08 Februari 2010

» Home » Solo Pos » Standar kompetensi, tuyul dan piyik

Standar kompetensi, tuyul dan piyik

Setelah dibahas bertahun-tahun, Dewan Pers akhirnya menyelesaikan acuan standar kompetensi untuk jurnalis. Standar kompetensi ini sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan dari sebagian masyarakat yang merasa dirugikan pers.

Sebelum ditetapkan, Dewan Pers sebenarnya sudah menerbitkan buku tentang standar kompentensi wartawan yang disebarkan kepada jurnalis atau pun perusahaan media. Standar kompetensi jurnalis itu mencakup sejumlah aspek, yaitu penguasaan keterampilan, pengetahuan, kesadaran dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas jurnalistik.



Keterampilan mencakup kemampuan menulis, wawancara, riset, investigasi, serta kemampuan penggunaan berbagai piranti yang terkait dengan tugas jurnalis. Sedangkan, pengetahuan meliputi pengetahuan umum, pengetahuan khusus seperti pengetahuan teori jurnalistik dan komunikasi. Aspek ini akan menjadi modal dasar saat menjalankan tugas dan menyampaikan hasil liputan. Kesadaran mencakup di dalamnya, etika, hukum dan karir. Sesuai standar kompentensi itu, nantinya jurnalis akan mempunyai beberapa jenjang kompetensi seperti jurnalis madya, jurnalis madya, dan jurnalis senior.

Standar kompetensi jurnalis dipandang kian mendesak, seiring meningkatnya pertumbuhan media massa baik cetak maupun elektronik, setelah reformasi tahun 1998. Berdasarkan catatan Dewan Pers, saat ini terdapat sekitar 1.000-an media cetak, 2.000 stasiun radio, dan 200-an stasiun televisi. Namun, dari jumlah itu sebagian besar dinilai kurang berkualitas.

Wakil Ketua Dewan Pers periode 2006-2009 Sabam Leo Batubara memperkirakan media yang berkualitas hanya 30%, sedangkan sebagian besar sisanya adalah media yang kurang berkualitas. Kompetensi dipandang perlu mengingat tidak ada persyaratan khusus untuk menjadi jurnalis. Selama ini, perusahaan medialah yang menetapkan syarat kompetensi untuk para jurnalisnya.

Setelah standar kompetensi selesai bagaimana dengan standar upah jurnalis? Hingga kini memang belum ada standar upah yang layak diterima seorang jurnalis. Dari hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan International Federation Journalist (IFJ) tahun 2005, terungkap ada jurnalis menerima gaji Rp 150.000 per bulan. Meski demikian, ada pula jurnalis yang digaji di atas Rp 5 juta per bulan. Sebagian besar jurnalis yang disurvei mengaku digaji antara Rp 1,4 juta hingga 1,79 juta. Survei yang diselenggarakan di 10 kota besar itu menyimpulkan bahwa semakin rendah upah, semakin besar toleransi jurnalis terhadap suap atau ”amplop”.

Industri media yang menggurita melahirkan ”pemburu-pemburu” berita yang hidup dalam tekanan deadline. Tak jarang untuk menambah penghasilan, jurnalis harus berperan ganda dengan menjadi pencari iklan. Hubungan baik dengan narasumber dan iming-iming citra yang baik digunakan umpan untuk mengail iklan. Sejumlah media di Tanah Air memang melarang keras para jurnalisnya untuk mencari iklan. Namun, tidak sedikit pula yang memanfaatkan para jurnalisnya untuk memburu iklan.

Jenjang karier

Kompetisi antarmedia terutama televisi secara langsung meningkatkan kebutuhan atas informasi. Kebutuhan itu dipasok oleh koresponden atau kontributor. Biasanya mereka berkerja tanpa ikatan kontrak yang jelas. Bahkan, istilah ”ada berita ada uang” pun rasanya tak cukup. Hal itu dikarenakan gaji mereka bukan tergantung kepada berapa banyak berita yang disetorkan, melainkan berapa banyak berita yang ditayangkan. Dalam mata rantai berita mereka berada di garda depan, tatapi dalam urusan kesejahteraan terpinggirkan. Mereka adalah golongan yang paling rentan dalam bisnis media.

Kondisi itu diperparah dengan tidak jelasnya jenjang karier. Meski sudah bekerja selama bertahun-tahun, status mereka tidak juga berubah. Tekanan beban kerja dan himpitan kebutuhan melahirkan kiat untuk menyiasatinya. Inilah pula yang kemudian memunculkan ”korespondennya”-nya koresponden, yang memperpanjang alur produksi berita. Mereka tidak bekerja pada perusahaan media, melainkan bekerja untuk koresponden.

Seorang kawan jurnalis pernah bercerita kalau dirinya merasa kaget bukan kepalang manakala peristiwa yang diliputnya tiba-tiba muncul di stasiun televisi lain. Keheranannya muncul karena dia merasa dirinyalah satu-satunya koresponden yang meliput dan mengambil gambar dengan handycam miliknya.

Di kalangan jurnalis, itu dikenal sebagai hasil kerja ”tuyul”. Istilah yang merujuk makhluk halus yang dipercaya sebagian orang ahli dalam mencuri uang. Mereka tidak tampak tapi hasil kerjanya kelihatan. Istilah lain untuk ”tuyul” adalah piyik. Piyik adalah sebutan untuk anak burung yang baru menetas. Piyik bekerja untuk koresponden yang dianggap sebagai induk. Tentu saja upah mereka lebih kecil dibandingkan dengan koresponden, bahkan mereka masih dibebani oleh biaya kirim.

Tidak adanya standar upah untuk jurnalis, membuat perusahaan media acap kali menggunakan patokan UMK sebagai dasar untuk menggaji karyawannya. Standar upah jurnalis dengan menggunakan UMK jelas tidak memadai. Ini dikarenakan standar UMK jauh untuk memenuhi kebutuhan minimal orang yang bekerja sebagai jurnalis. Karena itu, adanya standar penggajian yang jelas kiranya cukup logis karena besarnya tanggung jawab dari profesi ini.

Berdasarkan survei AJI, sebagaimana dikatakan Ketua AJI Indonesia Nezar Patria, standar gaji minimal untuk seorang jurnalis adalah Rp 4,1 juta per bulan. Nilai itu berlaku secara nasional yang diharapkan memadai untuk memenuhi kebutuhan layak minimal.

Pasal 10 Undang-Undang Pers dengan tegas mengamanatkan kepada perusahaan media untuk meningkatkan kesejahteraan pekerjanya. Langkah itu bisa diperoleh melalui kepemilikan saham, kenaikan gaji, bonus, serta asuransi yang layak. Terkait dengan kompetensi, maka hal itu harus disertai upaya kesejahteraan jurnalis.

Rendahnya upah jurnalis dan keharusan memenuhi aspek kompetensi memang seolah berada dalam kutub berjauhan. Secara sederhana dapat dikatakan bagaimana kompetensi jurnalis dapat dikejar, manakala gaji tidak beranjak naik dan harga kebutuhan terus meningkat. Meski demikian, jurnalis sebagai profesi harus mempunyai kompetensi.

Hal itu akan mengukuhkan jurnalis sebagai layaknya profesi lainnya. Adanya standar kompetensi yang baku diharapkan akan mendorong naiknya upah jurnalis, sehingga mampu benar-benar bersikap independen. Standar kompetensi yang tinggi disertai upah layak diyakini akan menciptakan jurnalis berkualitas dan produk jurnalisme yang berkualitas pula. - Oleh : Ariyanto, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surakarta

Opini SOlo Pos 9 Februari 2010