Kisruh penegakan hukum di Indonesia akhir-akhir ini ternyata tidak hanya berkutat pada institusi penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi sudah merembet pula ke dalam dunia pers.
Selama dua bulan terakhir ini paling tidak ada beberapa kasus hukum yang telah memasuki ranah hukum pers. Hal itu dimulai dengan wacana pencemaran nama baik melalui pers, menyusul dibukanya kembali penyidikan terhadap dua aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari. Mereka dijerat dengan pasal-pasal dalam KUHP terkait berita di harian Rakyat Merdeka edisi 5 Januari 2009 yang mempersoalkan klaim Kejaksaan Agung yang mengaku berhasil menyelamatkan uang negara Rp8 triliun.
Kemudian adanya wacana larangan siaran langsung oleh media menyusul persidangan Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang di dalamnya dakwaan jaksa penuntut umum dinilai vulgar. Selanjutnya pemanggilan redaktur pelaksana harian Seputar Indonesia (SI) dan Kompas berkaitan dengan transkrip rekaman pembicaraan Anggodo Widjaja dengan sejumlah petinggi Polri dan Kejaksaan Agung yang dimuat oleh kedua media tersebut. Bagaimana pemberitaan media terhadap suatu kasus hukum dalam perspektif hukum pidana? Tulisan ini mencoba mengulasnya.***
Pertama-tama perlu dipahami bahwa ada empat syarat untuk menjamin objektivitas peradilan, termasuk peradilan pidana. Pertama, pemeriksaan sidang dilakukan oleh hakim majelis. Kedua, putusan hakim disertai dengan pertimbangan-pertimbangan. Ketiga, adanya hak ingkar terdakwa dan yang keempat adalah sidang pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum. Dalam kaitannya dengan syarat yang keempat, peranan pers sangat penting berfungsi sebagai kontrol sosial.
Bahkan yang dapat dilakukan oleh pers tidak hanya pada tahap akhir dalam sistem peradilan pidana, yakni pemeriksaan sidang, tetapi pengawasan tersebut sudah bisa dimulai sejak tahap penyidikan. Dengan demikian kritikan terhadap pers yang memberitakan kasus-kasus hukum secara gamblang sama sekali tidak berdasar. Selanjutnya terkait pemberitaan pers yang dianggap mencemarkan nama baik.
Kendatipun merupakan dua hal yang berbeda antara pemberitaan pers dan pencemaran nama baik, kedua hal tersebut tidaklah dapat dipisahkan karena dalam konteks hukum pidana, delik pers selalu dikaitkan dengan pasal-pasal pencemaran nama baik. Dalam KUHP, secara garis besar substansi pencemaran nama baik terdapat dalam beberapa pasal. Pertama, kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP.
Kedua, kejahatan terhadap penguasa umum, Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP, serta kejahatan terhadap ketertiban umum yang termuat khususnya pada Pasal 154-Pasal 157 KUHP yang dikenal dengan pasal-pasal penyebar kebencian atau hatzaai artikelen. Objek pasal-pasal tersebut adalah penguasa atau badan umum, pemerintah atau golongan penduduk Indonesia. Ketiga adalah belediging atau penghinaan yang diatur dalam Pasal 310-Pasal 321 KUHP.
Terhadap substansi pencemaran nama baik yang menyangkut martabat presiden dan wakil presiden, sejumlah pasal tersebut di atas telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara pasal-pasal penghinaan terhadap penguasa atau badan umum dan pasal-pasal penyebar kebencian serta yang berkaitan dengan penghinaan masih tetap dipertahankan. Terkait dengan pasal-pasal penghinaan terhadap penguasa atau badan umum dan pasal-pasal penyebar kebencian, sudah selayaknya hal itu dihapus.
Pasal-pasal tersebut berasal dari Code British yang diberlakukan oleh penjajah Inggris di India. Pasal-pasal itu kemudian diadopsi oleh Belanda dan diterapkan secara concordantie beginselen di daerah jajahannya, Indonesia. Di daerah asalnya sendiri, Belanda telah menghapus pasal-pasal ini dari KUHP-nya lebih dari 50 tahun silam sebagai pengejawantahan kritik para pakar hukum pidana di sana, antara lain JM van Bemellen.
