PESONA warna dan motif kain tenun troso telah terbukti di jagat industri tekstil di Indonesia. Selain ukiran dan mebel, tenun troso juga menjadi andalan industri dan pariwisata Jepara. Maka sangat disayangkan jika tenun troso yang ada sejak dulu ditinggalkan masyarakat pendukungnya.
Fakta sekarang toko-toko pakaian jadi di Jepara tak banyak yang menjual kemeja berbahan tenun torso. Hal ini, apakah disebabkan corak dan motif yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, atau jangan-jangan masyarakat memang enggan memakainya.
Pasalnya kemeja yang dibuat dari kain tenun torso kini identik dengan seragam. Mulai seragam kerja dinas instansi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara sampai seragam perkumpulan pengajian bapak-bapak ataupun ibu-ibu PKK di desa-desa. Nampaknya pelaku industri kain tenun troso belum membidik pasar anak-anak dan remaja.
Inisiatif Pemkab Jepara menelurkan peraturan daerah (perda) yang mewajibkan pegawai negeri ataupun swasta di instansi pemerintah harus mengenakan seragam berbahan tenun troso patut diacungi jempol.
Kebijakan memakai seragam troso diberlakukan pada hari Kamis hingga Sabtu, yaitu warna biru untuk hari Kamis dan Jumat. Sedangkan hari Sabtu warna bebas, sesuai dengan selera pemakainya.
Langkah tersebut harus kita sambut baik. Artinya, ketika kita mengenakan seragam tersebut dengan senang hati dan bangga. Tak perlu bersungut-sungut atau risi mengenakan seragam tenun dari Desa Troso Kecamatan Pecangan itu.
Minimal, kebijakan tersebut demi menjaga dan melestarikan salah satu kekayaan kesenian dan kebudayaan Jepara. Selain itu, juga meningkatkan produksi dan pasar lokal.
Sayang, kebijakan yang mengharuskan memakai seragam tenun troso tersebut memutus mata rantai pelestari, pecinta, dan pemakai kain tenun troso. Pasalnya yang dibidik hanya generasi tua. Kebijakan yang membidik anak-anak dan remaja belum dilahirkan.
Andai kebijakan mengenakan seragam troso juga diberlakukan bagi siswa sekolah tentu akan meningkatkan produksi pasar lokal. Mulai siswa pendidikan taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas tak ada salahnya jika juga diwajibkan memakai seragam tenun troso.
Jadi sejak dini anak terbiasa mengenakan seragam (pakaian) berbahan dasar kain khas Jepara itu. Maka dengan sendirinya kecintaan dan kebanggaan akan tenun troso tumbuh tanpa paksaan (tuntutan peraturan). Jadi, dalam kehidupan sosial generasi muda bangga dan percaya diri memakai baju tenun troso.
Identitas Daerah Peraturan yang mewajibkan siswa memakai seragam sekolah tenun troso tak sekadar menyambung mata rantai pemakai dan pecinta tenun itu. Kewajiban itu juga bisa dijadikan identitas daerah.
Misalnya, ketika pemkab mengikutsertakan siswa terbaiknya dalam lomba-lomba di tingkat regional ataupun nasional, duta dari Bumi Kartini mengenakan seragam khasnya.
Tak hanya identitas daerah, corak, dan warna tentun troso yang ada saat ini juga dapat digunakan untuk membedakan jenis jenjang sekolah.
Misalnya dengan mengadopsi warna seragam yang sudah ada saat ini. Warna bawahan merah untuk jenjang sekolah dasar. Warna bawahan biru untuk sekolah menengah pertama, dan warna bawahan abu-abu untuk jenjang sekolah menengah atas atau kejuruan.
Jika pemkab hendak memberikan kelonggaran kepada pihak sekolah untuk menentukan warna dan motif pun masih sangat mungkin.
Pasalnya, keanekaragaman warna dan motif kainnya sangat bervariatif. Sekolah yang menentukan sendiri warna dan motif, dan dengan begitu pengawasan aktivitas siswa di luar sekolah bisa dengan mudah dilakukan.
Pengawasan pihak sekolah terhadap aktivitas siswa di luar sekolah akan sulit jika siswa mengenakan seragam baku yang sudah ada.
Sebab, untuk mengetahui siswa yang dimaksud dari sekolah mana, kita harus membaca lokasi (nama sekolah-Red) yang melekat pada lengan baju seragam bagian kanan atas.
Berbeda jika sekolah memiliki seragam identitas, maka tanpa harus membaca Lokasi, kita dapat mengetahui siswa tersebut dari sekolah tertentu.
Sekolah swasta yang memiliki identitas seragam sekolah bisa memeloporinya dengan menggunakan tenun troso untuk dijadikan seragam identitas. Selama ini warna dan motif mayoritas seragam identitas sekolah swasta ataupun negeri hampir serupa.
Dapat dipastikan, pasti bermotif lambang sekolah. Jika memang lambang sekolah dirasa suatu hal yang sakral sebagai penanda identitas sekolah, tidak ada salahnya jika kain tenun troso bermotif lambang sekolah.
Lantas, apabila pemkab memberikan keluwesan kepada pihak sekolah untuk mengkreasi sendiri model seragam sekolah itu juga lebih bijak.
Dengan begitu, masing-masing sekolah tentu akan berpacu menciptakan model seragam sekolah yang modis, kreatif, tetapi tetap memegang nilai dan tatanan berpakaian. Sebab, warna, corak, dan motif sangat memungkinkan untuk dikreasi menjadi beraneka ragam bentuk mode.
Kini kelangsungan dan eksistensi keberadaan tenun troso juga tak bisa terlepas dari kebijakan pemerintah kabupaten. Peraturan daerah yang strategis turut ambil bagian demi keberadaan tenun itu pada masyarakat pemakainya.
Selain itu, pemakainya harus bangga dan merasa percaya diri mengenakan hasil kerajinan daerah sendiri. Rasa memiliki dan kecintaan kita yang akan terus menghidupi keberadaan tenun troso. (10)
— Rhobi Shani SPd, warga Jepara, guru SMA Sultan Agung Semarang
Wacana Suara Merdeka 29 Januari 2010