24 November 2009

» Home » Kompas » Ilmuwan yang Guru, Masihkah Diperjuangkan?

Ilmuwan yang Guru, Masihkah Diperjuangkan?

Sekitar 20 tahun lalu, cita-cita melahirkan ilmuwan guru dicetuskan melalui sebuah kebijakan dramatis, yakni menghapus Sekolah Pendidikan Guru.
Sekolah kejuruan menengah untuk calon guru sekolah dasar ini dinilai tidak dapat lagi menjawab kebutuhan akan guru profesional. Guru SD disyaratkan berpendidikan setidaknya diploma dua, lebih disukai sarjana.
Namun, persyaratan itu tidak berlaku lama. Sekitar tahun 1993, cita-cita melahirkan ilmuwan berjiwa guru diperkuat oleh kebijakan pemerintah mentransformasi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) menjadi universitas. Sejak itu, guru diharapkan tidak hanya berpendidikan sarjana. Guru harus lahir dari proses pendidikan keilmuan di universitas yang dipungkasi penguasaan ilmu keguruan. Transformasi IKIP ke universitas mempertegas syarat bahwa guru pertama-tama adalah ilmuwan.


Kini, 20 tahun setelah cita-cita itu dicanangkan, kita belum menyaksikan hadirnya sosok ilmuwan yang guru. Memang ada sejumlah kemajuan kebijakan pemerintah untuk memprofesionalkan kompetensi guru sesuai amanah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU GD). Namun, belum tampak karakteristik keunggulan profesional guru yang diimpikan itu.
Yang mudah diamati justru hilangnya sosok guru ilmuwan yang dulu lahir dari proses pendidikan di IKIP dan SPG. Penting diingat, meski ada anggapan bahwa kadar penguasaan ilmu bidangnya rendah, lulusan IKIP dan SPG mampu menunjukkan kompetensi keguruan secara relatif purna.
Jadi, sementara belum mendapatkan ilmuwan dengan profil guru seperti dicita-citakan, kita telah kehilangan sosok guru yang unggul dalam menjalankan tugas kependidikan meski kompetensi profesionalitasnya dipandang sederhana. Kini kita menghadapi problem lowongnya sosok-mumpuni guru itu.
Tanpa beromantika tentang sosok guru ilmuwan keluaran IKIP maupun SPG, mungkin kita perlu menelisik sejauh mana profesionalisasi guru yang sedang dijalankan seturut amanah UU GD telah dan akan melahirkan guru-guru unggul.
Terjebak sertifikasi
Sesuai semangat UU GD, guru profesional diharapkan lahir melalui proses pendidikan sarjana di universitas dilanjutkan pendidikan profesi. Sertifikasi hanya salah satu tahap profesionalisasi guru.
Sejauh ini, hiruk pikuk profesionalisasi baru mencakup sertifikasi. Kita terjebak aneka masalah teknis sertifikasi dan belum secara nyata melangkah pada pewujudan konsepsi guru profesional secara menyeluruh.
Sejumlah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) telah ditunjuk sebagai pelaksana sertifikasi. Namun, belum jelas tugas khusus LPTK dalam pengembangan program pendidikan sarjana yang tersambung ke program profesi guru.
Apakah skema 3+1 (3 tahun ilmu murni, 1 tahun ilmu keguruan) diberlakukan dalam kurikulum LPTK? Apakah sarjana keguruan dibedakan dari sarjana ilmu murni dalam program profesi yang harus ditempuh?
Selain itu, adakah skema keterkaitan khas antara program sarjana dan profesi keguruan dengan program magister keguruan yang pembukaannya ditawarkan Direktorat Pendidikan Tinggi?
Singkat kata, masih banyak hal yang harus dipikirkan dan dilakukan selain sertifikasi. Perhatian intensif harus segera dicurahkan untuk memulai program- program pendidikan guru profesional. Kita tidak dapat menunggu hingga seluruh 2,7 juta guru tersertifikasi.
Di sisi lain, proses sertifikasi mungkin perlu dibuat lebih ringkas dan sederhana, khususnya untuk guru (termasuk honorer) dengan pengalaman mengajar dan mereka yang bertugas di daerah terpencil. Harus ada ketentuan pengecualian. Misalnya, guru berijazah SPG atau D-2 PGSD yang pengalamannya mengajar minimal 10 tahun, disetarakan dengan sarjana (sebut saja ”sarjana honoris causa”) dan langsung disertifikasi.
Berdasarkan fakta, banyak guru lebih termotivasi secara finansial daripada profesional dalam mengikuti sertifikasi (Kompas, 13/11) harus dilihat sebagai dampak penutupan IKIP dan SPG. Sejak penutupan dua institusi itu, kita kehilangan imajinasi tentang sosok guru yang mumpuni secara formal dan kompeten dalam menjalankan praktik pendidikan.
Menalar kompetensi
Lepas dari itu, kita perlu mencermati empat kompetensi guru yang disyaratkan UU GD, yakni kompetensi pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian.
Kompetensi profesional ditekankan sebagai upaya menjawab tantangan global standardisasi pendidikan. Di sisi lain, kompetensi sosial dan kepribadian diharapkan menumbuhkan karakter guru Indonesia yang sadar local wisdoms.
Secara keseluruhan, keempat kompetensi itu memiliki cakupan lebih luas daripada penguasaan didaktik metodik (kompetensi pedagogis) yang merupakan kekhasan guru keluaran IKIP dan SPG.
Meski demikian, dimasukkannya kompetensi sosial dan kepribadian sebagai syarat formal profesionalnya seorang guru adalah absurd. Dalam kenyataan, operasionalisasi kompetensi sosial dan kepribadian banyak terkait standar moral, etika, dan nilai yang secara keseluruhan sangat subyektif dan situasional.
Dimasukkannya kompetensi sosial dan kepribadian sebagai syarat formal mengasumsikan bahwa pengukuran kuantitatif kedua kompetensi itu dapat merepresentasikan fakta yang tergeneralisasi. Asumsi ini keliru.
Kompetensi sosial dan kepribadian adalah bagian craft knowledge keguruan yang lazimnya tidak diajarkan secara formal, tetapi tumbuh seiring pengalaman mengajar dan role modelling sosial.
Menurut saya, kedua kompetensi ini harus direvisi agar kita tidak terjebak perspektif positivistik kaku yang menganggap semua aspek perilaku, termasuk moralitas dan spiritualitas, dapat dikuantifikasi.

Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM
Opini Kompas 25 November 2009