Rakyat umumnya menginginkan perubahan dan tidak suka status quo, harapannya calon perseorangan lebih berani melakukan terobosan dan perubahan yang terencana.
MEMASUKI Tahun Macan 2010 suhu politik akan kembali meningkat karena di Jawa Tengah diselenggarakan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (sekarang disebut pemilukada) di 17 kabupaten/kota mulai April sampai Oktober 2010.
Ada beberapa catatan sehubungan dengan penyelenggaraan pemilukada, yaitu calon (1) melalui partai politik (parpol); (2) melalui perseorangan; dan (3) melalui DPRD, apakah masing-masing itu lebih berhasil? Ketiga catatan itu harus dikaji lebih dalam dan terinci sebab masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan.
Mengapa perlu dikaji, hal itu berkaitan dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan baik oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) ataupun oleh calon. Di sisi lain juga berkaitan dengan sejauhmana kinerja pemimpin yang terpilih melalui pemilihan langsung apakah sudah menunjukkan hasil yang lebih baik. Dengan demikian harus ada evaluasi dari pemerintah daerah dan rakyat supaya pemilukada lebih bermakna bagi semua pihak.
Hal lain yang perlu dikaji ulang adalah apakah platform parpol dijadikan referensi oleh calon yang pernah diusung dan terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah, apalagi jika calon tersebut merupakan koalisi antarparpol. Karena itu parpol/koalisi parpol jangan terkesan hanya dijadikan sebagai perahu (kendaraan) oleh calon dan setelah calon itu terpilih maka bak peribahasa habis manis sepah dibuang.
Lalu, calon dari perseorangan yang maju pemilukada itu sebetulnya mau berbuat apa untuk daerah? Jelas dari sisi biaya pasti mahal dan jika terpilih pun belum tentu mendapat dukungan penuh dari anggota DPRD. Ada baiknya kita menyimak pendapat Ramlan Surbakti (1992: 168) mengenai istilah pemerintahan yang artinya menyangkut tugas dan kewenangan yang jika dikaji dari aspek kegiatan (dinamika), maka pemerintahan itu maknanya adalah segala kegiatan atau usaha yang terorganisasi, bersumber pada kedaulatan dan berlandaskan pada dasar negara.
Sedangkan menurut Inu Kencana (2001: 59), syarat-syarat berdirinya negara harus ada wilayah, harus ada pemerintah/pemerintahan, harus ada penduduk dan harus ada pengakuan dari dalam dan luar negeri (kedaulatan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemerintahan adalah kegiatan yang mengorganisasi rakyat bersumber pada kedaulatan yang berdasarkan pada dasar negara dalam wilayah negara tertentu demi untuk mencapai tujuan negara itu. Kedua teori tersebut jika dikaitkan dengan Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Maka siapa pun termasuk calon perseorangan yang memenuhi syarat menjadi pejabat publik dan mampu mengelola pemerintahan sah-sah saja untuk maju dalam pencalonan pemilukada. Pertanyaannya apakah calon perseorangan mampu mengorganisasi atau mengelola pemerintahan seperti syarat-syarat tersebut?
Bagaimana peluang calon perseorangan jika dapat memenangi pemilukada? Melihat fakta politik di Jawa Tengah dalam penyelenggaraan pilkada 2005-2008 tidak ada satu pun daerah yang dimenangi oleh calon perseorangan, bahkan hanya sedikit daerah yakni Kota Tegal dan Kabupaten Tegal yang diikuti oleh calon perseorangan.
Calon perseorangan harus mempunyai modal sosial yang kuat (misalnya rekam jejaknya bagus, punya prestasi di bidangnya, jaringannya luas, mempunyai jiwa sosial yang sudah terbukti, mempunyai dana, mempunyai visi, misi dan program yang jelas untuk membawa perubahan ke arah yang positif) jika ingin diterima oleh semua pihak.
Karena itu jika nantinya ada calon perseorangan yang terpilih maka ia harus extraordinary menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya dan membentuk tim sukses (baca tim ahli) yang tidak hanya pada saat berlangsungnya pemilukada tetapi juga menjadi tim ahli untuk lima tahun ke depan.
Justru di sinilah kelemahan pejabat publik di Indonesia yang berasal dari parpol jika dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS), yaitu sebelum Barack Obama dilantik menjadi presiden ke-44 bersama tim ahlinya masih mempunyai sisa waktu kurang lebih 80 hari untuk mempersiapkan tim kabinetnya, dengan jajaran aparatur pendukung pemerintahan, baik jajaran di Gedung Putih maupun lembaga-lembaga strategis lainnya seperti kementrian.
Bagaimana dengan pejabat publik di Indonesia yang memenangi pemilukada, baik yang diusung parpol maupun dari perseorangan, ketika masuk dalam lingkungan birokrasi, sudah barang tentu tidak mempunyai tim ahli yang akan membantu mengorganisasi atau mengelola pemerintahan terutama dalam mengaplikasikan gagasannya yang tertuang dalam visi, misi, dan program, serta janji-janjinya ketika kampanye. Pada akhirnya akan kembali memakai tim ahli yang tersedia di jajaran pemerintahan yang akan dipimpinnya dan tentu memakan waktu yang cukup lama dalam membangun chemistry.
Akhirnya, saat ini semua pihak harus hati-hati menghadapi sikap pemilih yang mulai jenuh untuk berpartisipasi dalam pemilukada karena keputusan politiknya sulit sekali diprediksi, andaikata mereka memilih calon perseorangan, maka akibatnya akan timbul dilema. Sebab secara empirik, rakyat umumnya menginginkan sebuah perubahan dan tidak suka dengan status quo, harapannya calon perseorangan lebih berani melakukan terobosan dan perubahan yang terencana.
Jadi calon dari perseorangan sebaiknya harus lebih berkualitas dari calon yang diusung oleh parpol. Dengan demikian sebaiknya parpol harus mencari atau minimal mendorong calon-calon yang berkualitas tetapi tidak mempunyai dana, sehingga calon tidak perlu mengeluarkan biaya sewa perahu, sedangkan keuntungan yang akan diperoleh parpol adalah citranya akan naik dan dapat menjadi modal untuk meraih simpati dan suara rakyat pada Pemilu 2014. (10)
— Doktor Ari Pradhanawati MS, dosen FISIP Undip
Wacana Suara Merdeka 20 Februari 2010