24 November 2009

» Home » Solo Pos » Presiden dan bahasa rakyat

Presiden dan bahasa rakyat

Haddooh…Pak Beye ni ngomong apa seeh, poinnya apa gitcu lhooo.“ Status yang saya pasang di Facebook sesaat setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memulai pemaparannya di televisi soal penyelesaian kasus Bibit-Chandra dan Bank Century itu langsung disambut komentar beragam.

“Koyo Sinetron yo”, ”Mbulet wae, mubeng munyer ra karuan, mbingungi”, begitu komentar beberapa rekan menanggapi status di Facebook saya. Status teman sebelah malah lebih nylekit lagi, “Antiklimaks...parsial, tetap Selalu Bimbang Yeah.”
Saya sangat yakin, hampir seluruh rakyat Indonesia apalagi mereka yang berstatus sebagai “penghuni” jejaring pertemanan di Facebook yang sempat menggulirkan gerakan moral mendukung penuntasan kasus cicak versus buaya, pada Senin (23/11) malam lalu, merasakan kebingungan yang sama. Kegamangan itu memang disuguhkan oleh SBY, dalam pernyataannya soal tanggapan pemerintah atas rekomendasi Tim Verifikasi Fakta Independen (Tim 8), untuk penyelesaian kasus cicak versus buaya, plus soal Bank Century.


Untuk kasus bailout Century, dalam laporannya, Badan Pemeriksa Keuangan, Senin (23/11), mengungkapkan, sebagian dana yang digelontorkan untuk penyelamatan Century tidak memiliki dasar hukum alias ilegal! Sesaat setelah Presiden selesai dengan pemaparannya, muncul lagi komentar, kali ini dari teman nonton TV di sebelah saya, “Terus kesimpulannya apa?” “Ya, silakan bikin penafsiran sendiri” sahut saya.
Jaga imej
Menurut hemat saya, tradisi berbicara langsung kepada publik (melalui media tentu saja), yang dibangun oleh SBY selama ini memang bagus untuk pencitraan. Bahwa Presiden menjadi lebih terjangkau, di mana rakyat bisa secara langsung mendengar pemimpinnya menyampaikan keputusan, kebijakan atau pernyataan terkait berbagai masalah tanpa melalui staf atau menterinya, mencitrakan imej pemimpin yang terbuka dan aspiratif.
Namun hal itu akan menjadi blunder jika yang terjadi adalah penyampaian pernyataan dengan kalimat-kalimat tidak jitu, bahkan mempersilakan masyarakat untuk menafsirkan, memberi penilaian, atau bahkan menyulut polemik baru. Ontran-ontran yang menyeret banyak petinggi di Kejaksaan, Polri hingga KPK, yang telah menyedot energi bangsa ini selama berbulan-bulan dan menimbulkan efek ketidakpercayaan yang maha luas dari rakyat kepada institusi penegak hukum di Tanah Air, ternyata tidak lantas membuat Presiden mau mengungkapkan sikapnya secara tegas!
Merujuk kembali pada pernyataan Presiden, Senin malam lalu, pantas kiranya jika rakyat lantas menilai Presiden terlalu keras berupaya menjaga imej, cari aman. Seperti yang telah ditegaskan Presiden pula, bahwa dia tidak ingin (terlihat) mencampuri kewenangan Kejaksaan Agung dan Polri (dalam kasus Bibit–Chandra). Sementara untuk kasus Century, alasan resesi global yang dipaparkan Presiden sebagai latar belakang munculnya keputusan bailout justru menjadi aneh, jika melihat fakta temuan BPK.

Bahasa rakyat
Sangat disayangkan, Presiden yang untuk kali kedua dipilih langsung oleh rakyatnya itu malah (lagi-lagi) enggan “berkomunikasi” dalam bahasa rakyat. Untuk masalah luar biasa besar itu, kalimat yang dipilih justru bukan kalimat yang tegas dan konklusif.
Untuk mereka yang duduk di lingkaran kekuasaan, atau pun mereka yang berstatus sebagai pengamat, ahli atau apapun yang sejenis, di bidang hukum maupun politik, rata-rata akan sepakat mengatakan, meski tidak benderang, pernyataan Presiden sudah terang mengatakan ke mana arah penyelesaian kasus Bibit-Chandra dan Bank Century.
Tapi bagaimana dengan rakyat kebanyakan, yang hanya sedikit melek tentang hukum atau bahkan skeptis dengan penegakan hukum (di Indonesia). Pernyataan Presiden itu sangat mengecewakan. Karena bisa dipastikan, pernyataan Presiden akan diikuti oleh tafsir-tafsir dari beragam sudut pandang, beragam latar belakang keahlian bahkan mungkin juga beragam kepentingan. Yang sangat dikhawatirkan, tafsir-tafsir itu justru akan semakin membuyarkan jawaban atas tuntutan warga Indonesia pada umumnya saat ini, yakni penegakan hukum yang berkeadilan, praktik peradilan yang bersih, termasuk tata kelola negara yang bersih dari tikus-tikus makelar kasus maupun koruptor.
Sudah terlalu lama rakyat hidup dalam ketidakjelasan. Tata kelola negara yang serba tidak jelas dan tidak terarah, mengakibatkan banyak kesulitan di masyarakat. Defisit listrik (akibat monopoli), impor BBM besar-besaran, impor bahan pangan dan hasil pertanian (karena pengelolaan sumber alam dan lahan pertanian yang tidak visioner) hanya sedikit contoh dari hasil serba ketidakjelasan tata kelola pemerintahan kita.
Sayangnya (lagi), berbicara serba “tidak jelas” itu juga disukai Kepala Negara. Ingat, seorang pemimpin baru benar-benar dapat disebut pemimpin jika dia bisa selalu menjadi bagian dari jawaban (bukannya menjadi bagian dari permulaan masalah baru) dan mampu secara tuntas memecahkan masalah (bukannya selalu tanggung-tanggung atau justru memperkeruh masalah). - 


Oleh : Erwina Tri S, Program Director SOLOPOS FM
Opini Solo Pos, 23 November 2009