19 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Menyantrikan Kabupaten Pekalongan

Menyantrikan Kabupaten Pekalongan

Konsekuensi logisnya, masyarakat dan aparat pemkab harus bisa mempertahankan nilai-nilai kesantrian yang telah melembaga di dalam kehidupan masyarakat

ADALAH Kabupaten Pekalongan, yang juga disebut sebagai Kota Santri, selain Kota Pekalongan. Tidak begitu jelas siapa yang kali pertama ’’menobatkan’’ sebutan itu. Kemungkinan para pejabat di daerah tersebut tidak memiliki cukup referensi untuk menjawab secara tepat, terlebih makna menyangkut filosofinya.


Ada satu alasan yang penulis anggap cukup kuat atas penamaan itu, yakni situasi kehidupan masyarakat di beberapa daerah tertentu yang sangat kental nuansa santrinya.Misalnya Kecamatan Wonopringgo, Kedungwuni, dan  Buaran. Potret dan  gambaran gaya hidup santri tradisional di daerah-daerah ini mudah kita jumpai.

Dari cara berbusana hingga cara berpikir masyarakatnya persis layaknya komunitas santri di tengah pondok pesantren. Contoh kecil, tradisi kaum pria yang lebih suka pakai sarung dan berpeci daripada pakai celana dan buka kepala. Kemudian kaum perempuannya yang lebih memilih mengenakan busana yang menutup tubuh hingga bawah lutut. Kalau dulu mereka biasanya pakai tapih (jarik) dan berkerudung atau jilbab.

Tradisi berbusana seperti ini dulu berlaku pada siapa saja tidak pandang umur. Sejak usia anak akil balig hingga orang dewasa. Bahkan dulu salah satu madrasah ibtidaiyah tertua di Buaran mengharuskan murid laki-lakinya berpakaian sarung sejak kelas tiga. Pemandangan lalu-lalang orang lelaki bersarung dan berpeci mudah kita saksikan di jalan-jalan raya, saat mereka pergi belanja atau berkegiatan lain, bahkan ke mal sekalipun. Demikian pula kaum wanitanya mengenakan tapih dan berkerudung.

Pola berpikir seorang santri cederung praktis sehingga pada tataran perilaku kehidupan sehari-harinya nyaris terkesan sering menyederhanakan masalah yang mereka hadapi betapa pun peliknya. Mereka lebih memilih sesuatu yang paling mudah dikerjakan dan berisiko ringan, meski tidak mendatangkan banyak keuntungan daripada memilih sesuatu yang sulit dikerjakan dan berisiko berat meski mendatangkan keuntungan besar.

Karenanya, dulu mayoritas masyarakat di daerah ini tidak begitu minat bekerja sebagai PNS. Minat mereka lebih tinggi berwiraswasta daripada jadi PNS. Dengan berwiraswasta mereka bisa bekerja bebas, dalam arti mereka leluasa menentukan pilihan, jenis pekerjaan yang cocok buat dirinya dan sebagainya.
Selain tidak terikat dengan jam kerja, mereka merasa tidak terikat oleh aturan-aturan yang pakem yang membuat mereka tidak dapat bergerak bebas.

Di daerah ini, masyarakat memanfaatkan hari Jumat sebagai hari libur kerja, tidak seperti lazimnya di kota lain yang memilih hari Ahad (Minggu). Jadi, sekolah atau madrasah swasta memilih libur pada Jumat bukan Ahad. Demikian pula tempat-tempat kerja swasta.
Efisiensi Waktu Kenapa mereka menjadikan Jumat sebagai hari libur kerja? Jawabnya singkat, yakni demi efisiensi waktu mengingat  hari itu merupakan hari besar bagi umat muslim, dan diwajibkan bagi mereka untuk shalat jumat yang berarti  mengurangi jam kerja.

Kebiasan santri berpikir sederhana ini merupakan wujud implementasi dari metode berpikir para ulama terdahulu yang terinspirasi dari pesan-pesan Alquran dan Hadis, baik secara tekstual maupun kontekstual. Misal, dalam menyikapi perkembangan sosial budaya mereka menggunakan melestarikan tradisi lama yang baik dan mengakomodasi tradisi baru yang lebih baik.
Dalam menilai kinerja pemerintah, pun mereka berpegangan kaidah kebijakan pemimpin wajib tunduk pada kepentingan rakyat. Artinya, semua kebijakan pemerintah dalam melakukan pembangunan harus berpihak kepada kepentingan rakyat kecil.

Dalam konteks hidup bernegara, semangat komunitas santri umumnya bermuara pada perjuangan yang memosisikan rakyat sebagai tuan, yang harus mendapat pelayanan pemerintah secara total. Berangkat dari dasar pemikiran ini, muncul jargon dalam komunitas santri yaitu roisul ummah khodimuha, yang intinya pimpinan rakyat adalah pelayan mereka. Ini benar-benar masih dipegangi dan dijalankan oleh para tokoh santri: kiai. Konsekuensi logisnya, masyarakat dan aparat pemkab harus bisa mempertahankan nilai-nilai kesantrian yang telah melembaga di dalam kehidupan masyarakat, baik dalam lingkungan masyarakat awam maupun birokrasi pemerintahan.

Untuk mewujudkan upaya menyantrikan daerah itu, pemda harus memiliki komitmen bersama, untuk membudayakan nilai-nilai luhur. Misalnya dalam menjalankan tugas pemerintahan harus berdasarkan pada pokok pikiran yang berpihak kepada rakyat tidak hanya bagi kelompok tertentu. Apalagi hanya menguntungkan penguasa dan merugikan rakyat. Pendek kata, harus menciptakan birokrasi pemerintahan yang bersih dan sehat. Pemda juga perlu memfasilitasi dan memberikan dukungan kepada masyarakat dalam mengembangkan kehidupan keagamaan. (10)

— M Agus Salim Busyairi, staf Penamas Kandepag Kabupaten Pekalongan
Opini Suara Merdeka 20 Februari 2010