Suatu ketika Nabi Muhammad SAW dirundung kesedihan luar biasa ketika paman sekaligus pelindungnya di Mekah, Abu Thalib, meninggal dunia. Sepeninggal pamannya itu, praktis tidak ada lagi ”orang kuat” yang dapat melindungi Nabi dalam menyiarkan Islam di Mekkah. Terlebih jabatan ketua klan Bani Hasyim pasca-Abu Thalib, adalah Abu Lahab, seorang yang paling getol memusuhi Nabi.
Nabi akhirnya menyingkir hingga ke sudut kota Thaif, sebuah kota kecil di utara Mekah yang subur. Nabi bermaksud meminta bantuan keluarga Tsaqif—”juru kunci” kuil al-Lata di kota Thaif, sekaligus menyadarkannya supaya masuk Islam. Namun, permintaan Nabi tersebut ditolak. Bahkan keluarga Tsaqif memerintahkan budak-budaknya untuk mengejar dan membunuh Nabi. Nabi kemudian berdoa kepada Allah memohon pertolongan.
Malaikat Jibril pun memimpin ”pasukan” malaikat menemui Nabi dan menawarkan bantuan. Nabi SAW dengan santun menjawab,“Bahkan jika mereka tidak mau beriman dan taat kepada Tuhan, aku masih tetap berharap akan ada anak-anak dan cucu-cucu mereka yang menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Biarkan saja mereka, karena mereka memang orang-orang yang tidak tahu.”
Kisah di atas tentu sangat kontras apabila kita kaitkan dengan realitas sekarang ini. Kini, atas nama agama, sekelompok teroris dengan ”dinginnya” meledakkan sebuah pesawat terbang, tempat hiburan, dan banyak fasilitas umum. Atas nama agama juga, sekelompok umat mayoritas membumihanguskan tempat tinggal dan rumah ibadah umat lain yang kebetulan berbeda dan minoritas.
Realitas kekerasan semacam ini kemudian membuat kita berpikir kembali tentang fungsi agama secara fundamental. Fungsi agama yang seharusnya memberikan ketenteraman, kedamaian, dan ketertiban, justru terlihat berubah sama sekali. Agama terlihat ”berparas” menakutkan. Penuh dengan darah dan air mata. Agama bahkan tidak lagi sesuai dengan visi etimologisnya yang paling fundamental yakni a bermakna tidak/tanpa dan gama yang berarti kekacauan.
Radikal
Citra Islam dalam satu dasawarsa terakhir ini memang sedikit banyak dilumuri oleh “kekerasan” dan “tindak teror”. Citra seperti ini, menurut saya, adalah akibat tindak tanduk sebagian kecil penganut Islam yang masih saja berlaku “radikal”, masih menggunakan cara-cara kekerasan untuk menghadapi “yang lain”. Bagi saya, Islam tidaklah seperti itu. Islam merupakan agama yang selalu memancarkan kasih sayang dan perdamaian.
Secara etimologis, Islam berasal dari bahasa Arab aslama-yuslimu islam yang berarti menyelamatkan, menyerahkan diri, tunduk dan patuh. Sebagian ahli bahasa menyebutkan bahwa Islam berasal dari akar kata silm yang mengandung arti selamat, sejahtera dan damai. Islam yang muncul sebagai agama paling ”bungsu” di antara agama-agama samawi sebelumnya kemudian mendeklarasikan ”kredo” agamanya yang terkenal, yaitu agama yang rahmatan lil alamin.
Dengan “platform” ini, Islam ingin membawa “berkah” bukan hanya bagi internal umat Islam, namun juga bagi seluruh umat agama lain, semua manusia, bahkan untuk keseluruhan alam ini. Hingga kemudian, kehadiran Islam di bumi ini, bukanlah menjadi suatu ancaman bagi “yang lain”, melainkan menjadi “sesuatu” yang dapat menginspirasikan persaudaraan dan perdamaian antarsesama makhluk Tuhan.
Platform Islam ini kemudian amat pararel dengan sifat-sifat Tuhan yang paling populer disebut makhluknya, yakni al Rahman dan al Rahim. Tuhan bermakna Yang Maha Pengasih dan Penyayang (welas asih). Sifat ini ditujukan kepada manusia, baik itu muslim ataupun nonmuslim, bahkan kepada hewan, tumbuhan dan seluruh isi alam ini. Segala makhluk berhak dan butuh kepada pancaran kasih sayang Tuhan ini. Tidak ada diskriminasi, tidak ada pengecualian.
Mengenai problem perbedaan mazhab, keyakinan, agama, atau kepercayaan, itu adalah urusan lain. Tuhan Yang Maha Benar, akan “menyelesaikan” masalah ini secara tuntas di akhirat nanti.
Diadopsi
Sifat al Rahman dan al Rahim dari Tuhan ini terlihat begitu memesona hingga kemudian “diadopsi” oleh beberapa orang hebat dalam sejarah dunia. Contoh yang sangat pasti tentu saja Nabi Muhammad sendiri. Sastrawan sufi Syaikh Jalaluddin Rumi juga “mereferensi” sifat Tuhan ini. Namun yang saya amati kemudian, ternyata banyak tokoh bijak dalam sejarah manusia, yang nonmuslim, yang berhasil “menangkap” sifat mulia Tuhan ini dan kemudian menyebarkannya ke masyarakat sekitarnya sebagai simbol perjuangan untuk perdamaian dan kemuliaan kemanusiaan.
Platform Islam rahmatan lil alamin dan sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang ini kemudian juga termanifestasikan lagi dalam ritual Islam yang paling fundamental, yaitu salat. Dalam ritual yang kita lakukan minimal lima kali sehari ini, terdapat doa yang akan membuat kita selalu rendah hati yaitu Ihdina al shiraathal mustaqim, tunjukkanlah kepada kami pada jalan yang lurus. Suatu sikap rendah hati yang mencerminkan keberadaan kita yang belum tentu sudah ”lurus” selurus lurusnya, atau sudah ”benar” sebenar-benarnya.
Walhasil, kehadiran Islam di dunia, sebenarnya adalah ingin menebar benih perdamaian untuk menuai kemaslahatan semesta. Bukan memelihara kekerasan dan perusakan. Sebuah cita-cita yang tentu akan diamini oleh seluruh muslim di muka bumi ini. - Oleh : Sechah Wal Afiah, Koordinator Fatayat NU se-eks Karesidenan Surakarta
Opini Solo Pos 29 Januari 2010
28 Januari 2010
Islam dan semangat antikekerasan
Thank You!