08 Februari 2010

» Home » Kompas » Lord Latimer, 634 Tahun Kemudian

Lord Latimer, 634 Tahun Kemudian

Lord Latimer tentu tidak pernah menyangka kalau doktrin impeachment dalam sistem ketatanegaraan Inggris hangat dibicarakan di Indonesia setelah 634 tahun kemudian!
Latimer adalah ”korban” pertama doktrin impeachment yang diciptakan House of Commons untuk mengadang budaya korup para pejabat di sekitar Raja Edward III yang mulai uzur. Sebagai salah seorang pejabat tinggi di rumah tangga kerajaan, ia memiliki akses yang baik untuk menyalahgunakan kekuasaan dalam segala bentuknya. Inilah yang mengantarnya menjadi pesakitan dalam ”peradilan politik semu” (quasi-political court) berupa persidangan House of Lords dengan tuduhan korupsi, suap, dan penindasan pada tahun 1376.


Proses, bukan hasil
Sejak kasus Latimer, doktrin impeachment amat menghantui pemegang kekuasaan berikutnya. Inilah keberhasilan nyata doktrin tersebut pada saat itu. Tujuan doktrin ini memang untuk memaksa pejabat publik menghindari perbuatan jahat (misbehavior) dengan cara menyalahgunakan kekuasaannya. Atas nama perlindungan terhadap kesucian jabatan, dibentuklah privilegium fori (forum istimewa) di luar peradilan konvensional yang secara khusus mengadili pemegang jabatan.
Impeachment adalah proses, bukan hasil. Ia merupakan proses formal untuk mendakwa pejabat publik yang dapat berujung pada pemberhentian jabatan (removal from office) jika dakwaan terbukti, sebaliknya jika tidak terbukti harus dibebaskan demi hukum. Ia sejajar dengan dakwaan dalam sistem peradilan pidana. Bahwa impeachment dapat berujung pada pemberhentian jabatan, itu bukan tujuan meski kenyataannya politisi modern tidak sedikit yang membajak niat tulus doktrin impeachment itu menjadi sekadar pendongkelan pejabat yang tidak disukai dari jabatannya.
Karena itu, Richard A Posner (1999) mencatat, impeachment bukan berasal dari kata Latin impetere (menyerang) melainkan dari kata Perancis empĂȘcher (mencegah). Artinya, impeachment terutama dimaksudkan untuk mencegah terjamahnya jabatan oleh tangan-tangan kotor pemegangnya sekaligus melindungi kejujuran/kredibilitasnya sehingga terjaga kemurniannya. Yang saya tidak mengerti, mengapa di Indonesia impeachment diartikan ”pemakzulan”— yang berarti penurunan dari takhta atau pemberhentian dari jabatan—yang merujuk pada hasil.
Sejarah impeachment yang amat panjang itu menunjukkan betapa pentingnya menjaga muruah jabatan. Karena itu, konstitusi Virginia (1776) dan Massachusetts (1780) pun terinspirasi untuk mengintegrasikan doktrin impeachment ke dalam salah satu batang tubuhnya. Dan, tentu saja konstitusi Amerika Serikat (1789) menjadi faktor determinan mendunianya doktrin impeachment ke pelosok dunia termasuk Indonesia. Maka, Pasal 7A UUD 1945 pun ”meng-copy- paste” pasal pendakwaan (impeachment articles) dalam Pasal II Bagian 4 Konstitusi AS dengan sedikit penyesuaian.
Kehadiran Pasal 7A UUD 1945 dimaksudkan sebagai pengimbang atas dianutnya sistem presidensial yang kukuh pascaamandemen konstitusi yang antara lain ditandai dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dan kepastian jabatan presiden dan wakil presiden (fixed term) selama lima tahun. Jadi, meski legitimasi presiden dan wakil presiden amat kuat karena dipilih langsung dan dilindungi kepastian masa jabatannya, tetapi tetap dimungkinkan pemberhentian jika melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, dan perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat.
Paranoia SBY?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu saja tidak sudi mengikuti jejak Latimer. Maka, ia menganggap perlu mewacanakan pemakzulan secara terbuka setelah bertemu dengan pemimpin tujuh lembaga negara di Istana Bogor (21/1/10) sebelum lawan- lawan politik melakukannya. Ini semacam politik preemptive strike yang berfungsi sebagai jurus serangan mendahului dari pihak yang terancam sebelum lawan benar-benar melakukan serangan mematikan demi keuntungan strategis.
Wacana itu tentu saja berkelindan dengan dinamika politik di Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century yang semakin menyudutkan pemerintahannya. Apalagi berdasarkan Pasal 77 Ayat (4) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, hak angket dapat ditindaklanjuti dengan hak menyatakan pendapat yang dapat berujung impeachment.
Di sisi lain, ini menunjukkan paranoia SBY apabila dihubungkan dengan modal politik 148 kursi Partai Demokrat di DPR plus mitra koalisi patuh dan penuh takzim semacam PAN dengan 46 kursi, PPP dengan 38 kursi, dan PKB dengan 28 kursi yang dengan mudah dapat memorakporandakan persyaratan kuorum.
Mungkinkah tuah impeachment yang pernah memakan ”korban” seperti Latimer menggentarkan SBY?
A AHSIN THOHARI Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
Opini Kompas 8 Februari 2010