Oleh Edi Setiadi
Kementerian Agama melalui salah satu dirjennya telah merilis bahwa bakal  ada revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Salah  satu revisi yang sangat menarik perhatian masyarakat dan juga mendapat  penekanan tersendiri dari Kementerian Agama adalah ancaman pidana bagi  pelaku nikah siri berupa perampasan kemerdekaan selama enam bulan dan  denda berupa uang.
Politik hukum dari keluarnya ancaman pidana bagi pelaku nikah siri  berdasarkan keterangan pejabat Kementerian Agama tersebut adalah untuk  memberikan perlindungan hukum bagi wanita dan anak-anak dari hasil  perkawinan siri tersebut, baik ketika rumah tangganya masih terjalin  harmonis apalagi kalau terjadi perceraian di antara pasangan siri  tersebut. Alasan agamis juga diberikan, yaitu untuk menghindarkan  perbuatan dosa dari laki-laki yang melakukan penelantaran terhadap  pasangan wanita sirinya.
Sudah merupakan fenomena umum, hampir semua produk legislasi di  Indonesia, baik itu berupa undang-undang, peraturan pemerintah sampai  peraturan daerah, gemar mencantumkan sanksi pidana seringan apa pun. 
Kementerian Agama semestinya mengetahui pencantuman sanksi pidana dalam  sebuah peraturan (apa pun bentuknya) berkaitan dengan apa yang disebut  legislated environment yang mensyaratkan adanya penaatan terhadap asas  legalitas, pilihan alternatif pemidanaan, dan prioritas yang akan  dikriminalisasikan. Dalam legislated environment ini harus dipikirkan  supaya tidak terjadi over criminalization, artinya jangan sampai suatu  perbuatan yang tadinya bukan kejahatan/tindak pidana (misalnya nikah  siri) dijadikan suatu tindak pidana yang menyebabkan masalah baru, sebab  salah menentukan kebijakan akan berakibat kebijakan tersebut menjadi  faktor kriminogen (faktor timbulnya kejahatan).
Secara kasat mata, pengenaan sanksi pidana bagi pelaku nikah siri  memperlihatkan pemerintah c.q. Kementerian Agama lebih menitikberatkan  pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi. Alasan melindungi  kepentingan hukum wanita dan anak-anak yang dihasilkan dari nikah siri  menunjukkan kepanikan dan ketidakberdayaan negara dalam mengatur dan  memberi kepastian kepada warganya. Pencantuman sanksi pidana bagi pelaku  nikah siri menunjukkan pemerintah melakukan tindakan seperti membunuh  tikus dalam lumbung padi, sebab akan timbul pertanyaan kenapa pemerintah  tidak menjalankan opsi nonpenal (di luar hukum pidana) dalam mengatur  nikah siri.
Mengingat nonpenal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya  kejahatan (nikah siri), sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor  kondusif penyebab terjadinya nikah siri tersebut. Faktor kondusif  tersebut antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi  sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau  menumbuhsuburkan nikah siri. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik  kriminal secara makro dan global, upaya nonpenal menduduki posisi kunci  dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.
Tanpa memberikan pendapat tentang setuju dan tidak setuju terhadap  perbuatan nikah siri, penulis berpendapat, upaya penggunaan jalur penal  terhadap perbuatan nikah siri tidak sesuai dengan kecenderungan  internasional yang sudah sedikit demi sedikit menghindari penggunaan  hukum pidana dalam menanggulangi pelanggaran hukum di masyarakat. Dunia  internasional sudah sepakat bahwa strategi pencegahan harus didasarkan  kepada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan  kejahatan.
Apabila selama ini merebak nikah siri di masyarakat dengan alasan takut  berbuat zina, tentu saja alasan seperti ini dapat dibenarkan sebab zina  adalah dosa besar yang menduduki peringkat ketiga dari dosa-dosa besar.  Sekarang tinggal mencari alasan sosial mengapa banyak yang menikah siri?  Pertama-tama kita harus melihat kepada aturan normatif dari UU  Perkawinan, apakah UU ini sudah memenuhi rasa keadilan? Apakah UU ini  dapat ditegakkan atau kalaupun ada pengaturan seperti dulu dalam  Peraturan Pemerintah Nomor 10, apakah peraturan ini tidak mengatur  hal-hal yang tidak mungkin dilaksanakan? Apabila hal ini terjadi, UU  Perkawinan itu sendiri yang menyebabkan terjadinya perbuatan nikah siri.  Apabila nikah siri ini nantinya dikatakan sebagai kejahatan karena  diberi sanksi pidana, maka dapat disimpulkan, UU Perkawinan merupakan  faktor kriminogen dari perbuatan nikah siri.
Alangkah eloknya apabila pemerintah dalam merevisi UU Perkawinan in casu  di dalamnya perbuatan nikah siri lebih memilih jalur nonpenal, yaitu  melalui jalur kebijakan sosial  termasuk jalur prevention without  punishment. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya  rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pengenaan  sanksi pidana terhadap pelaku nikah siri semestinya diikuti dan melihat  nilai-nilai kultural, mencakup strategi perlindungan masyarakat secara  menyeluruh serta direncanakan secara rasional dan proposional, bukan  hanya menutupi kelemahan negara dalam mengatur kehidupan warganya. 
Revisi UU Perkawinan semestinya diarahkan kepada hal-hal yang menghambat  orang untuk berbuat baik yang dibenarkan agama tetapi masih dianggap  sebagai pelanggaran hukum oleh negara atau sebaliknya, melakukan  perbuatan yang tidak melanggar hukum negara tetapi dari sudut syara  justru merupakan perbuatan dosa. 
Pencantuman sanksi pidana terhadap pelaku nikah siri harus didasarkan  pada perhitungan apakah nikah siri menimbulkan korban yang besar dalam  masyarakat dan menimbulkan kerugian yang tidak dapat dipulihkan kembali.  Apabila tidak, sebaiknya pemerintah menempuh jalur nonpenal dan jalur  kebijakan sosial dengan alasan jalur penal efektivitasnya diragukan  dalam mencapai tujuan pemidanaan, bahkan untuk mencapai tujuan  pemidanaan yang berupa prevensi umum dan prevensi khusus saja  efektivitas penggunaan sanksi pidana diragukan. Efektivitas  penanggulangan kejahatan lebih dipengaruhi oleh bekerjanya atau  berfungsinya perubahan-perubahan.***
Penulis, Guru Besar Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana Kopertis  Wilayah IV dpk Fakultas Hukum Unisba, Wakil Rektor I Unisba.
OPini Pikiran Rakyat 19 Februari 2010