PEMERINTAH mengklaim telah mencapai target yang memuaskan dalam program 100 hari. Tapi, berbagai kalangan menilai program tersebut belum memenuhi apa yang diharapkan oleh masyarakat. Pemerintah dianggap melupakan beberapa masalah penting. Di antaranya kesiapan sektor industri menghadapi pelaksanaan perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Agreement/ACFTA) dan pertambahan penduduk yang semakin meningkat.
Hal-hal itulah yang menjadi pokok bahasan dalam Diskusi Panel Ahli Media Group tentang 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono, di Grand Studio Metro TV, Selasa (26/1) malam. Diskusi menghadirkan Menteri Perindustrian MS Hidayat, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, dan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih.
Selain itu, dihadirkan pula panel ahli Media Group yakni Rektor UIN Jakarta Komarudin Hidayat, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Firmanzah, pakar lingkungan dari IPB Surjono Hadi Sutjahjo, pakar ekonomi pertanian Unila Bustanul Arifin, pengamat militer Jaleswari Pramodhawardani, Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Kartono Mohamad, ahli sosiologi organisasi UI Meuthia Ganie Rohman, pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar, budayawan Radhar Panca Dahana, dan Andy Agung Prihatna dari Media Group.
Dalam pandangan sejumlah pakar, perdagangan bebas ASEAN-China telah menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi menjadi pemicu daya saing produk dalam negeri, tapi di lain sisi menjadi bumerang bagi kehancuran beberapa sektor industri.
Itu terlihat dari ditundanya implementasi delapan sektor industri dalam perjanjian ACFTA. Kedelapan sektor industri itu di antaranya sektor makanan dan minuman, petrokimia, tekstil dan produk tekstil, kimia anorganik, alas kaki, elektronika, furnitur, dan sektor besi baja.
Menyikapi hal itu, budayawan Radhar Panca Dahana mengkritik kinerja pemerintah yang lamban. Perencanaan yang dibuat pemerintah dinilai kurang matang sehingga terlihat panik di detik-detik terakhir.
MS Hidayat mengemukakan pihaknya telah berupaya untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Tidak hanya dengan usaha negosiasi pos tarif yang sudah dilakukan, tapi juga mengusahakan peningkatan kualitas produk dalam negeri. Dalam hal ini, lanjut MS Hidayat, perlu back up infrastruktur dan suplai energi untuk menopang sektor industri. Tidak bisa dimungkiri, ACFTA membuat bangsa maju berkompetisi. Namun, butuh waktu untuk melakukan pembenahan.
Andy Agung mengungkapkan fakta yang menarik. Hasil survei opini publik yang dilakukannya bersama tim menunjukkan sebanyak 71,3% responden lebih memilih produk Indonesia ketimbang produk luar negeri. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kian sadar dan bangga akan produk dalam negeri.
Mari Elka Pangestu mengungkapkan bahwa ia pun mendapatkan hasil polling serupa saat melaksanakan kampanye Aku Cinta Indonesia. Sayangnya, untuk level menengah ke atas masih terbelenggu oleh pemikiran impor-minded.
Untuk itu, Mari menambahkan, perlu adanya reformasi birokrasi yang menyingkat perizinan, terutama di sektor UKM, seperti masalah bahan baku dan pinjaman. Keberpihakan terhadap penggunaan produk dalam negeri dalam pemerintahan dan BUMN juga terus digalakkan.
Soal kependudukan
Hal lain yang juga luput dari program 100 hari adalah masalah kesehatan dan kependudukan. Data UNDP (badan PBB untuk kependudukan) menyebutkan, pertambahan penduduk Indonesia mungkin akan mencapai 20%. Tingginya pertambahan penduduk akan berimbas pada banyak sektor, seperti pertanian, lapangan kerja, dan penyediaan layanan kesehatan.
Menurut Kartono Mohamad, seharusnya pemerintah menerapkan langkah yang jelas untuk mengatasi hal itu, tidak sebatas program keluarga berencana (KB). Hal yang juga harus diperhatikan adalah ketersediaan dan penyebaran alat kontrasepsi bagi masyarakat miskin.
Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengemukakan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk menekan laju pertambahan penduduk. Salah satunya dengan program peningkatan pelayanan kesehatan dasar, termasuk masalah KB, gizi, dan kesehatan reproduksi.
Dana bantuan operasional kesehatan juga akan dikucurkan ke lebih dari 8.000 puskesmas di Indonesia. Dengan dana itu diharapkan pelayanan kesehatan di tiap daerah menjadi lebih baik.
Tak bersinergi
Setelah merangkum kinerja pemerintah dalam program 100 hari, para panelis ahli menyatakan ketidakpuasan mereka. Begitu pun responden dalam polling Media Group. Walau pada pekan ini terlihat ada sentimen positif, kenaikannya kurang signifikan. Tingkat kepercayaan responden pekan ini masih jauh di bawah tingkat kepercayaan pada Oktober 2009 lalu, saat Presiden dan Wapres dilantik.
Komarudin Hidayat mengemukakan tidak ada program kementerian yang mendorong perubahan secara signifikan. Pemerintah terlalu banyak dirundung konflik yang kemudian menjadi tontonan publik. Pemerintah hanya bisa menangkal isu tanpa ada arah tujuan yang jelas. Koordinasi belum berjalan dengan baik. Reformasi birokrasi yang selama ini diupayakan juga dinilai belum menampakkan hasil nyata.
Idealnya, sambung Kartono, harus ada sinergi dari semua program tiap kementerian. Sinergi itulah yang kemudian dapat memperlihatkan arah kemajuan bangsa. SBY seharusnya bisa menjadi dirigen pemersatu yang memimpin kemajuan. Namun, lanjut Kartono, kenyataannya tidak begitu. Tiap program seolah-olah dijalankan sendiri-sendiri.
Ia lalu memberikan perumpamaan bagi kinerja pemerintah, jika diibaratkan sebuah lagu, partiturnya sudah dibuat namun ketika dimainkan tak jelas apa lagunya. (Christine Franciska/X-10)
Diskusi Panel Ahli Media Group
Opini Media Indonesia 29 Januari 2010
28 Januari 2010
» Home »
Media Indonesia » Yang Terlupakan dalam Program 100 Hari
Yang Terlupakan dalam Program 100 Hari
Thank You!