24 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Ambiguitas Sikap Presiden

Ambiguitas Sikap Presiden

SAYA sejak semua memang sudah pesimis bahwa Presiden akan bersikap tegas dan menyatakan sikapnya secara langsung berkaitan masalah yang sedang menimpa kedua pimpinan nonaktif  Bibit Somad Rianto dan Chandra M Hamzah. Dan, sepertinya saya terjawab karena alih-alih untuk mengambil keputusan atau sikap justru Presiden tidak bersikap, karena sikapnya mengambang alis tidak jelas.

Dalam pernyataan Presiden memang ada petunjuk yang mengesankan ia tidak menginginkan kasus yang sedang menimpa kedua pimpinan KPK nonaktif tersebut tidak diteruskan ke Pengadilan. Hal itu bisa dipahami dari pernyataannya yang menegaskan bahwa semula ia menghendari agas kasus hukum berjalan sebagaimana mestinya. Dalam arti, hakim di pengadilanlah yang akan memutuskan apakah bersangkutan bersalah atau tidak. Ungkapan Presiden masih dilanjutkan dengan pernyataan yang menegaskan bahwa ia setelah memperhatikan asas keadilan, kepentingan umum, dan lain-lain serta setelah melakukan konsultasi dengan Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Di Luar Pengadilan Selanjutnya, Presiden agar kasus tersebut tidak dibawa kepada pengadilan. Teknisnya diserahkan kepada Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Dengan pernyataan itu, sekilas kita  akan berpendapat mengatakan bahwa jika berkas masih di Kepolisian agar dikeluarkan SP3 dan apabila sudah di Kejaksaan Agung agar dikeluarkan SKPP (Surat Ketetapan Penghentikan Penuntutan).

Namun, pemahaman kita yang mengarah kepada SP3 dan SKPP tersebut menjadi kabur alias ketika Presiden kemudian mengatakan sebagaimana ia sering ungkapkan sebelumnya tidak akan masuk ke ranah hukum, karena SP3 merupakan kewenangan Kepolisian dan SKPP merupakan kewenangan Kejaksaan Agung. Walhasil, dengan penegasan berkaitan dengan ketiadaan kewenangannya tersebut menjadikan masalah kasus yang melibatkan Bibit dan Chandra tidak jelas.

Bagi pihak yang mengatakan bahwa Presiden menghendaki kasus tersebut dihentikan agar berargumen dengan petikan pernyataan Presiden melalui ungkapan ‘pada mulanya’ serta Rekomendasi Tim Delapan, pandangan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Dr Mahfudz MD, dan sejumlah tokoh nasional seperti Jimly dan lain-lain yang telah menyarankan agar kasus tersebut dihentikan. Namun, bagi pihak yang tetap bersikukuh agar kasus tersebut dibawa  ke Pengadilan seperti Kepolisian. Kejaksaan Agung akan berargumen dengan penekanan Presiden bahwa ia tidak berwenang dan bahwa penghentian kasus ada di pihak SP3 dan SKPP masing-masing berada di Kepolisian dan Kejaksaan Agung.

Walhasil pernyataan Presiden yang dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah justru membuat persoalan semakin tidak jelas, karena jika ia tidak menindaklanjuti dengan perintah yang lebih riil kepada Kepolisian dan Kejaksaan Agung pernyataannya hanya akan menjadi argumen debat kusir semua pihak yang berseberangan. Oleh sebab itu, Presiden harus menyertai pernyataan yang masih kabur itu dengan tindakan riil agar persoalan yang sedang menjadi sorotan banyak pihak segera berakhir.
Fatsun Budaya Jawa Sebenarnya, sikap Presiden jika dilihat dari kaca mata Jawa sebenarnya tidak terlalu sulit untuk memahaminya. Ada dua petunjuk yang dapat dugunakan untuk memahami keinginan Presiden.  Pertama, kebijakannya dalam membentuk Tim 8 sebenarnya sudah dapat ditafsir bahwa ia sesungguhnya menginginkan masalah tersebut tidak berlanjut. Atau paling tidak, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Untuk itu, ia menugaskan Tim Delapan mencari ketidakberesan itu. Pihak Kepolisian dan Kejaksaan Agung, jika menangkap fatsun budaya Jawa itu semestinya cepat merespons bahwa kedua lembaga itu sedang disorot dan cepat mengakui kesalahan yang telah terjadi.

Kedua pernyataannya berkaitan dengan masalah kasus Bibit dan Chandra. Melalui ungkapan pada mulanya sebenarnya sudah dapat ditafsirkan bahwa ia setuju dengan rekomendasi Tim Delapan agar kasus tersebut dihentikan. Namun, ia tidak mau mengambil resiko serangan balik dari orang-orang yang menolak penyelesaian kasus melalui SP3 dan SKPP. Makanya, ia melempar balik masalah kepada Polri dan Kejaksaan Agung agar melaksanakan kewenangannya.

Berdasarkan dua petunjuk itu, dalam konteks budaya Jawa sesungguhnya jelas, yaitu agar pihak penyidik dan jaksa penunutut segera betindak sesuai kewenangannya masing-masing. Namun, karena keinginan tersebut samar, pihak penyidik dan penuntut merasa tidak ada petunjuk agar masing-masing menggunakan penerbitan SP3 dan SKPP. Walhasil, Presiden sebenarnya ingin cuci tangan dari kasus ini.  Kita lihat saja kelangsungan masalah ini sikap Presiden apa sesungguhnya. Jika ia membiarkan masalah Bibit dan Chandra berarti memang tidak jelas. Sebab sekiranya menginginkan kasus tersebut berhenti, jika anak buahnya tidak mengerti fatsun budaya Jawa harus bertindak dengan bahasa yang terang. (80)

—Dr Mahmudi Asyari, pemerhati masalah politik
Wacana Suara Merdeka 25 November 2009