PADA suatu kesempatan, sambil menunjukkan buku berjudul ‘’Plagiat-plagiat di MIT: Tragedi Akademis di Indonesia” yang ditulis oleh Dr Ismet Fanany, Prof Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hanya kepada mereka yang tidak pernah menulis ancaman akan terjadinya plagiarisme tidak akan pernah terjadi.
Tentu, Prof Tjip, tidak akan mengatakan bahwa plagiarisme adalah suatu hal biasa, apalagi dibenarkan. Pesan penting yang Beliau sampaikan adalah kejujuran akademik harus benar-benar dijaga untuk menegakkan integritas seorang intelektual. Dalam lingkungan akademis, isu plagiarisme sangat krusial sebab kejujuran ilmiah ini adalah pilar utama dan plagiarisme adalah aib yang harus dihindarkan.
Hari-hari ini, dunia akademik Indonesia digoncang lagi oleh berita menghebohkan, yakni terancam dicabutnya jabatan guru besar seorang dosen di Universitas Parahyangan; AAGP, karena diduga melakukan plagiarisme. Pada Januari lalu, kita juga mendengar 1.700 orang guru di Riau diduga melakukan plagiarisme karya ilmiah untuk prasyarat sertifikasi guru.
Begitu pentingkah kejujuran akademik dalam dunia akademik sehingga jabatan guru besar harus menjadi taruhan? Atau demi apakah plagiarisme begitu marak dilakukan? Modus-modus apa yang biasa menjadi ajang plagiarisme dan bagaimana mencegahnya?
Walaupun ada kesepahaman makna plagiarisme, masih terdapat perbedaan akan batasan-batasan plagiarisme sebagai suatu pelanggaran, dari plagiarisme ringan hingga berat. Perbedaan tersebut karena plagiarisme didefinisikan sebagai tindakan menyalin sebagian kecil atau bahkan sepenuhnya kalimat, paragrap, karya kreatif orang lain, atau gagasan orang lain tanpa menyebut rujukan dari mana sumbernya.
Pada kebanyakan universitas terkemuka, khususnya di luar negeri, batasan plagiarisme sangat ketat. Karena itu, sanksinya bisa sangat berat. Kasus yang menimpa AABP, adalah sedikit dari kasus plagiarisme yang terungkap. Sebelum kasus AABP, dunia akademik Indonesia juga pernah digegerkan kasus serupa bahkan dengan tingkat yang lebih berat, yakni disertasi doktor di UGM, yang kemudian UGM mencabut gelar doktor dari mahasiswa tersebut. Sangat mungkin, masih banyak lagi kasus-kasus serupa terjadi dalam dunia akademi kita, tetapi tidak terungkap ke publik.
Kasus plagiarisme tidak mesti menimpa orang-orang yang sering menulis, tetapi juga mereka yang termasuk orang yang justru jarang menulis. Dunia akademik kita memang rawan plagiarisme. Maraknya usaha konsultan penulisan skripsi, tesis dan disertasi saat ini menjadi contoh nyata akan hal tersebut.
Selain ‘’pabrik skripsi’’, modus lain yang sangat mudah dan aman adalah tulisan hasil karya mahasiswa yang kemudian ditulis kembali oleh dosen pembimbingnya atau mahasiswa lainnya. Modus ini relatif aman karena karya ilmiah mahasiswa biasanya tidak dipublikasikan dan hanya ditayangkan di perpustakaan, sehingga hanya sebagian kecil orang yang mengetahuinya.
Nafsu hedonis menjadi pendorong utama maraknya plagiarisme dalam dunia akademik. Kebijakan pemerintah memberikan tunjangan sertifikasi guru dan dosen serta tunjangan kehormatan guru besar yang maksudnya sungguh baik, tidak jarang justru disalahmanfaatkan oleh guru dan dosen dengan memanfaatkan karya orang lain, yang kemudian ditulis kembali menjadi suatu karya ilmiah baru hanya demi mendapatkan angka kredit untuk kepentingan kenaikan jabatan. Mengapa perilaku tidak terpuji terjadi? Jawabannya karena dorogan nafsu hedonis tersebut dan semangat ingin serbainstan untuk mencapai sesuatu.
