RITUAL politik lima tahunan akan segera tiba. Pemilihan kepala daerah (pilkada) di beberapa kota dan kabupaten di Provinsi Jawa Tengah akan dilaksanakan dalam beberapa bulan mendatang. Para kandidat kepala daerah sudah mulai mempersiapkan diri, tidak saja membentuk tim sukses, tetapi juga ada yang melakukan deklarasi.
Pilkada sebagai sebuah peristiwa politik selalu ditandai dengan kehadiran pesan-pesan politik yang ”menyejukkan”, janji-janji yang membawa nuansa ”perubahan”. Di Kota Semarang misalnya, bakal calon kepala daerah sudah menyampaikan pesan-pesan mereka di ruang publik.
”Semarang Bangkit”; ”Ingin Melayani, Bukan Dilayani”; ”Rindu Semarang Berubah”, ”Kami Bersamamu”, dan janji-janji politik lainnya. Atas nama perbaikan dan peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi, para kandidat wali kota dan bupati memasarkan produk-produk politik mereka yang membawa angin segar tersebut.
Dalam upaya meraih jabatan politik, para calon wali kota dan bupati merancang pesan-pesan politik yang pada dasarnya telah menciptakan peristiwa-peristiwa semu (pseudo events) melalui dramatisasi-dramatisasi tertentu untuk menarik perhatian masyarakat. Selain itu, para calon kepala daerah juga memanfaatkan peristiwa-peristiwa religi dan kultural guna mendapatkan simpati kelompok-kelompok tertentu, seperti misalnya ucapan selamat merayakan hari-hari keagamaan, ucapan selamat menunaikan ibadah haji, dan lain-lain.
Dalam konteks usaha memperoleh kekuasaan politik, para kandidat kepala daerah tiba-tiba merasa tidak memiliki jarak dengan masyarakat, terutama kelompok-kelompok underrepresented, seperti misalnya buruh, petani, nelayan, dan warga miskin lainnya. Para calon wali kota dan bupati dengan serta merta berpihak kepada mereka yang selama ini ”kalah” dan terpinggirkan oleh struktur sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil.
Cara-cara menebar janji-janji politik yang menyejukkan inilah yang sebenarnya kita kenal sebagai propaganda politik. Secara konseptual, propaganda politik dipahami sebagai upaya mempengaruhi pihak lain secara searah (one way) dengan memanfaatkan sentimen norma kelompok.
Propaganda politik, menurut pendapat saya, perlu dicermati paling tidak dalam dua hal. Pertama, propaganda politik yang bersifat searah dan monolog telah menciptakan relasi komunikasi yang tidak setara antara elite (kandidat wali kota/bupati) dan masyarakat. Para kandidat dikesankan sebagai superior, sedangkan masyarakat dalam posisi sebagai subordinat. Para kandidat kepala daerah sekadar memanfaatkan masyarakat, terutama kelompok-kelompok marginal tidak lebih sebagai komoditas politik.
Pesan-pesan politik yang disampaikan calon wali kota atau bupati bersifat artifisial dan masih sebatas sebagai slogan, sekadar memberi kesan bahwa mereka memiliki perhatian kepada nasib yang dialami oleh orang-orang yang terpinggirkan tersebut.
Terlalu Sering
Hal kedua yang perlu dicermati adalah bahwa propaganda politik merupakan wujud dari komunikasi politik yang tidak cukup cerdas, karena pada dasarnya masyarakat sudah terlalu sering mendengar janji-janji politik tersebut, mereka sudah tidak lagi memercayai janji-janji ”perubahan” tersebut.
Propaganda tersebut pada akhirnya tidak lebih hanya menjadi bahan guyonan masyarakat, karena berdasarkan pada pengalaman pilkada, bahkan pemilihan umum sebelumnya, apa yang dijanjikan lewat propaganda politik tersebut tidak atau belum mampu mengubah keadaan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Setelah kandidat memenangi kompetisi politik dalam pemilihan umum, maka biasanya janji-janji yang pernah disampaikan akan segera dilupakan.
Secara konseptual, pesan-pesan politik tidak bisa dipahami sebagai medium netral yang dipakai untuk menjelaskan realitas sosial-politik.
Ketika pesan-pesan (bahasa) digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik sebagaimana yang dilakukan oleh para kandidat wali kota dan bupati menjelang pilkada, maka sesungguhnya pesan-pesan politik tersebut sudah tidak objektif lagi, karena pesan-pesan tersebut sudah tercelup oleh kepentingan ideologi (ideological soaked). Pesan-pesan politik sudah mengarah kepada keberpihakan, dan ini merupakan wujud atau bentuk dari sebuah rekayasa simbolik yang berkaitan dengan persoalan kekuasaan.
Dan Nimmo, ilmuwan komunikasi politik, mengatakan bahwa pesan-pesan politik dapat dipilah ke dalam tiga jenis, yaitu power talk (pembicaraan kekuasaan), authority talk (pembicaraan kewenangan), dan influence talk (pembicaraan pengaruh).
Pembicaraan kekuasaan dilakukan dengan cara mengancam atau memberikan janji-janji politik; pembicaraan kewenangan menekankan pada aktivitas memberi perintah dan larangan, dan pembicaraan pengaruh berkaitan dengan aktivitas memberi nasihat, dorongan, permintaan, dan peringatan.
Pesan atau janji politik yang disampaikan oleh para kandidat wali kota atau bupati pada dasarnya dapat dipahami sebagai power talks, yaitu pembicaraan mengenai kekuasaan yang dilakukan melalui janji-janji.
Komunikasi politik seperti ini bersifat searah sehingga tidak memungkinkan terciptanya situasi yang memungkinkan masyarakat dapat mengekspresikan pandangan-pandangannya.
Power talks hanya menjadikan masyarakat sebagai objek politik, sekadar memenuhi keinginan pihak-pihak yang ingin mendapatkan kekuasaan politik yang pada akhirnya akan menciptakan sikap apatis masyarakat.
Bagaimana sebuah tindak komunikasi politik yang bisa menjadikan warga masyarakat sebagai subjek politik? Menurut pendapat saya, pesan-pesan politik yang searah tersebut perlu diubah dalam cara-cara yang memungkinkan terciptanya dialog.
Dialog, misalnya tidak sekadar berkunjung ke pasar-pasar tradisional, mendatangi permukiman-permukiman kumuh, melaksanakan bakti sosial seperti yang selama ini dilakukan oleh para kandidat, tetapi bagaimana para kandidat tersebut berusaha ”belajar” dari persoalan-persoalan yang dihadapi, terutama oleh kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan. Melalui dialog, memungkinkan para kandidat bisa merancang program-program politik yang lebih realistis. (10)
— Turnomo Rahardjo, pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip
Wacana Suara MErdeka 19 Februari 2010