Oleh: Mohamad Dian Revindo
(Staf Pengajar Pascasarjana UI)
17 Februari dua tahun yang lalu, sebuah bangsa bernama Kosovo memproklamasikan kemerdekaannya. Dengan demikian, ia adalah negara termuda pecahan Yugoslavia atau Serbia penerusnya.
Gaung cerita tentang Kosovo mungkin hanya terdengar sayup-sayup di Indonesia. Di benuanya sendiri, di Eropa, nama ini sejak dahulu tidak pernah menjadi pemeran utama, tertelan oleh ingar-bingar percaturan raksasa-raksasa Eropa. Saat merdeka pun, di kalangan orang Eropa, beritanya tidak mencuri banyak perhatian, mungkin karena ia hanyalah sebuah bangsa kecil yang miskin. Per tahun 2009 lalu, penduduk Kosovo diperkirakan hanya 1,8 juta jiwa dengan pendapatan per kapita kurang dari 2000 dolar AS, termiskin di seantero benua biru.
Tetapi, di kalangan politisi dan negarawan, ceritanya sedikit lain. Pada akhir musim dingin 2008 itu, nyaris seluruh petinggi negara-negara Eropa mencermati dengan saksama seluruh proses kemerdekaan, dari menit ke menit, dari hari ke hari. Apa pasal? Mungkin, belum banyak yang tahu bahwa peristiwa ini sangat penting bagi masa depan perdamaian di Eropa dan keutuhan berbagai bangsa di dunia. Mungkin, lebih sedikit lagi yang tahu bahwa peristiwa ini menempatkan Indonesia dalam posisi yang cukup menantang.
Kosovo terletak di jantung Balkan, wilayah konflik dan gejolak abadi. Nyaris seabad yang lalu, Perang Dunia I berawal tidak jauh dari sini. Delapan belas tahun yang lalu, Eropa yang sudah trauma dengan pertumpahan darah dipermalukan dengan terjadinya pembantaian etnis di sini, di halaman mereka sendiri, tanpa mereka mampu berbuat apa pun.
Di wilayah inilah, bangsa Kosovo yang mungil dikelilingi oleh tetangganya yang temperamental: Serbia, Albania, Makedonia, dan Montenegro. Proklamasi mereka, dengan demikian, terkesan menantang bahaya, tetapi tentu bukan tanpa perhitungan. Jauh sebelum proklamasi, Uni Eropa (UE) dan NATO telah merapatkan barisan dukungan dari negara-negara anggotanya. UE dan NATO memang punya kepentingan untuk menancapkan kukunya di sini. Keterlibatan mereka sejak awal akan menjamin terbentuknya negara Kosovo yang bersekutu, menerima sistem ekonomi pasar, dan menyediakan wilayahnya untuk menjadi pangkalan militer. Suatu jaminan bahwa Eropa tak akan dipermalukan untuk kesekian kalinya.
Tentu, itu bukan tanpa risiko. Selain Serbia dan beberapa negara lain, Cina dan Rusia adalah kekuatan besar yang menentang keras proklamasi ini. Satu alasan cukup jelas: negara-negara besar dan multietnis tidak ingin kejadian ini menjadi preseden bagi wilayah-wilayahnya untuk memisahkan diri.
Dilema ini tampaknya juga dihadapi oleh Pemerintah Indonesia. Meskipun pada 2008 yang lalu Presiden Yudhoyono telah memberi indikasi bahwa Indonesia akan segera mengakui kemerdekaan Kosovo, janji itu seperti lenyap ditelan bumi hingga kini. Tentu, pemerintah memang tidak boleh latah dan gegabah. Salah melangkah, sangat boleh jadi negara-negara sekutu Serbia akan berbalik mendukung gerakan separatisme di Indonesia. Ancaman disintegrasi di dalam negeri ini tentu perlu mendapat pertimbangan sebelum memberikan dukungan.
Namun, Indonesia memang punya cukup alasan untuk secepatnya mengakui kemerdekaan Kosovo. Pertama dan yang paling gamblang, amanat konstitusi. Di sana, dengan tegas dinyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Jelas sudah, dari sudut pandang kita, bangsa Kosovo memiliki hak untuk merdeka dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa berdaulat lainnya.
Kedua, alasan yang agak spesifik: kesamaan dalam agama mayoritas yang dianut penduduknya. Sekitar sembilan dari sepuluh warga Kosovo adalah pemeluk muslim. Dari keenam etnis yang ada di Kosovo, etnis Albania, Turki, Bosnia, dan Goran membentuk komunitas Muslim yang mayoritas. Selebihnya, etnis Serbia dan Roman yang beragama lain adalah minoritas. Tidak heran jika Organisasi Konferensi Islam (OKI) hanya memerlukan beberapa hari untuk menyatakan dukungannya.
Perasaan sebagai sahabat dari segi kesamaan agama saja sudah cukup kuat untuk mengambil sikap, apalagi jika menilik potensi posisi Kosovo di Eropa pada masa datang. Dukungan politik dan militer UE dan NATO mungkin penting untuk sementara, tetapi hanya kemajuan ekonomi yang akan menjamin keberlangsungan bangsa Kosovo. Kemajuan ekonomi juga tidak dapat selamanya bergantung kepada bantuan asing. Satu-satunya jalan bagi UE adalah melibatkan Kosovo dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan yang saling menguntungkan. Jalan terbaik untuk itu adalah memberikan Kosovo akses untuk menjadi anggota UE agar mendapatkan fasilitas setara dengan anggota UE lain yang telah lebih dahulu mengentaskan diri dari kemiskinan.
Sebuah negara yang mayoritas Muslim menjadi anggota UE? Mengapa tidak? Muslim Kosovo sangat moderat dan Kosovo dapat dipastikan akan menjadi negara sekuler. Bagi UE sendiri, keanggotaan Kosovo punya nilai tambah, selain faktor keamanan di Balkan yang menunjukkan bahwa UE bukanlah klub Kristen sebagaimana yang selama ini dituduhkan.
Opini Republika 18 Februari 2010