Dua berita yang membawa pesan moral menyebar hampir bersamaan minggu lalu. Yang satu tentang rencana razia anak-anak jalanan yang mungkin harus menjalani pemeriksaan badan tak nyaman. Tujuannya meneliti terjadinya kekerasan seksual terhadap mereka dan mengusahakan penanggulangannya. Menurut Komnas Perlindungan Anak, dari 2.000 pengaduan kekerasan terhadap anak pada 2009, hampir 63% berupa kekerasan seksual. Dapat dibayangkan apa yang bisa terjadi pada anak jalanan yang menjalani kehidupan liar di jalanan.
Berita yang juga menarik perhatian minggu lalu berkaitan dengan rencana penawaran memelihara harimau dengan membayar Rp1 miliar. Walaupun daerah perkotaan bukanlah habitat harimau, menjadikan harimau binatang piaraan diharapkan membantu melestarikannya.
Pesan moral yang dibawa, dua berita itu sama-sama menunjukkan rasa kepedulian. Yang satu peduli pada anak jalanan, yang lain peduli pada satwa langka. Dua-duanya bermaksud baik, tetapi mengapa terasa ada yang mengganjal? Meskipun tersiar bersamaan, dua berita itu seperti datang dari dan diperuntukkan dua daerah kutub berlainan. Terasa ada kontradiksi. Untuk kelas atas yang eksklusif, membayar sekian besar untuk memelihara harimau kabarnya wajar.
Kesuksesan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk; salah satunya dengan memelihara harimau. Untuk kelompok kecil itu, memelihara satwa-satwa langka dirasakan sebagai kebutuhan mengaktualisasikan kemampuan. Itu gambaran yang bertolak belakang dengan proyeksi kemiskinan, seperti yang ditunjukkan ribuan anak jalanan yang berkeliaran di jalan-jalan. Ketimpangan yang membuat perasaan terganggu.
Kemiskinan sulit diatasi
Jika dilihat dari segi persentase, penduduk kita yang sangat kaya mungkin berjumlah tidak lebih dari 1%. Kelas atas kurang-lebih 10%. Selebihnya kelas menengah dan bawah. Sementara itu, fluktuasi perpindahan dari satu kelompok ke kelompok lain terus terjadi, sesuai dengan peningkatan pendidikan dan turun-naiknya pertumbuhan ekonomi.
Bila kita menyimak peta kependudukan yang beredar sekarang, dari penduduk mendekati 235 orang pada 2010, jumlah yang berusia di bawah 18 tahun (anak-anak) sekitar sepertiganya. Adapun penduduk yang ber-KTP mencapai 170 juta orang. Menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dari jumlah yang ber-KTP tersebut, sekitar 102 juta bekerja. Selebihnya terdiri dari penganggur terbuka, bukan angkatan kerja, mereka yang bersekolah, dan mereka yang mengurus rumah tangga.
Di antara yang bekerja, 76 juta berpendidikan SMP ke bawah, mayoritasnya (55,6 juta) tamatan SD. Bisa diasumsikan bahwa mereka yang berpendidikan minim tentunya berpenghasilan minim; berarti sekitar sepertiga total penduduk termasuk golongan yang kurang beruntung. Belum lagi kalau menghitung kaum penganggur.
Karena itu, tidak berlebihan kalau kita mencemaskan situasi ini. Lebih-lebih kalau kita mengabaikan masalah pendidikan anak-anak yang jumlahnya sudah melebihi 75 juta. Mengenai masalah yang disebut terakhir itu, kita bisa memakai analogi 'harimau atau anak' untuk mengingatkan bahwa ketimpangan yang demikian mencolok akan terus ada selama perhatian kita tidak terfokus pada pengentasan rakyat dari kemiskinan dan peningkatan pendidikan. Kemiskinan akan terus melilit.
Pertumbuhan ditelan ledakan penduduk
Sistem perekonomian dunia pada waktu ini, seiring dengan berlakunya pasar bebas, mengunggulkan pertumbuhan ekonomi. Itu sama sekali tidak keliru. Tanpa pertumbuhan ekonomi, kekayaan apa yang bisa didistribusikan kepada rakyat? Itu dalih lama dan klise sebab faktanya kita memang menyalahi asas demokrasi kalau distribusi kekayaan negara tidak merata. Situasinya bisa lebih parah kalau kita tidak mengawasi ledakan penduduk. Kekhawatiran seperti ini selalu ada.
John D Rockefeller III (1906-1978), pendiri The Asia Society dan filantropis yang menaruh perhatian besar pada masalah kependudukan, pernah mengatakan, "Hal paling mendesak untuk pembangunan kesejahteraan adalah membatasi peningkatan jumlah penduduk. Di kebanyakan negara berkembang, sebagian besar pertumbuhan ekonomi ditelan oleh ledakan penduduk yang mengakibatkan masyarakatnya terjebak dalam kemiskinan. Peningkatan penduduk yang terlalu cepat menghalangi kemampuan negara untuk maju memenuhi tuntutan rakyat yang terus meningkat agar bisa hidup lebih sejahtera."
Faktanya, pertumbuhan penduduk tercepat umumnya justru terjadi di negara-negara berkembang yang paling tidak mampu merespons gejala negatif ini. Sekadar catatan, Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia termasuk salah satu negara yang paling banyak menampung orang miskin dunia. Jumlah angkatan kerja tidak terdidik terus bertambah.
Lima tahun lagi penduduk kita diperkirakan meningkat sekitar 13 juta orang lagi, menjadi 248 juta; sepuluh tahun sesudahnya menjadi lebih dari 261 juta. Jumlah petugas lapangan KB di masa Orde Baru mencapai 35 ribu orang. Keefektifannya menyebabkan program KB kita waktu itu menjadi rujukan negara-negara lain. Di masa reformasi, jumlah petugas lapangan menyusut menjadi 19 ribu orang. Sekarang sudah bertambah menjadi 21 ribu orang.
Maka analogi 'harimau atau anak' semoga mengingatkan kita agar siap dan mampu menghadapi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Demi terwujudnya kesejahteraan yang kita impikan selama ini, kita memang harus bergegas mengatasi peningkatan pesat penduduk--salah satu masalah mendesak yang menghambat laju pembangunan kesejahteraan.
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 29 Januari 2010