Menurutnya, pasal-pasal tersebut tidak sesuai di era kemerdekaan dan merintangi demokrasi dalam hal kebebasan mengeluarkan pendapat dan berbicara. Namun berkaitan dengan belediging (penghinaan) sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 310-Pasal 321 KUHP masih tetap dipertahankan. Belediging ini bisa bermacam-macam wujudnya. Ada yang menista, termasuk menista dengan tulisan. Ada yang memfitnah, melapor secara memfitnah dan menuduh secara memfitnah.
Hampir di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat yang selalu mengklaim dirinya sebagai negara yang demokratis, pasal-pasal yang berkaitan dengan penghinaan tetap dipertahankan. Alasannya, hasil dari penghinaan dalam wujud pencemaran nama baik adalah character assassination dan hal ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi Indonesia, pasal-pasal penghinaan ini tetap dipertahankan dengan alasan selain hasil dari pencemaran nama baik adalah character assassination, pencemaran nama baik juga dianggap tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya timur.
Oleh sebab itu, pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk rechtsdelicten dan bukan wetdelicten. Artinya, pencemaran nama baik sudah dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan sebelum dinyatakan dalam undang-undang karena telah melanggar kaidah sopan santun. Bahkan, lebih dari itu, pencemaran nama baik dianggap melanggar norma agama jika dalam substansi pencemaran tersebut terdapat fitnah.***
Terkait dengan pemberitaan pers yang dianggap sebagai mencemarkan nama baik, ada beberapa catatan. Pertama, orang yang disangkakan mencemarkan nama baik harus diberi kesempatan membuktikan pernyataannya dan harus diingat bahwa pernyataan yang bersifat menghina adalah pernyataan pribadi. Kedua, pernyataan tersebut ditujukan kepada orang per orang dan bukan suatu institusi karena sifat dari pencemaran nama baik adalah subjektivitas korban. Ketiga, pernyataan yang dianggap menghina dimuat dalam pemberitaan media sehingga tidak terlepas dari delik pers.
Dalam relevansinya dengan delik pers, Van Hattum memberikan tiga kriteria, yaitu harus dilakukan dengan barang cetakan. Perbuatan yang dipidanakan harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan yang dapat dipidana dan dari rumusan delik ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk dapat membuktikan suatu kejahatan jika suatu kejahatan itu dilakukan dengan tulisan (Umar Seno Adji dalam Jeremias Lemek 2007).
Dengan demikian untuk menentukan ada tidaknya pencemaran nama baik melalui pers harus dilihat dari isi berita itu dan dibandingkan dengan isi berita yang sama pada media cetak lain. Solusi konkret untuk menengarai masalah pencemaran nama baik melalui pers, perubahan terhadap undang-undang pers mutlak dilakukan. Pertama, pencemaran nama baik melalui pers tidak lagi sebagai bagian dari ranah hukum pidana, tetapi cukup pada ranah hukum perdata.
Kedua, sebagai penyeimbang di era kebebasan memperoleh informasi dewasa ini, korban yang merasa dicemari nama baiknya melalui suatu pemberitaan wajib menyampaikan jawaban. Jika jawaban tersebut tidak dimuat oleh perusahaan pers yang bersangkutan, gugatan perdata tidak hanya ditujukan kepada pelaku, tetapi juga terhadap perusahaan pers tersebut.
Semoga tulisan ini dapat memberi pencerahan kepada para aparat penegak hukum untuk tidak menggunakan pasal-pasal pencemaran nama baik secara serampangan dalam rangka membungkam kebebasan berbicara, terlebih yang berkaitan dengan kritik terhadap kinerja aparat negara. Jika pasal-pasal karet tersebut menjadi instrumen hukum yang represif dengan disalahgunakan, sangat mungkin terjadi social disobedience. Indonesia telah merdeka, tetapi aparat penegak hukumnya masih bermental kolonial.(*)
Eddy OS Hiariej
Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
Opini Okezone 24 November 2009
24 November 2009
(Delik) Pers dan Pencemaran Nama Baik
Thank You!