08 Februari 2010

» Home » Lampung Post » Perspektif Pers di Era Reformasi

Perspektif Pers di Era Reformasi

Nadia Raissofi H.
Mahasiswa Fakultas Hukum Unila dan Aktivis HMI
MEMPERINGATI Hari Pers Nasional, 9 Februari. Kalau berbicara tentang pers di era reformasi dewasa ini, pers nasional sudah jauh berkembang.
Di era reformasi, pers nasional mengalami perubahan drastis, baik pada pemberitaan yang terasa lebih bebas, maupun dari sisi pengelolaan yang lebih profesional. Maka, tidak dapat dimungkiri peran pers menjadi lebih penting bila dibanding era sebelumnya. Pers yang bebas dapat memberikan informasi serta pendidikan di berbagai bidang kehidupan, misalnya saja di bidang politik, jelas kontribusi pers dalam rangka demokratisasi sedemikian besar.


Sayangnya, kebebasan pers dewasa ini terkadang jarang dibarengi dengan tanggung jawab. Pers yang sedemikian bebasnya kerap kali cenderung terlalu bebas, bahkan menjadi "hakim", "polisi", "penekan", dan mungkin sekali menjadi otoriter. Seakan-akan dengan kebebasannya, pers bisa mendaulat, memvonis, dan menekan siapa saja dengan pemberitaannya yang pada gilirannya bisa mereduksi peran pers itu sendiri.
Padahal, pers yang bebas dan bertanggung jawab, di pundaknya harus ada sikap-sikap informatif profesional. Dalam sikap ini tercakup nilai nilai pedagogis, merefleksikan pemihakan pada rakyat, dan membantu meluruskan persoalan, dus bukan memperkeruh persoalan.
Pers yang bebas dan bertanggung jawab sarat dengan dinamika dan interaksi positif bagi perkembangan masyarakatnya sehingga peran pers dapat dipertimbangkan sedemikian rupa bagi pertumbuhan suatu bangsa. Sayangnya, di era reformasi, ketika pers diberi peran strategis, justru pers menampilkan bentuk yang terkadang "salah kaprah". Pers acap kali keluar dari koridor kebutuhan masyarakat untuk menemukan informasi, tetapi pers justeru semakin menguatkan dirinya ke arah yang menyimpang.
Dalam kerangka itulah, sudah saatnya kita menggugah sisi pers yang mampu merespons reformasi secara positif. Pers dapat berperan serta aktif, selain menjadi pilar keempat bagi terwujud demokratisasi politik dalam sistem politik Indonesia, pers juga mampu menjadi pers industri yang berlandaskan profesionalisme. Dalam konteks ini, pers, tentu saja didaulat untuk kembali ke khitahnya, yaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Menurut hemat penulis, pers yang bebas dan bertanggung jawab berkaitan langsung dengan dua hal penting, yakni pers yang mampu mengungkap fakta secara valid dan pers yang mampu mengaktualisasikan diri bagi kepentingan masyarakat. Karena itu, pers dituntut untuk berstandar pada pokok pokok magnitudenya, semisal, jangan sampai pers memberitakan sesuatu yang cenderung mencelakakan pihak lain. Contoh sederhana, di kota X ada seorang pedagang bakso tikus, lalu diberitakan sedemikian bombastis, padahal pedagang bakso tikus hanya seorang, sementara pedagang bakso yang bukan bakso tikus di kota X tersebut ada lebih dari dua ratus. Ini tentu saja merugikan para pedagang bakso di kota X tersebut.
Perspektif pers di era reformasi, selain sesuai dengan proporsi yang mengacu pada validitas data kuantitatif, juga profesionalisme wartawan, diharapkan mampu menerjemahkan data kuantitatif ke skematis kualitatif, ini tentu memerlukan kecerdasan wartawan. Apabila aspek aspek penting, seperti profesionalisme, pengungkap data dan fakta yang akurat, dan setiap insan pers menjelmakan dirinya sebagai pahlawan reformatif dan informatif, niscaya pers di Indonesia akan lebih berkualitas.
Berkualitas di sini dapat bermakna banyak bagi pencerahan nilai-nilai baru sesuai dengan (sejalan) dengan kebasan pers, seperti yang diungkap dimuka tulisan ini. Kita, sesungguhnya patut berterima mkasih terhadap reformasi, namun denyut reformasi, toh harus disikapi secara lebih produktif, pedagogis, profesional dan rasional, dalam arti, justru di era reformasi ini, kita patut bersikap tidak "semaunya" dalam memberitakan sesuatu.
Era reformasi yang acap kali disebut sebagai transisi menuju demokrasi, selayaknya dipetakan dalam dua ruang gerak pers yang satu sama lain saling menunjang. Pertama, berada pada pilar pembelaan untuk rakyat, termasuk di dalamnya menjunjung tinggi kebenaran bagi penegakan kedaulatan rakyat.
Kedua, mentransformasikan dan menginformasikan secara jujur terhadap berbagai aspek penting demi penyelamatan bangsa, tentu di sini idealisme itu mutlak dimiliki oleh wartawan, dan jajaran pengelola pers.

Opini Lampung Post 9 Februari 2010