24 November 2009

» Home » Solo Pos » Century, persoalan hukum atau politik?

Century, persoalan hukum atau politik?

Setahun berlalu sejak Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 21 November 2008 memutuskan menyelamatkan Bank Century (bailout) yang dianggap kontroversial.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang terbit pada 15 Oktober 2008 memberi landasan hukum wewenang KSSK menangani bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik.
Pasal 11 ayat 5 UU No 3/2004 tentang Bank Indonesia (BI) mengamanatkan ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan atas bank gagal berdampak sistemik diatur UU tersendiri, yang seharusnya terbentuk akhir tahun 2004.


Walau terlambat 4 tahun, Perppu No 4/2008 dimaksudkan mengisi kekosongan hukum tentang pengertian dampak sistemik. Tetapi begitu Perppu ditolak DPR periode 2004-2009 pada 18 Desember 2008, kewenangan KSSK dan definisi dampak sistemik tidak lagi memiliki dasar hukum.
Pemerintah, seperti disampaikan Menteri Keuangan dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR, 27 Agustus 2009, menganggap Perppu itu masih berlaku. Alasannya, surat Ketua DPR pada 24 Desember 2008 tentang Keputusan Sidang Paripurna DPR 18 Desember hanya meminta pengajuan RUU JPSK sebelum 19 Januari 2009. Tidak ada pernyataan apakah Perppu JPSK disetujui atau tidak menjadi UU.
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memberi hak kepada Presiden menerbitkan Perppu apabila terdapat sesuatui kegentingan yang memaksa. Walau pengertian “kegentingan yang memaksa” dapat menjadi perdebatan hukum tata negara yang terpisah, UUD jelas memberi peluang kepada Presiden membuat UU bersifat sementara dalam bentuk Perppu sampai disetujui DPR.
Bila disetujui, Perppu itu langsung menjadi UU dan semua norma di dalamnya—termasuk norma dampak sistemik—menjadi hukum negara. Semua kebijakan pemerintah yang diambil berdasarkan norma itu berkekuatan hukum.
Pasal 31 RUU JPSK yang diajukan pemerintah mengusulkan Perppu 4/2008 baru dinyatakan dicabut apabila RUU disetujui menjadi UU. Artinya, pemerintah menganggap Perppu itu belum ditolak DPR dan masih terus berlaku. RUU tentu berbeda dengan Perppu.
Sebelum disahkan menjadi UU, RUU tidak berkekuatan hukum karena masih bersifat usulan. Perppu walaupun belum disetujui sampai masa sidang DPR berikutnya, memiliki kekuatan hukum.
Begitu tidak disetujui DPR, dasar hukum Perppu hilang. Pemerintah menambah argumentasi penyelamatan Bank Century dengan menggunakan UU No 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pasal 21 ayat (3) UU 24/2004 menyatakan bahwa LPS melakukan penanganan bank gagal berdampak sistemik setelah Komite Koordinasi (terdiri dari Menteri Keuangan, LPP, Bank Indonesia dan LPS) menyerahkan penangannya kepada LPS.
Karena norma dampak sistemik Perppu JPSK tidak menjadi UU, keputusan Komite Koordinasi tentang penanganan bank gagal berdampak sistemik juga tidak memiliki dasar hukum. Inilah titik kontroversi pertama terkait bailout Bank Century.
DPR, melalui Komisi XI, justru berpendapat karena sidang paripurna 18 Desember 2008 tidak memberi persetujuan, semua kebijakan KSSK atau Komite Koordinasi terkait penyelamatan Bank Century menjadi tidak sah.
Sebagian pendapat menyatakan antara 15 Oktober sampai 18 Desember, di mana keputusan atas Bank Century terjadi 21 November, dianggap sah karena Perppu masih berlaku sebagai UU (sementara).
Tetapi tindakan meneruskan kebijakan bailout setelah 18 Desember tidak memiliki dasar hukum (ilegal). Dengan pandangan ini, menurut DPR, suntikan dana yang terus dilakukan bahkan setelah keputusan DPR tidak menyetujui Perppu yang mencapai Rp 6,7 triliun menjadi masalah hukum yang layak dipertanggungjawabkan.
Walau surat Ketua DPR hanya meminta ajuan RUU JPSK, karena Perppu tidak diterima, Pemerintah seharusnya juga mengajukan RUU tentang Pencabutan Perppu No 4/2008 yang sekaligus mengatur segala akibat yang terjadi karena Perppu ditolak.
Justru bila RUU Pencabutan Perppu diajukan sebagian akibat hukum dari suntikan dana ke Bank Century mungkin dapat diminimalkan. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 25 ayat (3) dan (4) serta Pasal 36 ayat (2), (3) dan (4) UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sikap pemerintah yang mengusulkan Pasal 31 RUU JPSK di mana pencabutan Perppu JPSK dilakukan saat RUU JPSK disahkan menjadi UU bertentangan dengan UU No 10/2004. Kita berasumsi pemerintah mengetahui dan selayaknya melaksanakan ketentuan yang berlaku dalam UU No 10/2004. Ini menjadi titik kontroversi kedua.
Politik transparansi
Keputusan DPR meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan investigasi untuk tujuan tertentu pada dasarnya merupakan langkah politik DPR untuk menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.
LPS, BI atau lembaga lain yang mengelola keuangan negara yang dianggap terkait dalam kasus Bank Century menjadi objek pelaksanaan tugas dan wewenang BPK. Laporan sementara BPK yang disampaikan ke DPR pada 26 September 2009 menyatakan ada dugaan unsur pidana dalam penyelamatan Bank Century, karena itu dinyatakan bersifat rahasia.
Bila BPK yakin ada temuan pidana, Pasal 8 ayat (3) UU BPK menegaskan bahwa BPK berkewajiban melaporkan paling lambat satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut kepada instansi yang berwenang, seperti Kejaksaan bila terkait kejahatan perbankan dan/atau ke KPK bila ditemui unsur korupsi. Ayat (4) UU BPK mengamanatkan temuan BPK itu menjadi dasar penyidikan penyidik di Kejaksaan maupun KPK.
Bila proses politik yang dilakukan DPR masuk ke wilayah penegakan hukum, sesungguhnya tugas DPR dalam menegakkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara relatif selesai dalam konteks kasus Bank Century.
Hak Angket yang kini diusulkan sejumlah anggota DPR sebenarnya masuk wilayah politik. Tentu kita berharap pelaksanaan hak angket bila nanti disetujui maupun audit investigasi BPK bukan untuk mencari kesalahan tetapi lebih untuk menegakkan disiplin pengelolaan keuangan negara sehingga tidak seorangpun di negara ini dapat lolos dari jerat hukum bila lalai atau sengaja melakukan kesalahan. - 


Oleh : Harry Azhar Azis/Ketua Badan Anggaran, anggota Komisi XI DPR /JIBI/Bisnis Indonesia
Opini Solo Pos 23 November 2009