Plagiarisme adalah suatu kejahatan akademik (academic criminal). Karena sebagian besar karya ilmiah belum dilindungi Undang-Undang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), penjiplakan tidak termasuk sebagai pelanggaran hak cipta dan karena itu sangat sulit dipidanakan. Plagiarisme termasuk sebagai pelanggaran etika. Sebagai suatu norma, tentu etika tersebut secara otomatis harus dipahami oleh setiap individu dalam lingkungan akademik.
Sungguh aneh jika dikatakan pelanggaran itu dilakukan secara tidak sengaja dan karena tidak tahu kalau plagiarisme adalah suatu pelanggaran etika. Dengan demikian, plagiarisme pada dasarnya adalah suatu bentuk tindakan Korupsi etika. Bagi kalangan akademisi, plagiarisme ini adalah aib yang sangat tidak mudah terhapuskan.
Dalam konstruksi berpikir etis, plagiarisme adalah sebuah tindakan sangat destruktif, karena selain dipandang sebagai suatu bentuk ketidakadilan, ia bisa dipandang sebagai suatu proses delegitimasi eksistensi keilmuan. Plagiarisme adalah suatu ketidakadilan karena kepuasan atau manfaat yang diperoleh seseorang dilakukan dengan mengabaikan hak bahkan meniadakan hak orang lain untuk mendapatkan kepuasan atau manfaat yang sama.
Sementara plagiarisme dilihat sebagai proses deligitimasi karena legitimasi keilmuan dibangun di atas dasar-dasar etis bagaimana kebenaran ilmu pengetahuan itu diperoleh. Penulis karya ilmiah harus mempertanggunjawabkan atas apa yang dia tulis. Karena itu, tulisan ilmiah tersebut harus dibangun dari kejujuran dan objektivitas. Atas dasar ini, plagiarisme akan menyebabkan terjadinya defisit kredibilitas dunia akademik. Karena itu pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mencegah ancaman penurunan kredibilitas karena plagiarisme tersebut?
Tentu sangat tidak mudah mencegah terjadinya plagiarisme ini. Saya yakin setiap satuan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, sudah mempunyai peraturan tetang kode etik akademik. Yang diperlukan saat ini adalah adanya aturan yang secara teknis rinci mengatur mekanisme pengawasan untuk membatasi dengan ketat akan kemungkinan plagiarisme. Selain itu perlu dibangun sistem informasi yang memungkinkan setiap karya ilmiah dari suatu satuan pendidikan dapat diakses secara umum, setidaknya oleh lingkungan akademik terdekatnya. Perkembangan teknologi saat ini juga sudah sangat membantu karena secara teknis saat ini sudah mulai banyak software yang mampu membantu untuk membatasi kemungkinan plagiarisme tersebut.
Secanggih apapun sistem informasi yang dibangun untuk membatasi kemungkinan plagiarisme tersebut, tidak akan efektif jika lingkungan akademik sendiri tidak mempunyai kepedulian untuk mencegahnya. Kepedulian ini yang perlu ditumbuhkan dalam lingkungan akademik, yakni dengan menempatkan plagiarisme sebagai musuh bersama yang akan merongrong kredibilitas institusi dan insan akademik. Tidak jarang pula, lingkungan terdekat mengetahui adanya plagiarisme, tetapi hanya karena takut dikatakan menghambat atau hubungan menjadi tidak nyaman lantas lebih baik diam dan membiarkan plagiarisme berkelanjutan.
Katakan benar adalah benar dan salah adalah salah, walau hal itu menyakitkan. Itu kata-kata bijak yang mudah diucapkan, tetapi tidak mudah untuk melaksanakan. Atau, kita perlu membaca kembali kata-kata Soe Hok Gie dalam bukunya, Catatan Harian Seorang Demonstran yang mengatakan,’’lebih baik saya diasingkan daripada harus menjadi seorang munafik’’. Semoga kasus yang menimpa AABP menjadi kasus terakhir yang mencederai dunia akademik Indonesia. (10)
— FX Sugiyanto, guru besar ilmu ekonomi Fakultas Ekonomi Undip
Opini Suara Merdeka 20 Februari 2010