Oleh ASEP SALAHUDIN
Pada Minggu, 21 Februari 2010, bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global akan memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day). Berkaitan dengan peringatan ini, menarik kita merefleksikan posisi bahasa Sunda dan kemungkinan memperluas wilayah cakupan pergaulannya, baik dari sisi para pemakainya maupun dari sudut epistemologinya.
Kita sudah sering mendengar asumsi bahwa selama ini ketika mendengar bahasa Sunda, biasanya yang terbayang dalam memori kolektif kita, bahasa itu hanya dapat mewadahi laporan jurnalistik, puisi, roman, dan agama. Satu asumsi yang tidak terlampau keliru sebab dalam kenyataannya kita akan sangat mengalami kesulitan menemukan dispilin ilmu pasti (eksak), antropologi, sosiologi, komunikasi, dan seterusnya (humaniora) diformulasikan dalam bahasa Sunda. Padahal, bahasa yang kita gunakan, kata Ludwig Wittgenstein, ahli filsafat bahasa dari Austria, menyiratkan suatu orientasi hidup yang bukan saja mencakup konsep yang kita anut mengenai sekitar, melainkan juga perasaan, nilai, pikiran, kebudayaan, hingga takhayul.
Sempitnya pakumbuhan (pergaulan) bahasa Sunda di satu sisi semakin diperparah dengan kian langkanya bahasa itu dijadikan sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kota-kota besar di Jawa Barat. Dalam satu rumah tangga yang tulen pituin orang Sunda, ternyata tidak ditumbuhkan regenerasi kepada anak-anaknya akan kebanggaan berbahasa Sunda. Belum lagi dalam ruang sosial yang lebih luas, seperti khotbah Jumat beralih kode menjadi bahasa Indonesia, pengajian-pengajian begitu juga, diskusi yang diselenggarakan ormas-ormas (Islam) dipadungdengkeun dalam bahasa Melayu.
Apalagi, tabloid dan majalah berbahasa Sunda yang pembacanya justru kian menyusut. Hal itu berbanding terbalik dengan fantasi nominal penduduk Jawa Barat yang lebih dari tiga puluh jutaan. Mangle tidak pernah menyentuh oplah 30.000, Cupumanik, Sunda Midang, Bina Dakwah, Galura merupakan setali tiga uang.
Bahkan, apa hendak dikata, idealisme untuk mulangkeun panineungan mengembalikan kejayaan Sipatahunan dengan merombak Tabloid Kujang dengan Koran Sunda hanya dalam hitungan waktu yang singkat dan akhirnya harus juga mengalami nasib tragis. Bukan diberedel karena laporan kritisnya, melainkan mati terengah-engah karena tidak mendapatkan sambutan pembaca primordial. Selain itu, absennya pemasang iklan dan kepedulian pemerintah daerah yang setengah-setengah.
Perspektif pesimistis
Dalam konteks ini menjadi sangat beralasan kalau banyak pandangan pesimistis yang beranggapan, bahasa ini sedang berada di tubir kematiannya, tengah mengalami sakratulmaut. Padahal, sama sekali tidak ada jaminan satu bahasa akan awet, kecuali para penggunanya menampakkan militansi untuk menggunakannya, mengembangkannya, dan memperluas epistemologi pergaulannya. Sejarah mencatat bergugurannya bahasa yang ada di dunia sebagaimana pernah dicatat Ajip Rosidi dalam majalah Cupumanik (No. 11, Juni 2004). "Menurut perhitungan para ahli, saat ini di dunia ada sekitar 6.000 bahasa. Pada akhir abad ini, akan tersisa sekitar setengahnya. Artinya, 30 bahasa mati dalam setahun. Artinya, dua setengah bahasa dalam sebulan akan mati. Kira-kira setiap 10 hari, ada satu bahasa yang hilang dari dunia. Bahasa Sunda ada dalam antrean yang akan mati sebab orang Sunda sudah tidak mau berbicara menggunakan bahasa Sunda," ujar Ajip.
Di sinilah barangkali bentuk militansi kepemilikan bahasa ini bukan sekadar perluasan opsi komunikasi dan memperluas bacaan berbahasa ibu, melainkan juga bagaimana bahasa Sunda dapat dijadikan media untuk menyampaikan pikiran keilmuan yang lebih "serius". Hal itu sebagaimana, antara lain, langkah awal diretas Anas Mabarti yang menulis politik dalam bahasa Sunda atau tulisan pragmentaris yang mengemas persoalan kesehatan oleh Sam Askari Soema di Pradja.
Kita mungkin membayangkan bagaimana di Unpad, UPI, UIN, Unpas, Unisba, sebagian diktat mata kuliah ditulis dalam bahasa Sunda. Di ruang-ruang kelas diskusi keilmuan berlangsung dalam bahasa Sunda tanpa harus terjebak dalam sentimentalisme kedaerahan yang sempit tentu saja. Forum seperti ini juga pada sisi lain menjadi proses edukasi bahasa bagi mereka yang berasal dari luar Jawa Barat.
Selama ini, yang acap kita dengar kesundaan kaitannya dengan perguruan tinggi hanya aspek politis. Terdengar tatkala pemilihan rektor atau saat politisi membutuhkan tautan kultural dan akhirnya yang paling mudah adalah memperalat kebudayaan (Sunda).
Inilah barangkali politik kesundaan termasuk di perguruan tinggi di Jawa Barat yang sangat reduktif: ingar-bingar bukan dari aspek epistemologi, tetapi dari sisi aksiologi politik yang sangat sempit. Karena dari sisi epistemologi absen, maka jangan heran akhirnya Ki Sunda tetap ngarangrangan, tidak membawa pencerahan (iluminasi), perubahan (transformasi), apalagi pembebasan untuk memperluas kiprah yang lebih luas (liberasi).
Tentu juga harus dicatat beberapa kegiatan Rektor Unpad, alumnus Damas, yang mencoba menarik kegiatan kesundaan dalam wilayah kampus dan penghargaan kepada para kolumnis yang menulis dalam bahasa Sunda walaupun aspek epistemologi kesundaan belum tergarap. Namun, bagaimanapun juga, ini langkah awal yang sangat bagus untuk mengawinkan Ki Sunda dalam pergaulan yang lebih luas tanpa harus ditumpangi oleh hasrat politik jangka pendek.
Dari pakumbuhan bahasa Sunda yang ditautkan dengan keilmuan yang lebih luas, kita layak menanamkan harapan akan nanjer-nya Ki Sunda dengan lebih ajek.***
Penulis, kandidat doktor Unpad Bandung, pengamat kebudayaan Sunda.
Opini Pikiran Rakyat 20 Februari 2010