18 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Mutualisme UU Perkawinan-Agama

Mutualisme UU Perkawinan-Agama

Parahnya lagi, akibat ulah penganutnya, agama turut melanggengkan praktik-praktik pengabaian hak-hak bagi perempuan dan anak

PERDEBATAN publik di media massa seputar Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Material Peradilan Bidang Perkawinan (RUU HMPBP) yang kini masuk dalam salah satu program legislasi nasional 2010 mulai terdengar.


Khalayak kian ramai memperbincangkan sanksi pidana bagi pelaku perkawinan siri, mut’ah (kontrak), perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, serta perceraian yang tanpa dilakukan di muka pengadilan, melakukan perzinahan, dan menolak bertanggung jawab, menikahkan atau menjadi wali nikah. Pro kontra pun tak terelakkan.

Sebagaimana banyak diberitakan, draf RUU HMPBP menyebutkan ancaman hukuman pidana bervariasi, mulai 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai Rp 6 juta hingga Rp 12 juta. Bagi yang pro, salah satu alasannya adalah untuk menjaga hak-hak perempuan dan anak. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD misalnya, bersepakat akan wacana pelarangan pernikahan siri dalam RUU HMPHP itu dengan alasan agar tidak terdapat korban akibat pernikahan jenis tersebut.

Mahfud berpandangan bahwa pelarangan atas pernikahan siri tersebut tidak melanggar ketentuan agama karena dalam Islam sendiri terdapat beragam penafsiran. Karenanya, pernikahan siri harus diatur dalam UU, ada sanksi tegas kepada para pelaku yang melanggar. Pandangan senada juga diserukan Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa.

Sementara bagi bereberangan atau yang kontra, agama (baca: Islam) secara normatif tidak melarang menikah di bawah tangan (nikah siri). Selama pernikahan memenuhi sarat dan rukunnya, tanpa dicatat di hadapan pejabat nikah pun hukumnya sah. Negara tidak berhak mengurusi persoalan agama.

Argumentasi demikian tentu dangkal dan cenderung dikotomis. Memang, satu sisi nikah adalah urusan agama. Namun di sisi lain juga memuat persoalan sosial seperti kesejahteraan dan  rasa aman, berkait erat dengan masa depan anak dan kebahagiaan perempuan (istri) yang menuntut keterlibatan negara.

Penulis sedikit menyayangkan pendapat salah satu petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini yang menyatakan sanksi pidana boleh dijatuhi atau diterapkan jika sudah ada korban.

Pendapat demikian tentu bertolak belakang dengan fakta yang ada dan secara tidak langsung kehilangan relevansinya. Di lapangan, tidak sedikit  hak-hak perempuan dan anak terabaikan sebagai dampak dari nikah siri.

Pejabat Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Nasaruddin Umar pun mengakui korban akibat nikah siri sudah banyak terjadi. Dalam konteks ini, penulis menaruh apresiasi terhadap pemberlakukan UU baru itu yang konon sebagai penyempurna UU Nomor 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan.

Tuntutan Zaman

Menurut hemat penulis, logika bahwa urusan nikah adalah urusan agama yang lepas dari intervensi negara tampaknya perlu digugat, untuk tidak mengatakan diluruskan. Logika itu  masih dominan berpijak pada konsep klasik dalam mengklasifikasikan pemahaman agama.

Padahal, dalam konteks kehidupan saat ini, konsepsi-konsepsi tersebut perlu ditampilkan dengan wajahnya yang baru agar sesuai dengan tuntutan zaman, khususnya persoalan jenis nikah siri.
Apalagi, konteks bersosial, berhukum dan berpolitik di negeri ini bisa dikatakan unik. Indonesia bukan negara sekuler, negara Islam pun bukan.

Singkatnya, relasi agama dan politik sulit diidentifikasi jenis kelaminnya jika dilihat dari sudut pandang ilmu atau teori-teori politik yang selama ini dianggap pakem.
Kendati demikian, antara agama, sosial, hukum, dan politik tidaklah dilihat sebagai entitas-entitas yang terpisah. Butir-butir Pancasila secara gamblang menegaskan bahwa antara agama dan negara adalah dua variabel yang saling terkait.

Yang perlu dipikirkan dan menjadi tantangan bersama adalah bagaimana proses dan mekanisme dalam mengimplementasikan gagasan integrasi antarentitas-entitas itu. Dengan cara pandang itu, terbuka lebar tirai jawaban yang utuh terkait perdebatan sanksi pidana dalam nikah siri. Utuh dalam arti tidak saling menafikan antara entitas satu dan lainya, di samping tidak ada pihak-pihak tertentu yang dirugikan.

Hal demikian sekaligus menandaskan bahwa dalam melihat persoalan perkawinan siri tidak parsial dan tidak terjebak pada konsepsi: apakah nikah bagian dari urusan agama atau sosial (politik). Idealnya memang agama menjamin kesentosaan dan kemakmuran.

Namun mentalitas dan kesadaran beragama yang sejati masih jauh panggang dari api. Agama kurang menampakkan wajah egaliter dan tanggung jawab profetiknya mewujudkan masyarakat. Parahnya lagi, akibat ulah penganutnya, agama turut melanggengkan praktik-praktik pengabaian hak-hak bagi perempuan dan anak.

Intervensi negara tidaklah diartikan sebagai intervensi berlebihan negara terhadap ruang-ruang privasi individu. Agama dan negara secara prinsip memang dipisahkan. Negara lebih menitikberatkan dan ditujukan pada persoalan-persoalan sosial dan kemanusiaan yang dimunculkan oleh praktik-praktik dan pengalaman beragama.

Perlu ada semacam pergeseran konsepsi bahwa pernikahan bukanlah semata berkaitan dengan hal-hal transendental atau semata pengalaman pribadi. Lebih dari itu, pernikahan berkelindan dengan urusan sosial, pemenuhan hak dan kewajiban mulai dari keluarga, masyarakat, hingga pengaruhnya terhadap masalah negara. Dari pernikahan dan keluarga itulah kemudian terbentuk kehidupan sosial masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Urusan agama, negara, privasi (individu), dan sosial sejatinya dilihat secara integral, tidak dikotomis, apalagi dipertentangkan. Antara urusan akhirat dan duniawi dalam satu bingkai utuh. Analoginya, keselamatan di akhirat adalah juga keselamatan di dunia. Antara nikah, agama, negara, dan kaitannya dengan pemenuhan hak, tanggung jawab, kewajiban harus berjalan seimbang.  (10)

— Nur Aisyah SPdI, peminat masalah sosial, alumus pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Wacana Suara Merdeka 19 Februari 2010