28 Januari 2010

» Home » Lampung Post » Kesempatan dan Kesetaraan Pendidikan

Kesempatan dan Kesetaraan Pendidikan

Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
Salah satu isu penting dan menjadi concern Mendiknas saat ini adalah masalah kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan. Jargon yang dipilih adalah nondiskriminatif, sebuah kebijakan pendidikan yang tidak lagi membedakan asal-asal usul pengelolaan (negeri-swasta), status ekonomi (kaya-miskin), kewilayahan (Jawa-luar Jawa), maupun latar belakang pengelola (keagamaan-nonkeagamaan).


Kebijakan ini muaranya pada pelaksanaan education for all. Dalam salah satu kesempatan perbincangan dengan Mendiknas, penulis menanyakan tentang kerangka teknis dari kebijakan tersebut agar "landing operational policy" program tersebut dalam bahasa anggaran harus dapat diukur secara terbuka dan terukur. Pertanyaannya adalah, apakah jenis program yang saat ini terbungkus dalam anggaran pendidikan sudah berorientasi pada prinsip-prinsip nondiskrimatif tersebut?
Kita memang masih harus menunggu kejelasan tentang kebijakan tersebut dalam bentuk program. Karena sebuah kebijakan yang tidak didukung dengan program yang terukur dalam bentuk anggaran adalah kesia-siaan. Kita tidak ingin kebijakan yang sangat prorakyat ini mati suri hanya karena dua hal, yaitu miskinnya assessment terhadap seluruh persoalan pendidikan yang dianggap diskriminatif serta tidak palarelnya antara kebijakan dan bahasa anggaran yang tersedia. Akhirnya kebijakan ini hanya akan berjalan di ruang kosong dan hanya menjadi urusan sentimentil Mendiknas semata.
Memaknai Kesetaraan
Isu soal keadilan dan kesetaraan dalam pendidikan juga menjadi isu yang tak kunjung selesai dibicarakan seluruh dunia pendidikan. Kebingungan ini salah satunya bisa jadi bermula dari definisi kesetaraan pendidikan itu sendiri, yaitu apakah kesetaraan bermula dari keterbatasan input sumber daya terhadap sekolah atau kesetaran dari output di luar sekolah.
Jika kesetaraan dilihat dari aspek input sumber daya sekolah, seluruh kebutuhan yang menjadi prasyarat terciptanya sebuah sekolah seperti guru yang berkualitas, sarana dan fasilitas yang memadai, serta manajemen pengelolaan yang transparan dan akuntabel haruslah dirasakan oleh seluruh anak dalam setiap aspek pelayanan. Dalam hal ini anggaran pendidikan dan seluruh pernak-pernik sumbernya adalah kata kunci yang harus diselesaikan terlebih dahulu dalam mengejar masalah kesetaraan. Jangan-jangan untuk maksud inilah sebenarnya kebijakan nondiskriminatif berasal.
Bagaimana dengan kesetaraan yang bersumber dari output sekolah? Tingkat kemampuan ekonomi orang tua dan cara lingkungan, di mana siswa tinggal memperlakukan mereka adalah masalah serius yang juga harus diselesaikan dan menjadi faktor pertimbangan pemerintah dalam mengerjakan kebijakan nondiskriminatif ini. Tentu akan banyak sekali terdapat ketimpangan yang luar biasa dan menyebabkan anak-anak menjadi semakin jauh dari isu kesetaraan dalam menerima pendidikan yang berkualitas. Belum lagi terbatasnya kemampuan negara untuk menjadikan mereka sebagai penduduk yang sejahtera, di mana faktor kemiskinan hanya dieksploitasi sebagai kebutuhan politik semata.
Beberapa program yang sejauh ini ada justru menimbulkan masalah baru dalam isu nondiskriminatif, yaitu isu soal ujian nasional dan alokasi anggaran operasional sekolah melalui program BOS. Karena itu penulis haqqul yaqin bahwa kebijakan nondiskriminatif ini sesungguhnya hanya akan memperpanjang daftar masalah kesetaraan dalam pendidikan, sebelum kita mengevaluasi untuk menghentikan program-program yang justru menjadi sumber diskriminasi pelayanan pendidikan.
Mengapa BOS cenderung memperlebar jurang diskriminatif antara sekolah? Jawabannya sangat terang benderang, yaitu besaran BOS diberikan berdasarkan jumlah siswa di suatu sekolah tanpa mempertimbangkan kemampuan lingkungan, orang tua, dan siswa sendiri dalam upaya mencapai hasil pendidikan yang maksimal. Apakah sekolah di kota maupun di desa, sekolah negeri ataupun swasta, semua menerima dana BOS berdasarkan rumus yang sederhana, yaitu kebutuhan anak per kepala.
Temuan terakhir KPK soal adanya kemungkinan penyimpangan DAK dalam bidang pendidikan jangan-jangan karena program BOS yang selain sangat diskriminatif, tetapi juga rentan untuk dimanipulasi manajemen sekolah. Banyak kasus yang tak terbantahkan bahwa karena minimnya keterlibatan stakeholders dalam pengelolaan dana BOS, beberapa kepala sekolah bahkan telah meringkuk di penjara. Jelas kebijakan ini memicu ketidakadilan baru yang jika tidak dievaluasi dan diselesaikan secara bijak malah akan menjadi sumber pemicu terciptanya rasa diskriminasi di masyarakat.
BOS harus dievaluasi, dan tujuan penggunaannya harus dikontrol dan difokuskan paling tidak untuk dua hal. Pertama, membangun budaya sekolah yang sehat, transparan, dan akuntabel. Kedua, penggunaan dana BOS sebaiknya untuk memberi kesempatan anak-anak yang tidak mampu, baik secara akademis maupun finansial, dalam memperoleh derajat kesetaraan dalam pendidikan. Dengan cara ini, prosedur dan tata cara penghitungannya tentu saja harus dirombak secara total

Opini Lampung Post 29 Januari 2010