Oleh Ija Suntana
Bertepatan dengan 100 hari pemerintahan Barack Obama, 29 April 2009, Mark Schmitt menulis artikel berjudul "The Myth of 100 Days" di situs The American Prospect. Di awal artikel tersebut Schmitt menulis, "The 100 days is one of the most nefarious myths of American politics—not just meaningless but dangerous." Kira-kira, terjemahan kalimat tersebut, "Seratus hari adalah mitos paling jahat di antara mitos-mitos politik Amerika. Bukan sekadar tidak berarti, melainkan mitos ini pun sangat membahayakan." Selanjutnya, Schmitt menyebutkan, Barack Obama adalah penyokong mitos paling besar dalam sejarah Amerika. Idenya menyesatkan bahwa ia akan dapat melakukan banyak hal dalam 100 hari pertama masa pemerintahannya, padahal tidak terbukti.
Tanggal 28 Januari 2010 ini masa kerja 100 hari pemerintahan Yudhoyono periode kedua telah habis. Hitungan seratus hari bukan jumlah banyak. Bila diidentifikasi dengan bulan, seratus hari hanya berjumlah tiga bulan lebih beberapa hari. Dengan demikian, apa relevansi seratus hari dengan kinerja suatu pemerintahan yang dihadapkan dengan permasalahan bangsa yang kompleks? Kenapa tidak dua ratus hari? Apakah mitos tidak berarti, sebagaimana dikatakan oleh Mark Schmitt, mewarnai sikap dan perilaku pemerintah?
Bagi para pembantu presiden, dalam hal ini menteri, istilah seratus hari memiliki makna kegetiran. Bagi sebagian mereka, seratus hari bisa berarti ancaman untuk diganti orang lain, namun bisa juga sebagai parameter kinerja dirinya yang dianggap memuaskan oleh presiden. Oleh karena itu, beberapa kementerian melakukan kejar target dengan melakukan banyak terobosan yang dianggap memberikan perbaikan bagi lembaga yang dipimpinnya. Sementara itu, istilah seratus hari untuk rakyat Indonesia, tampaknya tidak ada hubungan kecuali dengan peringatan seratus hari kematian seseorang, yang di kalangan masyarakat Jawa dikenal dengan sebutan natus.
Aslinya, seratus hari yang dicanangkan pemerintahan Yudhoyono jilid II adalah terkait dengan target capaian. Namun, karena target tersebut dikemukakan lembaga negara yang menyangkut urusan publik dan bernuansa politis, ia berubah menjadi janji dan parameter pemerintahan. Wajar, kalau seratus hari dijadikan ukuran oleh sebagian masyarakat untuk menilai kinerja pemerintahan Yudhoyono. Sebagian masyarakat menilai bahwa selama seratus hari kerja pemerintahan Yudhoyono jilid II ini tidak mencapai target, terutama dari kalangan-kalangan lawan politiknya.
Ada sebagian masyarakat yang menilai bahwa dalam seratus hari kerja pemerintahan Yudhoyono telah berhasil melakukan perbaikan-perbaikan yang penting dari sebelumnya, terutama dari para pendukungnya—dan sudah barang tentu dari para menterinya. Wajar pula, bila terdapat reaksi politis, dalam bentuk unjuk rasa, dari sebagian masyarakat yang menilai gagal pemerintahan Yudhoyono selama seratus hari tersebut karena seratus hari merupakan target yang bersifat politis.
Sebenarnya, rakyat tidak menaruh harapan terlalu tinggi terhadap pemerintah dalam masa 100 hari. Toh, mereka tahu bahwa 100 hari bukan waktu yang cukup untuk menyelesaikan permasalahan yang sangat kompleks. Kalau boleh saya katakan, janji seratus hari kerja untuk suatu perubahan penting adalah perilaku kegenitan dan kelatahan saja. Bagi seorang menteri yang baru menginjakkan kaki di sebuah kementerian (dulu departemen), waktu seratus hari paling-paling hanya cukup untuk mengenal lebih dekat lingkungan kerjanya. Mungkin, untuk menteri yang tidak diganti dan memimpin kementerian yang sama tidak terlalu masalah dengan program dan target seratus hari kerja. Banyak yang bisa dilakukan olehnya sebab dia tinggal melanjutkan program yang telah digarap sebelumnya.
Diakui atau tidak, masih banyak target yang belum tercapai dalam seratus hari pemerintahan Yudhoyono kemarin. Bahkan, pemberantasan tindak pidana korupsi belum menampakkan kemajuan yang lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya, kalau tidak dibilang mundur ke belakang. Namun, tidak arif, bila kita menilai keberhasilan suatu pemerintahan yang dihadapkan dengan berbagai masalah pelik hanya dengan seratus hari. Sebaliknya, sangat tidak realistis bila pemerintah membuat target-target besar, yang kemudian dianggap janji oleh masyarakat, dalam jangka seratus hari.
Politik seratus hari yang didengungkan oleh pemerintah menimbulkan anggapan umum bahwa seratus hari merupakan waktu keramat yang dapat menciptakan lompatan-lompatan besar. Masyarakat banyak yang mengharap ada momen penting dan bermakna bagi kehidupan mereka dalam seratus hari tersebut. Seolah-olah kemakmuran, kesejahteraan, dan harapan-harapan menyenangkan lainnya akan tercipta dalam jangka waktu tersebut. Efek buruk politik seratus hari adalah timbulnya klaim keberhasilan dari para pihak yang terlibat dalam pemerintahan ini dan kecaman dari pihak yang tidak mendukung.
Boleh saja pemerintah bertarget dengan seratus hari untuk hal-hal penting dan berarti sehingga dinilai masyarakat dapat menuntaskan berbagai permasalahan yang mengimpit bangsa ini. Namun, negara tidak bisa sulap hanya dengan seratus hari.***
Penulis, Pengasuh Mata Kuliah Politik Ekonomi Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
Opini PIkiran Rakyat 29 Januari 2010