Sebagai anggota Pansus berarti duduk sebagai wakil rakyat, maka tuan mereka adalah rakyat. Majikan mereka bukanlah ketua partai, bukan pula Presiden.
PERKEMBANGAN penyelidikan kebijakan bail out untuk Bank Century dianggap semakin tak terkendali oleh pihak penguasa. Pemerintah sepertinya kebakaran jenggot dengan lalu lintas pertanyaan yang ditimpakan oleh Pansus Hak Angket kepada para saksi dan ahli.
Bagaimana tidak, akibat penyelidikan Pansus, angin keinginan untuk menghadirkan Presiden SBY di kursi saksi Pansus berhembus makin kencang. Tidak hanya itu, opini kalangan elite yang terbentuk dari hasil pemaparan sementara penyelidikan pengucuran dana talangan itu mengarah ke segmen pemakzulan, menurunkan Presiden dalam masa jabatannya.
Tampaknya, untuk mengibaskan ketidakterkendalian tersebut, Presiden SBY mengundang petinggi-petinggi lembaga negara ke Istana Bogor (21/1).
Undangan yang dibungkus dengan acara silaturahmi itu disusul dengan konferensi pers SBY yang mengemukakan setidaknya dua hal inti, yakni: tidak dikenal mosi tidak percaya (vote of confident) dalam sistem pemerintahan presidensiil, dan sebuah kebijakan tidak dapat dipidana.
Kondisi politik menjadi semakin runyam ketika, konon kabarnya tepat pada umur pemerintahan yang genap 100 hari, ribuan orang akan turun ke jalan meneriakkan penyikapan terhadap laju dan gerak pemerintahan SBY.
Boom-nya efek politik dari kasus dana talangan Rp 6,7 triliun itu, sepertinya mengaburkan efek hukum yang semestinya diurai, khususnya indikasi korupsi yang menyertai penyertaan modal sementara untuk ìmenyelamatkanî Bank Century.
Publik dapat merasakan efek politik tersebut, misalnya,dari penyimakan siaran langsung jalannya pemeriksaan saksi angket bail out Century di media elektronik dan cetak. Ada ketidakseragaman yang berkelebat dalam upaya mengungkap kebenaran pada skandal pengucuran dana talangan itu. Anggota Pansus terpecah menjadi tiga kelompok.
Pertama, kumpulan anggota yang ngotot menyibak keterlibatan beberapa petinggi negara bidang ekonomi dan keuangan yang kala itu memegang kebijakan menyelamatkan bank tersebut.
Kelompok ini bersikeras agar memasukkan Presiden sebagai pihak yang harus dipanggil untuk dimintai keterangan agar memperjelas apa sebenarnya yang terjadi dalam pemberian talangan itu. Partai Hanura, PDIP, dan Gerindra bolehlah dimasukkan dalam kelompok ini.
Kedua, kelompok tandingan dari kelompok pertama. Jika ditengarai, kelompok kedua ini memasang garda berlapis agar Pansus tidak melebarkan sayap penyelidikan ke Presiden. Perihal yang memungkinkan diucapkan sebagai legitimasi sikap kelompok ini adalah konsistensi untuk menolak dihadirkannya Presiden ke sidang pansus angket Century. Partai Demokrat dapatlah dianggap sebagai wakil dari kelompok ini.
Ketiga, kelompok abu-abu yang menghitung-hitung terlebih dahulu konstelasi politik yang bergulir sebelum mengambil keputusan. Meskipun mereka masuk dalam gerbong partai koalisi, pendukung pemerintah, mereka tidak cepat mengambil keputusan untuk menolak dihadirkannya Presiden ke sidang pansus angket. Padahal lazimnya, partai pendukung pemerintah, mesti mengamankan posisi Presiden.
Di lain sisi, ambiguitas kelompok ini ditunjukkan dengan pernyataan beberapa anggota yang naga-naganya setuju dengan rencana menghadirkan SBY ke Senayan. Meskipun sikap itu disampaikan secara pribadi, sudah cukup menjadi pertanda dualisme penghitungan konstelasi politik. PAN, PKB, PKS, dan Partai Golkar menjadi bagian dari kelompok ini.
Namun demikian, belakangan partai kelompok abu-abu ini mulai masuk lagi ke jalur partai penguasa. Indikasinya adalah ditariknya beberapa kader yang dahulu begitu keras melontarkan pertanyaan kepada para saksi. Pergantian kader membuat historisitas penyelidikan menjadi tambah rumit. Sebab, setidaknya ada keterputusan motif pertanyaan yang disusun sejak semula.
Adanya tiga friksi di dalam Pansus Century, secara umum, membuat proses lidik merambah ranah yang agak keliru. Yang terlihat adalah hasrat politik menggebu untuk menempatkan diri berlawanan posisi dengan lainnya. Guratan pikiran untuk menjatuhkan Presiden dengan sarana pemakzulan.
Jika demikian, penyelidikan politik yang seharusnya berfungsi sebagai pengumpul bahan penyelidikan hukum telah kehilangan maknanya. Pendek kata: bila efek politik mengangkangi penyelidikan hukum maka tanggung jawab pidana dalam kasus Bank Century akan kabur, tidak jelas.
Sebelum melangkah jauh, Pansus semestinya kembali ke tujuan semula digelarnya angket. Pertama, fokus mengungkap sisi hukum mengenai keliru atau tidaknya kebijakan talangan menurut dasar hukum yang berlaku. Misalnya, tolok ukurnya dihubungkan dengan UU Keuangan Negara, UU Perbankan, dan UU tentang Bank Indonesia.
Kedua, harus kembali sadar bahwa saat mereka duduk sebagai anggota Pansus, yang berarti duduk sebagai wakil rakyat, maka tuan mereka adalah rakyat, bukan yang lain.
Majikan mereka bukanlah ketua partai, bukanlah Presiden. Karena itu, wajib kiranya mereka bekerja dengan maksimal, transparan, dan tidak memiliki hasrat politik yang menyokong salah satu pihak.
Ketiga, sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap rakyat, Pansus harus membeberkan hasil lidiknya ke khalayak ramai. Setelah itu, mereka menyerahkan dokumen penyelidikan itu ke penegak hukum untuk ditindaklanjuti.
Keempat, setelah menerima dokumen dari Pansus, giliran penegak hukum yang harus bekerja ekstrakeras. Dokumen dapat dijadikan bukti permulaan untuk memeriksa dugaan perbuatan melawan hukum. Berikutnya, bila penegak hukum yang dimaksud adalah KPK, maka KPK harus memeriksa dengan cermat indikasi korupsi.
Berharap angket Century tidak menjadi komoditas politik yang membuat kabur penegakan hukum dan penyelamatan uang negara Rp 6,7 triliun itu. Semoga.(10)
— Hifdzil Alim, peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Wacana Suara Merdeka 29 Januari 2010