18 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Opsi ”Nonpenal” Nikah Siri

Opsi ”Nonpenal” Nikah Siri

Oleh Edi Setiadi

Kementerian Agama melalui salah satu dirjennya telah merilis bahwa bakal ada revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Salah satu revisi yang sangat menarik perhatian masyarakat dan juga mendapat penekanan tersendiri dari Kementerian Agama adalah ancaman pidana bagi pelaku nikah siri berupa perampasan kemerdekaan selama enam bulan dan denda berupa uang.


Politik hukum dari keluarnya ancaman pidana bagi pelaku nikah siri berdasarkan keterangan pejabat Kementerian Agama tersebut adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi wanita dan anak-anak dari hasil perkawinan siri tersebut, baik ketika rumah tangganya masih terjalin harmonis apalagi kalau terjadi perceraian di antara pasangan siri tersebut. Alasan agamis juga diberikan, yaitu untuk menghindarkan perbuatan dosa dari laki-laki yang melakukan penelantaran terhadap pasangan wanita sirinya.

Sudah merupakan fenomena umum, hampir semua produk legislasi di Indonesia, baik itu berupa undang-undang, peraturan pemerintah sampai peraturan daerah, gemar mencantumkan sanksi pidana seringan apa pun.

Kementerian Agama semestinya mengetahui pencantuman sanksi pidana dalam sebuah peraturan (apa pun bentuknya) berkaitan dengan apa yang disebut legislated environment yang mensyaratkan adanya penaatan terhadap asas legalitas, pilihan alternatif pemidanaan, dan prioritas yang akan dikriminalisasikan. Dalam legislated environment ini harus dipikirkan supaya tidak terjadi over criminalization, artinya jangan sampai suatu perbuatan yang tadinya bukan kejahatan/tindak pidana (misalnya nikah siri) dijadikan suatu tindak pidana yang menyebabkan masalah baru, sebab salah menentukan kebijakan akan berakibat kebijakan tersebut menjadi faktor kriminogen (faktor timbulnya kejahatan).

Secara kasat mata, pengenaan sanksi pidana bagi pelaku nikah siri memperlihatkan pemerintah c.q. Kementerian Agama lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi. Alasan melindungi kepentingan hukum wanita dan anak-anak yang dihasilkan dari nikah siri menunjukkan kepanikan dan ketidakberdayaan negara dalam mengatur dan memberi kepastian kepada warganya. Pencantuman sanksi pidana bagi pelaku nikah siri menunjukkan pemerintah melakukan tindakan seperti membunuh tikus dalam lumbung padi, sebab akan timbul pertanyaan kenapa pemerintah tidak menjalankan opsi nonpenal (di luar hukum pidana) dalam mengatur nikah siri.

Mengingat nonpenal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan (nikah siri), sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya nikah siri tersebut. Faktor kondusif tersebut antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan nikah siri. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.

Tanpa memberikan pendapat tentang setuju dan tidak setuju terhadap perbuatan nikah siri, penulis berpendapat, upaya penggunaan jalur penal terhadap perbuatan nikah siri tidak sesuai dengan kecenderungan internasional yang sudah sedikit demi sedikit menghindari penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi pelanggaran hukum di masyarakat. Dunia internasional sudah sepakat bahwa strategi pencegahan harus didasarkan kepada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.

Apabila selama ini merebak nikah siri di masyarakat dengan alasan takut berbuat zina, tentu saja alasan seperti ini dapat dibenarkan sebab zina adalah dosa besar yang menduduki peringkat ketiga dari dosa-dosa besar. Sekarang tinggal mencari alasan sosial mengapa banyak yang menikah siri? Pertama-tama kita harus melihat kepada aturan normatif dari UU Perkawinan, apakah UU ini sudah memenuhi rasa keadilan? Apakah UU ini dapat ditegakkan atau kalaupun ada pengaturan seperti dulu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10, apakah peraturan ini tidak mengatur hal-hal yang tidak mungkin dilaksanakan? Apabila hal ini terjadi, UU Perkawinan itu sendiri yang menyebabkan terjadinya perbuatan nikah siri. Apabila nikah siri ini nantinya dikatakan sebagai kejahatan karena diberi sanksi pidana, maka dapat disimpulkan, UU Perkawinan merupakan faktor kriminogen dari perbuatan nikah siri.

Alangkah eloknya apabila pemerintah dalam merevisi UU Perkawinan in casu di dalamnya perbuatan nikah siri lebih memilih jalur nonpenal, yaitu melalui jalur kebijakan sosial  termasuk jalur prevention without punishment. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku nikah siri semestinya diikuti dan melihat nilai-nilai kultural, mencakup strategi perlindungan masyarakat secara menyeluruh serta direncanakan secara rasional dan proposional, bukan hanya menutupi kelemahan negara dalam mengatur kehidupan warganya.

Revisi UU Perkawinan semestinya diarahkan kepada hal-hal yang menghambat orang untuk berbuat baik yang dibenarkan agama tetapi masih dianggap sebagai pelanggaran hukum oleh negara atau sebaliknya, melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum negara tetapi dari sudut syara justru merupakan perbuatan dosa.

Pencantuman sanksi pidana terhadap pelaku nikah siri harus didasarkan pada perhitungan apakah nikah siri menimbulkan korban yang besar dalam masyarakat dan menimbulkan kerugian yang tidak dapat dipulihkan kembali. Apabila tidak, sebaiknya pemerintah menempuh jalur nonpenal dan jalur kebijakan sosial dengan alasan jalur penal efektivitasnya diragukan dalam mencapai tujuan pemidanaan, bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berupa prevensi umum dan prevensi khusus saja efektivitas penggunaan sanksi pidana diragukan. Efektivitas penanggulangan kejahatan lebih dipengaruhi oleh bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan.***

Penulis, Guru Besar Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana Kopertis Wilayah IV dpk Fakultas Hukum Unisba, Wakil Rektor I Unisba.
OPini Pikiran Rakyat 19 Februari 2010