28 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Haruskah Sri Mulyani Dikorbankan

Haruskah Sri Mulyani Dikorbankan

SIKAP Presiden SBY terhadap kasus Bank Century terlihat mulai jelas kendati tuntutan dari sebagian masyarakat untuk mencopot Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani masih terus terdengar.

Dengan mengatakan kebijakan tidak bisa dipidanakan, SBY  secara jelas bersikap bahwa kebijakan mem-bailout Bank Century adalah benar. Kebijakan ini didasarkan pertimbangan untuk menyelamatkan perekonomian yang saat itu terancam krisis seperti tahun 1998.

Sampai saat ini kita masih belum bisa meprediksikan   hasil akhir proses angket Bank Century: apakah Sri Mulyani bisa dipertahankan oleh Presiden ataukah terpaksa dikorbankan? Untuk Boediono dalam kapasitasnya sebagai wapres, bisa jadi lebih sulit untuk dicopot, karena ia dipilih langsung oleh rakyat.

Dalam kesaksiannya di depan Pansus Angket Century, mantan gubernur BI Boediono menyampaikan bahwa keputusan mem-bailout Century didasarkan pertimbangan atas keyakinannya bahwa tindakan itu  dapat mengatasi ancaman terhadap ekonomi Indonesia yang saat itu sedang gawat. Untuk hal itu, ia juga mengatakan mempertaruhkan kredibilitasnya dan  bertanggung jawab dunia akhirat. Tentu dikatakan untuk meyakinkan Pansus bahwa kebijakan itu benar dan kredibel. 

Dari perspektif kebijakan publik, ada dua prinsip dasar yang harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan. Pertama, prinsip niat baik menurut teori Deontoligi-nya Emanuel Kant, dan kedua, prinsip kemanfaatan terbesar yang berbasis filsafat  Utilitarian-nya Jeremy Bentham yang sangat kita kenal: The Greatest Happiness  for The Greatest Number.

Prinsip niat baik berpandangan bahwa suatu kebijakan dikatakan legitimate secara etis apabila dilakukan atas dasar kehendak yang baik yang timbul dan didorong oleh kewajiban. Sementara prinsip kemanfaatan terbesar, berpandangan bahwa suatu kebijakan dikatakan baik jika menghasilkan manfaat yang terbesar atau menghasilkan risiko terkecil bagi sebagaian besar masyarakat.

Jadi ukuran kebaikan didasarkan pada hasil tindakan. Namun, prinsip kemanfaatan terbesar ini bukannya tidak mengandung kelemahan, terutama bila dilihat dari teori keadilan.

Menurut John Rawl dalam bukunya The Theory of Justice, keadilan  harus mempertimbangkan apa dan siapa yang harus menanggung biaya kebijakan itu. Teori keadilan juga menempatkan  hak sebagai hal yang penting, sedang bagi Utilitarian tidak ada tempat untuk hak tersebut.

Dalam kasus Century, pemerintah mendasarkan argumentasi kebijakannya pada prinsip niat baik dan prinsip kemanfaatan terbesar. Pemerintah meyakini bahwa tindakan mem-bailout dapat menghindari risiko yang lebih besar. Dengan mengalkulasi akibat yang terjadi jika tindakan tersebut tidak diambil melalui perhitungan berdasarkan risiko sistemik, pemerintah ingin menyakinkan kepada masyarakat  bahwa kebijakan tersebut benar.

Di pihak lain, mereka yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah memberi dana talangan, termasuk dalam hal ini sebagian dari para politisi Senayan, justru mempertanyakan dan ingin menggoyahkan prinsip dasar yang digunakan pemerintah tersebut. 

Dengan menelusuri sebab-musabab, urutan-urutan kejadian, dasar hukum yang digunakan sebagai pijakan, kait-mengait kepentingan para pelaku yang terlibat dalam kasus Century ini, kelompok yang tidak setuju ini akan berusaha mendelegitimasi kebijakan pemerintah ini dengan menunjukkan bukti-bukti dan berusaha membangun logika bahwa kebijakan itu tidak didasarkan niat baik atau justru dibungkus dengan niat busuk.

