28 Januari 2010

» Home » Lampung Post » NU dan Generasi Berkebudayaan

NU dan Generasi Berkebudayaan

Fuad Hasan
Pemerhati sosial kebudayaan, tinggal di Yogyakarta
Peringatan hari lahir Ormas Nahdlatul Ulama (NU) ke-82 tahun 2010, banyak memperoleh apresiasi beragam dari ormas-ormas muslim. Pada dasarnya NU terlahir dari generasi orang-orang berlatar kultural yang menjunjung tinggi nilai budaya dan tradisi ketimuran. Tokoh seperti K.H. M. Hasyim Asyarie dan K.H. Wahab Hasbullah adalah panutan masyarakat yang meletakkan ideologi dasar keselamatan dan kesejahteraan di dalamya. Fungsi NU selain sebagai penegak pilar-pilar agama, juga sebagai organisasi sosial yang menyelamatakan bangsa Indonesia dari kejumudan dan sekterianisme.


Kultur dasar NU yang menjadi promotor bendungan masyarakat dari arus pragmatisme dan kolonialsme, ternyata banyak dialihfungsikan setelah ia menjadi the big organization dengan jutaan massa. Dinamika para tokoh NU dengan banyak berkiprah dalam berpolitik praktis, menjadikan jelasnya harapan khitah NU mulai terkikis. NU adalah organisasi masyarakat yang mempunyai tanggung jawab mengerti, menampung, dan memenuhi aspirasi masyarakat agar tercipta suasana damai, adil tanpa kekangan, dan penjajahan secara realitas maupun imajiner.
Tradisi pesantren yang dibangun dan dikembangkan NU menjadi basis signifikansi pergerakan rakyat Indonesia melawan kelompok-kelompok separatisme kolektif. Menerangi wilayah yang pada saat itu masih terjadi krisis vertikal ihwal keagamaan, dan melakukan gerakan pembelajaran linier bersama kaum proletar tak berpendidikan untuk cita-cita bersama mewujudkan kondisi nyaman dari kekosongan spiritual serta krisis keamanan.
Menurut pandangan K.H. Abdurrahman Wahid, sistem kebersamaan hidup masyarakat dalam lingkup multikulturalisme yang masih berlaku, menunjukkan indikasi adanya girah sepihak dari personal tokoh NU untuk membangun rezimnya sendiri. NU dengan berfondasi pada khitah pesantren seharusnya melakukan pembelaan hak-hak setiap rakyat dari penjajahan struktural. Dalam cakupan lebih luas, budaya tradisi pesantrenisme yang dihidupkan oleh ormas NU adalah upaya menciptakan tandingan terhadap tindakan sebagian rezim penguasa yang semena-mena menghilangkan kebebasan orang lain.
Tradisi dan kultur pesantren, yang dulu menjadi alat canggih untuk mobilisasi sosial horizontal, melalui cara penerapan kaidah "keulamaan" dari para ulama pribumi yang menyerap berbagai ilmu suci telah berhasil mewujudkan harapan, salah satunya meningkatnya pendidikan kebudayaan bangsa. Ormas NU sekarang seharusnya tidak bergeser dari kaidah-kaidah para pendirinya tersebut. Artinya, NU harus lebih berguna bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan bagi pribadi, dengan meningkatkan politik imagologi untuk menang sendiri.
Sekarang dalam tubuh NU terjangkit polarisasi dan diaspora besar-besaran. Keanekaragaman pikiran tokoh NU mulai agresif dengan rezimnya sendiri terhadap gejala-gejala sosial dan perlawanan terhadap fundamentalisme budaya asing yang dikemas dalam pakaian agamis. Seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan nahkodanya Ulil Absar Abdalla, menggelorakan pikiran keislaman dengan pendekatan liberal. Masdar Farid dengan madzabnya Islam emansipatoris, yang ingin membangun transformasi sosial masyarakat umum melalui dasar-dasarnya.
Apakah yang mereka tawarkan tetap pada sebatas pikiran yang menjebakan diri pada perpecahan. Padahal itu semua belum cukup artinya tanpa adanya respons balik masyarakat secara komperhensif untuk mewujudkan keinginan mereka. Perlu diperhatikan lebih serius adalah bagaimana seluruh warga masyarakat nahdliyin mampu menghayati nilai-nilai yang diajarkan para pendiri NU dengan sepenuh hati, sehingga mereka tahu apa tujuan dilahirkannya ormas ini. .
Kebosanan masyarakat awam melihat dan merasakan para tokohnya yang kian berjalan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan makmunya yang sangat heterogen, banyak menciptakan kritik dan hilangnya roh kharismatik ketokohan mereka. Dikhawatirkan terjadi krisisisasi budaya pesantren yang santun dan membahayakan khitah organisasi ini. Sekarang adanya diaspora para tokoh NU merupakan implikasi dari pecahnya budaya pesantren atau terkontaminasinya budaya pesantren dengan budaya asing yang menciptakan suasana asing pula di hati warga nahdliyin.
Ormas NU yang saat ini menyebar pesat di berbagai belahan dunia, secara otomatis terkombinasi langsung dengan kultur budaya setempat. Budaya yang heterogen dalam setiap wilayah yang luas, tidak mungkin bisa disatukan dengan cara dan alat apa pun. Masayarakat nahdliyin yang plural seakan mendapatkan ultimatum dari tokoh untuk mendukung perspektif pemikirannya upaya memecahkan persoalan di tengah-tengah warga NU. Ini sangat tidak mungkin, memberikan satu jenis hal untuk banyak orang yang berbeda-beda.
Budaya NU dalam memahami tekstualitas klasik, menjadi hal yang termarginalkan oleh para tokoh sendiri. Padahal di kalangan mayoritas warga, mereka masih berpegang teguh membaca dan meneliti teks-teks keilmuan tersebut. Toh, bukan berarti mereka itu orang-orang bodoh yang hanya bisa membaca karya dan pemikiran orang lain. Justru dengan mempelajari ihwal seperti itu, budaya berpikir pesantren akan semakin hidup dari dialektika antarteks-dengan teks lainnya.
Itulah mengapa, dulu ormas ini mempunyai nilai yang berbeda dari yang lain. NU mampu diterima dan berjalan sinergis dengan kesatuan masyarakat yang berbeda-beda. Kondisi pemahaman para kiai dulu, adalah bagaimana cara masyarakat luas tanpa gusar dan ragu melaksanakan visi misi NU, tanpa harus meninggalkan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Maka akan timbul semacam asimilasi budaya masyarakat dengan budaya NU melahirkan output budaya baru yang sesuai dengan atmosfir yang dikehendaki masyarakat plural.
Kultur kiai klasik NU tidaklah basi dan ortodoktif, tetapi memang sudah diatur oleh para sesepuh agar bagaimana NU bisa tertanam dalam hati masyarakat dengan seksama. Tatapi oleh beralihnya masa seakan hal itu menjadi pandangan yang tabu dan kolot bagi para tokoh sekarang. Kebudayaan yang dibangun oleh NU dengan mengajak kembali ke pesantrenisme harus menjadi amunisi utama dalam menghadapi globalisasi dan banjir bandang budaya asing yang merambah ke mana-mana.

Opini Lampung Pos 29 Januari 2010