Anomali politik dan kepemimpinan; itulah agaknya yang dialami negeri ini, setidaknya dalam dua bulan terakhir. Dalam ingatan kolektif publik, sampai kehebohan politik terkait Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century sekarang ini, agaknya tidak ada anomali politik dan kepemimpinan nasional yang relatif serius, sejak naiknya Megawati Soekarnoputri sebagai presiden pada 2001.
Apalagi ketika situasi politik Indonesia menjadi lebih stabil lagi pasca-Pemilihan Presiden (pilpres) 2004 di bawah kepemimpinan duet Susilo Bambang Yudhoyono-M Jusuf Kalla. Memang selalu saja ada riak-riak politik pada masa kepemimpinan kedua figur ini, tetapi tidak dalam skala sangat intens dan serius seperti terjadi pada bulan-bulan awal kepemimpinan Yudhoyono-Boediono setelah keduanya dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pasca-Pilpres 2009.Pengungkapan skandal Bank Century yang berlarut-larut dan menjadi tontonan publik secara luas—apa pun keputusan final DPR nanti—telah menimbulkan anomali politik dan kepemimpinan di Republik ini. Pada satu pihak, Presiden Yudhoyono mengeluarkan berbagai jurus yang menurut dia mungkin dapat menenteramkan pemerintahannya dari gonjang-ganjing politik.
Berbagai langkah dan isu dia ambil, mulai dari pertemuan dengan lembaga-lembaga negara di Istana Bogor yang dia klaim ”sepakat” tidak ada ”pemakzulan” Presiden; isu perombakan (re- shuffle) kabinet; penindakan terhadap pengemplang pajak (dipahami publik tertuju kepada Aburizal Bakrie), pengungkapan tuduhan korupsi terhadap mantan pejabat tinggi dan anggota DPR yang juga merupakan tokoh partai; sampai kepada lobi politik tingkat tinggi yang konon melibatkan tawaran kursi menteri di kabinet.
Namun, segera jelas pula, berbagai langkah Presiden Yudhoyono tersebut tidak dapat menenteramkan situasi politik yang sudah telanjur anomali. Tak kurang anomalinya adalah meningkatnya kecenderungan di kalangan fraksi dalam Pansus untuk menjadikan manajemen Bank Century sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas berbagai manipulasi dalam proses pemberian dana talangan; bukan sebagai kekeliruan kebijakan pada pihak mantan Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan/Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan mantan Gubernur Bank Indonesia (saat ini Wakil Presiden Boediono).
Dengan berbagai anomali tersebut, menjadi tanda tanya besar apakah rehabilitasi dan konsolidasi politik dan pemerintahan dapat dilakukan efektif jika pemerintahan Yudhoyono bisa berhasil sampai 2014 nanti.
Biaya politik apa yang harus dibayar pemerintahan Yudhoyono dan masyarakat Indonesia pasca-Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century? Satu hal sudah pasti; Presiden Yudhoyono pada awal pemerintahannya sekarang telah kehilangan momentum untuk memanfaatkan periode terakhir kepresidenannya untuk mempercepat pelaksanaan program-program pembangunan guna peningkatan kesejahteraan rakyat. Program 100 hari kabinet yang diklaim berhasil hampir 100 persen ternyata hampir tidak terlihat dan dirasakan masyarakat.
Dalam pada itu, pemerintahan Yudhoyono seperti kehilangan konsentrasi dan fokusnya. Sementara harga kebutuhan pokok, seperti beras, terus merangkak naik selama tiga bulan terakhir ini, tidak terlihat langkah konkret pemerintah untuk mengendalikan harga.
Kalangan pemerintah mungkin saja mengklaim bahwa kenaikan harga pangan tersebut baik bagi petani, tetapi pada saat yang sama, kian banyak kalangan masyarakat yang hampir tak mampu lagi membeli pangan.
Pemerintah juga nyaris tidak kelihatan mengambil langkah konkret untuk mengurangi dampak pahit serbuan berbagai produk China ke pasar kita.
Pada satu segi, banyak konsumen senang membeli produk China yang lebih murah dengan kualitas cukup baik. Ini berarti tersingkirnya produk-produk dalam negeri kita sendiri. Walhasil, banyak kalangan masyarakat sepakat Indonesia belum atau bahkan sama sekali tidak siap menghadapi pemberlakuan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA).
Dengan ketidaksiapan Indonesia dan ketiadaan langkah konkret pemerintah, kini tinggal menunggu waktu yang tak terlalu lama bagi terjadinya gelombang gulung tikar berbagai usaha domestik, yang berarti meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) serta kian meledaknya jumlah penganggur dan, dengan demikian, sekaligus kemiskinan.
Pengangguran dan kemiskinan jelas merupakan salah satu faktor terpenting meningkatnya keresahan sosial-politik yang mudah meledak sewaktu-waktu. Apalagi kalau bagian masyarakat yang mengalami nasib seperti itu mendapat politisasi dan provokasi dari pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil manfaat politis dari situasi yang tidak menguntungkan tersebut.
Biaya sosial-politik yang tidak kurang mahalnya, yang harus kita bayar adalah kian merosotnya kepercayaan (mutual trust), tidak hanya di kalangan elite kepemimpinan politik negeri ini, tetapi juga semakin meluas ke dalam masyarakat.
Pengungkapan demi pengungkapan berbagai manipulasi dalam skandal Bank Century secara telanjang ke depan publik hanya kian meningkatkan ketidakpercayaan (distrust) kepada lembaga (seperti bank) sekaligus kepemimpinan politik dan pemerintahan; apalagi jika ternyata DPR tak mampu memutuskan apa pun dari skandal Bank Century, tetapi sebaliknya hanya mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi tanpa kekuatan politis berarti.
Pada tahap ini tidak lagi mudah memulihkan trust guna membangkitkan modal sosial yang mutlak ada bagi masyarakat dan negara mana pun untuk bisa mencapai kemajuan. Tanpa trust, yang ada hanyalah sinisme dan keengganan untuk berbuat yang terbaik bagi kepentingan masyarakat dan negara.
Jika proses ini terus berlanjut, yang terjadi adalah kian menguatnya sikap ambivalen dari semakin banyak kalangan masyarakat terhadap demokrasi. Kombinasi antara ketidakpastian atau kesulitan ekonomi dengan anomali politik pada gilirannya dapat membuat konsolidasi demokrasi menjadi ilusi belaka
Lebih jauh lagi, anomali politik yang mungkin tidak pernah terselesaikan secara fundamental, kecuali hanya melalui ”politik dagang sapi” dan cara-cara ad hoc lainnya—meminjam kerangka Juan J Linz dan Alfred Stepan (1996)—dapat menjerumuskan negara-bangsa ini ke dalam ”krisis pemerintahan” yang akhirnya bisa berujung pada ”krisis rezim”.
Pada tahap terakhir ini, sangat boleh jadi bukan hanya berbuah kegagalan konsolidasi demokrasi, tetapi bahkan juga hilangnya raison d’etre adopsi demokrasi sebagai sistem dan prosedur politik. Karena itu, sudah saatnya—sebelum anomali politik tersebut terus menimbulkan berbagai dampak negatif yang mencemaskan—kepemimpinan nasional dan elite politik lainnya kembali kepada komitmen semula untuk menegakkan demokrasi, good governance, tatanan hukum dan keadilan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Jika tidak, pada saatnya nanti, bangsa ini harus kembali menuai badai dari anomali politik hasil dari kepentingan-kepentingan partisan jangka pendek.
Opini Kompas 19 Februari 2010