08 Februari 2010

» Home » Kompas » Berkomunikasi dengan Wajah

Berkomunikasi dengan Wajah

Ada dua penilaian bertolak belakang terkait gaya komunikasi politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di dalam negeri Yudhoyono mendapat banyak kritik karena sikapnya yang berlebihan dalam menanggapi demonstrasi.
Kerbau yang diarak para pengunjuk rasa dipandangnya sebagai perendahan martabat dan pelanggaran kepantasan. Jadi, muncullah perdebatan etis tentang pelaksanaan demonstrasi. Padahal, persoalan itu lebih banyak bersinggungan dengan tek- nis tata krama daripada etika. Yudhoyono juga sering dikecam karena dalam berkomunikasi menempatkan diri sebagai kor- ban yang teraniaya dan memohon-mohon untuk diberi belas kasihan.


Namun, di luar negeri, setidaknya Asia Pasifik, gaya berkomunikasi Yudhoyono meraih apresiasi. Hal ini terlihat dari penghargaan Gold Standard yang diberikan oleh PublicAffairsAsia. Salah satu faktor pemberian penghargaan itu adalah kesuksesan komunikasi politik Yudhoyono yang membawanya kembali terpilih sebagai Presiden RI untuk periode kedua.
Pertimbangan lain, Yudhoyono dinilai sebagai komunikator politik yang efektif dalam menjalankan tugas kepresidenan, baik di lingkup domestik maupun internasional. Yudhoyono berhasil menyisihkan finalis lain, seperti Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva dan Ryan Gawan yang menjalankan kampanye sosial di Afganistan melalui Save The Children, Inggris (Kompas, 6/2/2010).
Penghargaan sebagai komunikator politik terbaik di Asia Pasifik adalah nilai prestisius yang tidak mudah dicapai. Harus diakui dalam berkomunikasi Yudhoyono menunjukkan cara berbicara yang santun, kalimat-kalimat yang diucapkannya tertata rapi, intonasi bicaranya berwibawa, dan rona wajahnya tidak emosional.
Mungkin inilah komunikasi ala Asia yang diinginkan banyak pihak. Tidak menyakiti perasaan orang lain dan kelembutan menjadi hal yang diperhitungkan. Namun, apakah hal itu memenuhi kriteria komunikasi yang efektif?
Esensialisme ketimuran
Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Inilah definisi komunikasi yang lebih menitikberatkan pada peran komunikator daripada keberadaan komunikan. Dalam ranah kehidupan politik, hal ini ditunjukkan dengan kemampuan komunikator dalam mengemas pesan sehingga bisa dipahami rakyat yang menerimanya.
Kalau pesan itu disampaikan tidak tegas, halus, dan penuh ambiguitas sehingga melahirkan banyak tafsir, komunikasi tidak bisa dianggap berhasil. Namun, dalam ranah nilai ketimuran, gaya berkomunikasi itu yang disanjung. Pihak komunikator menampilkan kelembutan dan kehati-hatian bicara. Pihak komunikan (rakyat) hanya berkedudukan sebagai penerima pesan yang pasif.
Padahal, komunikasi efektif hanya terjadi jika komunikator dan komunikan melebur sebagai partisipan. Ada kesetaraan di dalamnya karena tujuan komunikasi adalah kesepahaman dan kebersamaan (common-ness). Seorang pemimpin negara harus juga mampu menempatkan diri seba- gai pendengar yang baik dan bukan sekadar pihak yang melulu berbicara. Misalnya, ketika menanggapi aksi-aksi demonstrasi tidak perlu memberi komentar yang mempersoalkan kepantasan cara menyampaikan pendapat. Substansi pesan pengunjuk rasa yang harus dicerna sang pemimpin.