Dengan berusaha menunjukkan bahwa penggelontoran uang ke bank Century terkait dengan kepentingan politik dan partai politik tertentu, dan dengan menunjukkan bahwa dampak sistemik itu tidak akan terjadi, maka proses deligitimasi ini akan terjadi.

Jadi, drama Bank Century yang saat ini masih berlangsung di Senayan tidak lain merupakan panggung untuk berebut legitimasi publik dari dua pihak yang berbeda kepentingan yang tetap sama-sama mengatasnamakan kebenaran dan kepentingan rakyat.

Siapa yang akan mampu menjadi pemenang dalam berebut legitimasi ini, merekalah yang akan mampu merealisasikan atau mempertahankan kepentingan mereka. Pertarungan di Senayan ini tidak akan berakhir pada siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi berakhir pada siapa mendapat apa dan siapa berkorban apa.

Sesungguhnya korban itu telah jatuh sebelum drama Century berakhir. Siapa mereka, tidak lain adalah nasabah yang tertipu oleh ulah pengelola bank tersebut. Hak para nasabah ini tidak pernah disentuh secara sungguh-sungguh dalam drama ini. Jangan sampai, hak mereka hanya menjadi komoditi politik untuk mendapatkan legitimasi dan alat untuk tawar-menawar.  Karena itu akan lebih baik, tanpa harus menunggu drama Century ini berakhir, solusi atas para korban ini segera dilakukan.

Akankah pertarungan legitimasi tersebut berujung pada dikorbankannya Menkeu Sri Mulyani? Isu ini selain menarik untuk diperbicangkan juga belum sama sekali hilang walau Presiden sudah memberi tanggapan tentang hal tersebut.

Sebagai Menkeu, Sri Mulyani mampu menciptakan impresi publik, sebagai figur birokrat yang berprestasi, bersih,  dan berani melakukan reformasi birokrasi secara nyata.  Dia tercatat dua kali sebagai menkeu terbaik dunia dan sebagai salah satu perempuan paling berpengaruh di dunia menurut majalah Forbes. Majalah itu edisi Agustus 2009 menilai wanita tersebut  telah sukses mendorong terciptanya iklim investasi yang lebih baik, mengangkat uang lokal Asia untuk transaksi di Asia,  berani melakukan reformasi secara nyata di Depkeu.

Diapun adalah  menteri yang berani menolak keinginan Aburizal Bakrie untuk mensuspen saham-saham Bakrie ketika harganya anjlok pada krisis ekonomi 2008. Keberanian Sri Mulyani tidak berhenti di situ. Grup Bakrie pun diperkarakan ketika perusahaan-perusahaan di bawah Bakrie diduga menunggak pajak lebih dari Rp. 2,1 trilliun dan belum membayar royalti juga lebih dari Rp.1,74  trilliun.

Akan sangat tragis jika seorang menteri keuangan terbaik Indonesia harus dikorbankan demi kompromi politik dari suatu pertarungan legitimasi. Istilah dikorbankan ini tentu berbeda dari istilah mengundurkan diri, yang bisa jadi merupakan sikap kesatria dari seorang yang merasa bertanggung jawab atas kegagalan mengemban tugas.

Sedangkan dikorbankan berkonotasi dan bermakna sebagai harga yang harus dibayar dari suatu negosiasi politik.
Kita pernah mendengar, Sri Mulyani adalah satu-satunya menteri yang berani minta berhenti ketika ada tanda-tanda pemerintah akan membela konglomerat yang menurutnya tidak pantas dibantu oleh pemerintah.

Dengan demikian, kalau dia berani fight, bisa jadi karena dia yakin apa yang dilakukan tidak salah. Bisa saja Sri Mulyani bukan satu-satunya yang terbaik dan pantas menjadi menkeu, tetapi, kalau dia dipaksa dikorbankan, dan bukan mengundurkan diri, bisa jadi harga yang harus dibayar Indonesia akan jauh lebih mahal. (10)

— FX Sugiyanto, guru besar Fakultas Ekonomi Undip
Wacana Suara Merdeka 29 Januari 2010