Ketika melalui siaran televisi saya dengar Presiden menasihati para siswa sekolah menengah agar tidak takut menghadapi ujian nasional, saya bertanya kepada diri sendiri: siapa lagi yang sebaiknya diberi nasihat?
Pertanyaan itu muncul karena menurut pendengaran saya, ada dua pihak yang merasa khawatir menghadapi ujian nasional ini: para siswa dan birokrat Kementerian Pendidikan Nasional atau Diknas. Para siswa takut tidak lulus dalam ujiannya kelak, sedangkan para birokrat takut ujian nasional benar-benar tidak dapat dilaksanakan.
Ketakutan para siswa itu bersumber pada kalau saya tidak salah ingat--pengalaman yang terjadi dua tahun lalu, ketika banyak siswa SMU tidak lulus ujian nasional, sekalipun sebelumnya mereka telah lulus ujian akhir di sekolah masing-masing. Sementara itu, ketakutan para birokrat konon disebabkan kekhawatiran bahwa jika ujian nasional sampai benar-benar tidak jadi dilaksanakan, mereka akan kehilangan honorarium yang cukup besar.
Saya tidak tahu, sampai seberapa jauh 'berita burung' tentang alasan ketakutan para birokrat Diknas ini dapat dipercaya. Yang lebih mungkin terjadi menurut dugaan saya--ialah bahwa para birokrat takut kehilangan wewenang mereka untuk menyelenggarakan ujian akhir SMU. Setelah bertahun-tahun wewenang itu selalu ada di tangan mereka, kehilangan wewenang itu, sebagai akibat dari UU Otonomi Daerah, pasti sangat terasa menyakitkan hati. Apalagi kalau di samping itu kemudian terdapat prasangka bahwa birokrat pendidikan daerah tidak seahli birokrat pendidikan pusat dan pengalaman menyusun bahan ujian pun tidak sebanyak pengalaman birokrat pendidikan pusat.
Ketakutan tidak lulus
Perasaan takut tidak lulus pada para siswa muncul dari pengalaman bahwa ujian nasional hanya menilai kemampuan para siswa dalam tiga mata pelajaran: bahasa Inggris, matematika, dan bahasa Indonesia. Itu dirasakan tidak benar karena selama belajar di SMU mereka belajar untuk menguasai bermacam-macam hal, lebih daripada tiga mata pelajaran tadi. Para siswa yang 'jeblok' dalam tiga mata pelajaran itu, tetapi bagus dalam mata pelajaran lainnya tidak punya harapan untuk mendapat 'pengampunan'. Itu dirasakan tidak adil! Untuk apa payah-payah mempelajari berbagai mata pelajaran kalau akhirnya berbagai pelajaran yang telah mereka pelajari dengan susah-payah itu tidak diperhitungkan untuk menentukan kelulusan mereka dari SMU?
Lalu muncul perasaan dan bahkan pendapat bahwa yang dapat menguji para siswa dengan baik hanyalah guru-guru mereka. Mereka itulah yang paling dapat menilai segenap aspek dari hasil belajar mereka; dari matematika terus ke bahasa sampai kepada kepribadian mereka. Dari pendapat itu menguat gerakan untuk memberikan wewenang penyelenggaraan ujian akhir SMU kepada sekolah masing-masing.
Reaksi birokrasi pendidikan pusat
Birokrasi pendidikan pusat tampaknya juga tidak mau menyerah begitu saja. Salah satu dalih yang dipakai ialah bahwa ujian nasional bukan evaluasi. Berulang kali itu disampaikan dan bagi saya, itu adalah argumen yang paling menggelikan. Sebab mereka pura-pura bodoh, pura-pura tidak tahu, bahwa 'evaluasi' merupakan istilah generik dan 'ujian nasional' merupakan istilah spesifik. Padahal diputar balik bagaimanapun, 'ujian nasional' adalah suatu bentuk khusus dari 'evaluasi'.
Merasa tidak mampu menghadapi conter argumen ini birokrasi pendidikan pusat kemudian menambahkan argumen, ujian nasional diselenggarakan bukan untuk menguji keberhasilan para siswa dalam penguasaan materi pelajaran SMU. Ujian nasional diselenggarakan untuk mengetahui variabilitas mutu pendidikan sekolah di daerah-daerah. Dengan cepat, muncullah sanggahan: kalau untuk memetakan variabilitas mutu pendidikan, mengapa dipakai istilah 'ujian'? Mengapa tidak disebut survei saja?