Pengertian komunikasi yang menempatkan kesetaraan itu mudah dicurigai amat liberal dan kebarat-baratan. Melukai perasaan adalah tabu yang harus dihindari. Contoh kasus ini diungkapkan oleh K Bertens (2009) yang menyatakan, di Indonesia larangan moral yang paling penting adalah grief niet (tidak menyakiti). Adapun di Belanda larangan moral yang paling diutamakan adalah lieg niet (jangan berbohong). Di dunia Barat berbohong dianggap dosa besar yang bisa menghancurkan reputasi. Di Timur menyakiti perasaan dipandang sebagai ketidakberesan moral yang besar.
Dari sudut pandang ini menjadi bisa diketahui mengapa kalangan pemimpin politik di Asia, terlebih lagi di Indonesia, lebih menyukai kehalusan daripada watak keterusterangan. Menyakiti perasaan merupakan pantangan yang mutlak. Demonstran harus mempraktikkan gaya komunikasi ini kalau tidak ingin dituding sebagai orang-orang yang tidak mengerti adab.
Padahal, nilai-nilai Timur dan Barat itu merupakan hasil imajinasi, sesuatu yang difantasikan keberadaannya. Agaknya, kalangan petinggi negara menganggapnya sebagai realitas esensialistik yang tidak bisa diubah. Apabila esensialisme ketimuran ini yang selalu dipelihara, komunikasi politik yang setara tidak mungkin bisa diciptakan. Pemimpin negara menjadi komunikator yang pasti meraih kemenangan. Para pengunjuk rasa harus mengemas pesan-pesan aspiratifnya sesuai dengan selera pihak yang berkuasa.
Persoalan muka
Berdemonstrasi dengan bahasa yang sarkastik, terlebih lagi mengarak kerbau di jalanan sebagai simbol yang merendahkan wibawa petinggi negara, pada akhirnya dianggap sebagai perilaku politik yang mencoreng muka penguasa. Muka atau wajah (face) dalam ranah komunikasi di dunia Timur tidak hanya bermakna harfiah sebagai bagian tubuh. Muka bisa berarti sebagai harga diri yang harus dijunjung tinggi, seperti ungkapan ”kehilangan muka”.
Muka dapat diartikan pula sebagai cara menyenangkan dan menjilat pihak yang lebih berkuasa, misalnya ungkapan ”mencari muka”. Para demonstran yang dituding tidak etis tampaknya dinilai sebagai pihak yang hendak ”menghilangkan muka”.
Berkaitan dengan muka, menarik jika kita mengkaji face negotiation theory yang dikemukakan Stella-Ting Toomey (2005). Muka adalah citraan publik tentang individu atau kelompok. Masyarakat harus melihat dan mengevaluasi komunikasi berdasarkan pada norma dan nilai kultural tentang muka ini. Pada budaya yang jarak kekuasaannya kecil, kewenangan dipandang sebagai hal yang didapatkan dan kekuasaan didistribusikan secara merata. Pada budaya yang jarak kekuasaannya besar, otoritas dianggap sebagai hal yang diwariskan, kekuasaan dari atas ke bawah, dan si pemimpin tidak pernah bersalah.
Nilai-nilai komunikasi politik di Asia, apalagi di Indonesia, jelas berada pada jarak kekuasaan yang besar. Muka menjadi hal yang sakral dan tidak boleh dinodai. Demonstrasi harus menghormati muka pejabat. Mencoreng atau mendeformasi muka menjadi perilaku yang terkutuk. Namun, bagaimana kalau muka itu dipahami dalam tilikan Emmanuel Levinas (1906-1995)? Muka atau wajah berarti orang lain dalam keberlainannya yang tidak boleh direngkuh. Wajah itu mengimbau agar kalangan pejabat negara menjalankan kebaikan dan keadilan. Wajah itu bisa jadi muncul dalam figur demonstran yang menyuarakan para yatim dan orang miskin yang diabaikan.
Pemimpin menjadi komunikator yang baik ketika berkomunikasi tidak melulu memerhatikan muka sendiri, melainkan berkomunikasi dengan wajah Levinasian.
TRIYONO LUKMANTORO Dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang
Opini KOmpas 8 Februari 2010