PADA tahun 1937-an, Eyang Sosrokartono (kakak RA Kartini), pernah mengingatkan para pemimpin termasuk calon pemimpin
agar ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi contoh) dan ing madya mangun karsa (di tengah memberikan motivasi).
Namun sampai menjelang akhir tahun ini, mereka belum melaksanakan ajaran itu, malah beberapa memberikan teladan yang tidak baik. Kondisi politik dan sosial bangsa kita yang pada saat ini diejawantahkan melalui demokrasi barat, eksplanasinya amburadul.
Reformasi dan otonomi kebablasen, yang oleh Gubernur (waktu itu, kini almarhum) HM Ismail disebut karut-marut karena etika dan moral para pemimpin yang tidak memahami ajaran Sosrokartono.
Kalau etika diartikan baik buruknya cara bertindak, dan moral diartikan sebagai ajaran baik buruknya laku, maka pada saat ini, kita dapat menilai bagaimana sebenarnya etika dan moral bangsa, lebih-lebih pemimpinnya.
Pada tahun 1999-2009, yang dipamerkan para pemimpin, dari anggota DPRD, DPR, wali kota, bupati, gubernur, sampai pejabat negara, adalah parade kebobrokan. Sebagian besar terjerat kasus korupsi, ditahan, dihukum sehingga tidak patut menjadi teladan generasi muda.
Kasus yang melibatkan pejabat KPK, polisi, dan kejaksaan membuktikan betapa etika dan moral benar-benar tidak patut ditiru.
Indonesia dijuluki sebagai negara terkorup di Asia Tenggara dan terburuk birokrasinya di Asia, sesudah India. Tahun 2009 ini adalah tahun prihatin, tahun pertaruhan awal pemerintahan II SBY.
Kalau SBY tidak tegas pada saat-saat seperti ini, bisa-bisa ”bom” people power meledak. Orang Jawa bilang: sisip katuranggane, bisa-bisa dadi mala (kalau salah perhitungan dapat menjadi bahaya).
Romo YB Mangunwijaya semasa hayatnya pernah mengatakan bahwa generasi sekarang ”lebih bodoh” dari generasi Soekarno-Hatta.
Dikatakan, generasi Soekarno-Hatta mampu mendobrak dan mengusir Jepang dan menolak penjajahan kembali Belanda yang mau memanfaatkan Sekutu melalui van Mock.
Generasi pejuang itu bisa menciptakan NKRI yang bebas dari penyakit penjajahan. Indonesia merdeka dan berdaulat, serta menyediakan ”jembatan emas” bagi bangsanya (Mangunwijaya JB, 1998).
Penguatkan kembali etika dan moral, lebih-lebih diarahkan untuk bela negara, adalah suatu hal yang tidak mudah. Harus ada forum rembuk bangsa mendalam, objektif, dan ilmiah. Hal ini perlu dipahami, sebab pada saat ini bangsa dan negara, baru gandrung pada budaya asing.
Kegandrungan itu dapat dilihat pada tata kehidupan spiritual atau agama, gaya hidup, dan cara berpakaian. Bangsa ini oleh H Mardiyanto (mantan mendagri), disebut baru kehilangan harga diri, jati diri, dan kepercayaan diri.
Demokrasi dan ekonomi yang liberal, pilkada dan pilpres secara langsung, ternyata hasilnya jauh dari harapan.
Sementara itu, Mochtar Mas’oed (1999) menyoroti, bahwa arah demokrasi yang lemah itu berdampak pada rusaknya etika dan moral.
Bangsa Indonesia yang dulu terkenal santun, lulus penataran P4, sekarang seperti kehilangan etika dan moralnya sehingga tidak patut diteladani.
’’Dijajah” Lagi Bangsa ini mudah marah, suka tawuran, dan lebih mementingkan pribadi dibanding mendahulukan kepentingan bangsa dan negara.
Bukan itu saja, Toeti Heraty Nurhadi (1999), malah menyebut bahwa kita sudah ”dijajah” lagi. Bangsa ini mudah dihasut, ingin ”bebas”, sehingga pejabat sampai presidennya pun dikritik, dibuat seperti dagelan, mengesampingkan etika dan moral.
Untuk mengatasi semua ini, penulis mengingatkan kembali pentingnya anjuran Raden Rama kepada adiknya, Raden Barata, ketika dia harus mewakili dibuang ke hutan selama 13 tahun.
Pesan itu digubah oleh RNg Yasadipura I dengan nama Sastra Cetha, yang intinya manusia harus paham arti nista, madya, dan utama.
Artinya yang nista jangan dilakukan, yang madya hanya menjadi pengetahuan, dan yang utama hendaknya dilakukan.
Kita harus tahu, bahwa di antara kita tentu ada yang tidak baik, akan tetapi sebagai bangsa yang santun, kewajiban kita harus membimbing mereka yang tidak baik untuk menjadi baik.
Selain itu, sebagai generasi muda, jangan mudah putus asa dan harus selalu waspada demi kejayaan bangsa.
Karena itu, mari kita merenung, apakah mampu melaksanakan ajaran Sastra Cetha yang kelihatannya sederhana, tetapi aplikasinya sulit. Etika dan moral berada dalam tata kehidupan, berada dalam tingkah laku, dan berada dalam diri.
Bela Negara juga berada pada kesadaran sebagai bangsa dan kecintaan pada bangsa dan negara, yang semuanya ada di dalam dada.
Sebagai bangsa yang tahu negaranya menuju ke kemunduran harus berani bangun, cancut taliwanda, buang sifat suka berbuat nista dan lakukan yang utama.
Jika hal itu dilakukan pada gilirannya akan mampu mengembalikan tata etika dan moral, dan pasti rela berkorban membela bangsa dan negara demi kejayaan NKRI. (10)
— Prof Dr Dr Soetomo WE, dosen PPS UKSW Salatiga dan Stiepari Semarang
Wacana Suara Merdeka 25 November 2009