitas sekadar subordinat (perpanjangan tangan) sentral kekuasaan Jakarta. Lokalitas dipandang tak lebih daripada sekadar subsistem politik yang harus tergantung kepada hierarki sistem dan struktur politik Jakarta. Para elite pusat masih tetap memersonifikasikan Jakarta sebagai suprastruktur yang harus mengendalikan dan paling piawai mengatasi problem politik lokal. Jangan heran bila kemudian pilkada diramaikan dengan fenomena pertarungan kandidat yang berasal dari, atau merupakan titipan sentral Jakarta, baik itu politisi, pengusaha, maupun mantan pejabat. Lebih daripada sekadar alibi bahwa semua orang punya hak memilih dan dipilih, fenomena itu mengafirmasi betapa kekuatan politik sentral masih memandang lokalitas hanya sekadar objek politik.

Kedua, pilkada dilangsungkan masih dalam pola pikir struktur politik monosentris (berpusat tunggal di Jakarta). Liberalisasi dan desentralisasi politik ternyata belum membuat poros (pusat) struktur politik kita makin menyebar di banyak tempat (polisentris). Hal itu dengan sangat telanjang ditunjukkan struktur parpol yang tetap sentralistik dan hegemonik menentukan kandidat pilkada. Konstituen, pengurus, dan struktur parpol di level bawah hanyalah sebagai kurir politik pengantar nama kandidat ke level parpol di atasnya. Suara mereka sama sekali nyaris tidak berarti dalam penentuan kandidat yang akan dicalonkan. Dalam situasi begitu, suara pemilih secara politik hanya menjadi otorisasi demokrasi karena sudah tersandera dengan pilihan kandidat oleh parpol yang acap tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Ketiga, regulasi pilkada, seperti UU 32/2004 dan PP 6/2005 serta peraturan lainnya sejatinya tidak menempatkan lokalitas sebagai substansi pilkada. Implikasinya regulasi tersebut tidak memagari pilkada agar benar-benar berdimensi lokal. Itu ditunjukkan dua hal. Pertama, nyaris tidak ada pengaturan yang jelas membatasi peran dan intervensi elite dan kekuatan politik sentral Jakarta dalam pilkada. Kedua, tidak ada pengaturan spesifik untuk mendekatkan si kandidat pilkada dengan masyarakat pemilih. Akibatnya, tesis Pilkada untuk mendekatkan pemimpin dengan masyarakat tidak terjadi. Keduanya tetap berjarak lebar karena pilkada tidak disertai dengan adanya agenda atau platform politik kerakyatan yang rinci dan terukur dari para kandidat untuk mengatasi problem lokal. Praktik penyampaian visi dan misi para kandidat di depan DPRD, tak lebih daripada sekadar pemenuhan administratif (proforma), yang acap diwarnai praktik politik tebar pesona, elitis, dan sarat retorika jargonis.

Moratorium pilkada
Deskripsi itu menunjukkan bahwa pilkada (2010) sedang terancam. Bukan hanya karena persiapannya yang karut marut, melainkan karena defisit lokalitas yang membelenggunya. Dalam kondisi demikian, pemerintah dan DPR seyogianya melakukan moratorium pilkada agar ada jeda waktu untuk merombak desain dan sistem pilkada. Perombakan desain pilkada tentu saja tidak sekadar menambal sulam problem teknis seperti keterbatasan anggaran, ketidakjelasan regulasi, karut marut data kependudukan, dan lemahnya sumber daya penyelenggara pilkada di tingkat bawah. Walau masalah teknis itu penting, yang jauh lebih penting dan mendesak adalah melakukan rekayasa politik baru untuk mengatasi masalah yang lebih substansial, yakni memurnikan lokalitas Pilkada.

Pertama, penegasan bahwa otoritas pencalonan dan penetapan kandidat pilkada yang berasal dari parpol, dilakukan struktur pimpinan parpol sesuai dengan tingkatannya. Penegasan itu akan mendorong pusat kekuasaan parpol makin polisentris dan demokratis. Parpol akan didorong untuk mengembangkan sistem pre-eliminary internal yang lebih demokratis untuk menjaring kandidat.

Kedua, pilkada harus dibuat makin dekat dengan rakyat. Bentuk kampanye dalam pilkada yang sebelumnya singkat, massif, dan sloganisitis, harus didesain lebih lama, partisipatif, dan konkret. Para kandidat harus diwajibkan membuat komitmen atau kontrak politik rinci dan terukur dengan pemilih sehingga kinerja mereka kelak bisa dinilai gagal atau berhasil.

Ketiga, menerapkan semacam aturan lustrasi (pembatasan) politik bagi elite sentralis Jakarta dalam pilkada. Pejabat dan mantan pejabat negara sudah saatnya dilarang ikut berkampanye, dan bahkan mencalonkan diri dalam pilkada. Kalaupun mereka ikut, persyaratan dan konsekuensi jabatan dan politiknya harus dibuat lebih berat. Hal itu penting untuk menegaskan pilkada adalah milik masyarakat lokal dan untuk mencegah stagnasi politik dengan memberi kesempatan bagi lahirnya pemimpin politik lokal.

Moratorium pilkada (2010) memang bukan panasea politik untuk menjadikan pilkada semakin bermanfaat bagi perbaikan politik lokal. Namun, moratorium pilkada paling tidak bisa menjadi jeda politik untuk mereparasi pilkada kembali kepada esensi dan hakikatnya, yakni lokalkrasi (kedaulatan lokal). Meneruskan pilkada (2010) dalam kondisi defisit lokalitas yang akut sejatinya sama dengan tindakan membunuh politik dan demokrasi lokal yang sedang tumbuh.

Oleh Benget Silitonga, Analis Politik Perhimpunan BAKUMSU
Opini Media Indonesia 9 Februari 2010