Tentu saja saran terakhir itu tidak mungkin dipenuhi karena proyek yang merupakan sumber dana bagi kegiatan konstruksi bahan ujian nasional bernama 'proyek ujian nasional'. Kalau itu dilanggar dan dana dipakai untuk survei mengenai variabilitas mutu pendidikan sekolah secara nasional, para birokrat tadi akan melakukan suatu pelanggaran administratif. Dengan demikian, mereka harus berhadapan dengan Departemen Keuangan juga Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan.
Dengan demikian, dialog nasional mengenai ujian nasional mencapai titik buntu.
Menghilangkan kebingungan
Jadi, jika dilihat dari uraian kasar itu, yang bingung dan takut menghadapi ujian nasional bukan hanya para siswa, melainkan juga para birokrat. Keduanya perlu diberi nasihat untuk mengatasi kebingungan ini. Tentu saja nasihat yang diberikan kepada para birokrat harus berbeda dari nasihat yang telah diberikan kepada para siswa. Keduanya perlu diberi nasihat untuk menenangkan diri dan untuk dapat bekerja sesuai dengan kebutuhan.
Apakah nasihat untuk tidak takut menghadapi ujian nasional yang diberikan kepada para siswa secara simpel dan sederhana sudah cukup?
Saya kira belum. Sebab yang ditakutkan para siswa bukan ujian nasional itu sendiri, tetapi mungkin bahwa mereka akan diuji sekelompok birokrat yang tidak kenal mereka, tidak tahu apa yang telah mereka pelajari, dan tidak tahu pula siapa para siswa itu. Mereka merasa nyaman kalau diuji guru-guru yang mereka pandang mengenal mereka. Para penguji yang benar-benar mengenal siapa yang diuji, tidak akan bertindak 'sewenang-wenang'. Dan penguji yang baik, di tingkat mana pun mereka melaksanakan ujian, selalu akan lebih dahulu berusaha mengenal subjek yang mereka uji.
Seorang profesor saya, Prof Charles O Neidt, pernah mengatakan kepada kami, para mahasiswanya, "Saya bisa membuat suatu bahan ujian begitu sukar sehingga tidak ada seorang pun yang akan lulus. Sebaliknya saya juga dapat membuat suatu bahan ujian begitu mudah sehingga setiap orang akan lulus." Itu saya dengar pada 1956.
Maka yang dibutuhkan para siswa dari Bapak Presiden, ialah sebuah janji pasti bahwa keadaan yang tidak ideal ini akan diperbaiki secara berangsur-angsur. Mereka perlu memperoleh gambaran, suatu saat di masa depan keadaan sekolah kita akan menjadi normal kembali dan para siswa akan dapat diuji guru-guru mereka sendiri. Pada saat itu, tidak akan ada lagi ujian nasional yang bersifat sewenang-wenang.
Lalu nasihat apa yang sebaiknya diberikan kepada para guru?
Karena kebingungan para guru bersumber kepada ketidaktahuan mereka bahwa situasi yang ada pada saat ini bersifat sementara (situasi transisional), perlu disadarkan, pada suatu saat di masa depan situasi pendidikan kita akan normal kembali. Pada waktu itu nanti, birokrasi pendidikan daerah akan menjadi lebih dewasa, lebih cakap dalam melaksanakan tugas-tugas mereka.
Pada waktu itu nanti, harus ada kolegialitas (rasa kesejawatan) yang ikhlas antara birokrat-birokrat pusat dan teman-teman sejawat dari daerah. Jangan pergunakan kelebihan teknokratis untuk memonopoli kekuasaan, dan untuk menggebrak sejawat-sejawat yang kurang tahu.
Jadi Bapak Presiden! Selamatkan pendidikan kita! Selamatkan generasi muda! Selamatkan bangsa ini!
Oleh Prof Dr Mochtar Buchori, Ketua Dewan Pengurus Yayasan PARAS
OPini Media Indonesia 19 Februari 2010
18 Februari 2010
» Home »
Media Indonesia » Ujian Nasional dan Nasihat Presiden
Ujian Nasional dan Nasihat Presiden
Thank You!