Age of Insanity (2001), demikian judul buku yang ditulis John F Schumaker, pengajar senior di University of Canterbury, Selandia baru. Buku yang menunjukkan betapa hedonisme dan konsumerisme menciptakan ketidakseimbangan 'psikososial' manusia pada masa sekarang ini. Dengan efek yang semakin mencemaskan, nilai-nilai ini serentak memompa energi negatif-destruktif pada sudut tak terlihat, untuk menggerakkan mesin sosial politik ke dalam kawah kerakusan.
Setiap individu dan institusi sosial (politik) tidak mampu menahan gelombang kerakusan yang pada gilirannya mengikis habis pertahanan terhadap mekanisme koruptif di ruang-ruang kekuasaan dan politik. Kemerosotan akhlak dan demoralisasi aspek utama kehidupan menyebabkan kesucian pergumulan demokratik tidak pernah sampai pada keberhasilan menemukan simpul untuk mengurai kebuntuan sosial, politik dan kultural. Yang menumbuh justru 'kegilaan' yang terbahasakan pada kejahatan, ketidakadilan, dan kebohongan politik.
Mengelak dari keadaan semacam ini sudah lama menjadi perkara yang mengganggu banyak orang. Bagaimana menyusun sirkulasi kejujuran dalam peta sosial politik menyita sebagian besar perhatian dan intimasi publik terhadap konstruksi kekuasaan. Kebutuhan pada aras nilai yang bisa menjiwai kebijakan, regulasi, dan perilaku penguasa menuju kemaslahatan yang lebih luas di arena publik politik. Di kekinian, masih sulit untuk menembus level seperti ini.
Terjerumus
Itu yang memperkuat ketegangan pada ranah politik, hukum dan kekuasaan belakangan ini. Di titik awal euforia politik pasca-Pemilu 2009, dalam pandangan mata Patrick Dunleavey (1991) dalam buku Democracy, Bureacracy and Public Choice, dengan begitu lekas kita diperhadapkan dengan problematik politik dan hukum yang tidak terjamah akal sehat dan rasa keadilan publik. Bahkan, terpentang jurang yang semakin lebar antara harapan publik terhadap mimpi demokrasi akibat penampilan birokrasi yang terjerembap dalam dugaan serangkaian kejahatan.
Birokrasi sebagai jembatan yang semestinya menghubungkan mimpi demokrasi dan wilayah publik ternyata terlalu rapuh hingga sejauh ini. Pilihan-pilihan politik publik tidak seluruhnya terangkum dalam kinerja lembaga politik dan birokrasi. Pergerakan tanpa fokus pada kebaikan bersama sebagai bangsa.
Keruntuhan kinerja merupakan bahasa yang paling kurang cukup mewakili kegusaran publik menyaksikan bagaimana institusi politik dan hukum melakukan 'jual beli' pukulan untuk meluputkan diri sendiri. Akumulasi perilaku semacam ini akan menjerumuskan semua elemen kebangsaan pada krisis kepercayaan sosial dan politik. Tanpa kepercayaan politik dan sosial, sebuah komunitas politik akan kehilangan kekuatan meraih idealisme demokratik. Tragisnya, pusaran kejahatan tak mudah terputuskan sampai kekuatannya menelan habis kemurnian dan kejujuran yang tersisa di ruang-ruang politik dan hukum.
Imaturitas
Beranjak dari kedangkalan menuju kematangan politik sudah lama juga menjadi perkara yang selalu mengganggu proses transformasi politik dekade terakhir ini. Kegelisahan ini tetap membeku akibat perbedaan pilihan politik yang sangat beragam. Tragisnya, seperti yang disinyalir Abram Elliots (1993), perbedaan pendekatan politik pada era transisi secara negatif justru menjadi terciptanya kejahatan dan balas dendam politik. Atau, dalam perkembangan mutakhir, kita menyebutnya dengan kriminalisasi terhadap institusi negara.
Elliots menyebut gejala ini sebagai 'undue process'. Kita sedang menempuh 'jalan ketidakpatutan' dalam kehidupan politik. Ini terungkap dalam serial kriminal politik yang terus berkembang sekarang ini. Ini hanya dapat dijalankan tanpa sesal dengan circumstance psikologi politik dan kekuasaan yang teracuni egoisme mematikan. Tak terumuskan apa yang mesti diperjuangkan demi kebaikan umum, selain pemenangan kepentingan sekelompok orang yang bisa menentukan apa pun sesuai dengan kehendak mereka.
Ketiadaan kematangan politik serentak memicu kebiasaan untuk saling menjatuhkan, mengorbankan, dan membunuh dengan efek destruktif terhadap publik politik. Politik diterima sebagai bagian dari strategi dan mekanisme untuk mengorbankan individu maupun institusi yang dipandang mengancam para pemegang kekuasaan yang lebih besar. Bila bertolak dari gagasan Robert Ellias (1986) dalam buku The Politics of Victimization, selalu ada bahaya bahwa politik dijadikan sebagai ruang menyusun skenario busuk untuk membunuh hasrat demokrasi.
Kondisi semacam ini yang seterusnya telah menyebabkan para penguasa menerjemahkan kekuasaan sebagai momentum yang memelihara egoisme politik. Dengan sinisme yang gamblang Marcus Felson dan Ronald V Clarke (1998), dalam buku Opportunity Makes the Thief, melemparkan sebuah awasan bahwa politik selalu menjadi kesempatan terbaik bagi para penguasa untuk melancarkan kejahatan. Tak mengherankan jika pada akhirnya para pengampu politik dan hukum menjadi penjarah uang rakyat.
Responsif
Apa yang tersaksikan pada hari-hari ini secara lengkap melemparkan sosok kegilaan politik dan kekuasaan paling menggelikan sepanjang era reformasi. Suasana semacam ini sama sekali tidak dibutuhkan untuk menjadi bagian dari proses penyembuhan bangsa yang sudah lama terluka.
Di sisi ini, penting untuk menunjukkan ketegasan radikal dalam pengaturan institusi negara yang berdekatan dengan pengurusan kehidupan publik. Ian Ayres dan John Braithwaite (1992) menggagaskan perlunya menyusun regulasi yang tanggap terhadap kegelisahan publik. Termasuk keberadaan lembaga politik dan hukum yang sigap mendengarkan suara rakyat. Apa yang dikatakan hampir di seluruh media massa bahwa keburukan yang sedang menjegal Indonesia sekarang ini harus bisa dijadikan 'saat' untuk membenahi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan secara radikal. Tuntutan yang terus mendesing agar pemerintah terutama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjukkan intensi produktif terhadap proses restorasi politik dan hukum ini merupakan sebagian dari usaha melawan kegilaan di ranah kekuasaan sekarang ini!
Oleh Max Regus, Alumnus Pascasarjana Departemen Sosiologi UI
Opini Kompas 25 November 2009