27 Oktober 2009

» Home » Suara Merdeka » Pesantren, Masihkah Pesantren?

Pesantren, Masihkah Pesantren?

Ketika zaman raja-raja menguasai Nusantara dan tanah Jawa, kaum santri pesantren waktu itu diberi keistimewaan berupa ’’tanah perdikan’’, menjadi pemangku adat dan keistimewaan lain. Menjadi kaum santri pesantren masa itu tergolong ’’elite’’

Dahulu seorang kiai pesantren kerap mengunjungi asrama dan ke kamar santri-santri untuk memperbincangkan segala perkara yang dihadapi —laik bahsul masail— baik yang ilmiah maupun amaliah, di samping akrab dengan masyarakat sekitar pesantren. Hubungan masyarakat dan pesantren pun begitu erat, dekat, begitu menyatu.

Dari suasana itulah lahir pemikir-pemikir yang kompeten seperti; Kiai Nawawi (Tanara, Banten; 1815-1897), Kiai Ihsan (Jampes, Kediri), Kiai Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang; 1871-1947),

Kiai Ali Maksum (Krapyak, Yogjakarta; 1915-1989), Kiai Bisri Mustofa (Rembang; 1915-1977), dan kiai-kiai lain, yang karya-karyanya hingga kini masih ’’ngetop’’. Karya-karya mereka berupa kitab-kitab, catatan-catatan hikayat, dan syiiran. Reputasi intelektualnya pun tinggi di kancah dunia.

Kiai Nawawi, selain seorang ulama, beliau juga pengarang ulung, sejumlah 411 kitab yang terdiri atas ajaran moral Islam (ilmu bahasa, hadis, akhlak), teologi (ilmu tafsir, fikih, ushul fiqh), dan mistisisme (tasawuf). Karya-karyanya menjadi bekal bagi generasi ulama berikutnya —seperti Kiai Hasyim Asy’ari,

Abdullah Wahab Hasbullah, Ahmad Dahlan dan sebagainya. Begitu besar jasa Kai Nawawi dalam pengembangan dakwah Islam, ia memeroleh gelar sayyid ulama Hijaz dan namanya pun tercantum dalam kamus Al-Munjid karya Louis Ma’luf —sebuah kamus berbahasa arab yang dikenal dunia paling lengkap.
Paro 1899 Kiai Hasyim Asy’ari —selepas belajar dari Kiai Nawawi— membeli sebidang tanah dan membangun pesantren di atasnya.

Pesantren baru yang awalnya sangat sederhana yang terbuat dari bambu itu dikembangkan bersama delapan santri hingga kini pesantren itu dikenal dengan nama Pesantren Tebuireng. Dari tahun ke tahun pesantren itu mengalami perkembangan pesat.

Pada 40-an di Pulau Jawa terdapat sekitar 25.000 ulama dan kiai, sebagian besar para kiai itu ternyata pernah menjadi santri di Tebuireng, bahkan para kiai yang kemudian mendirikan pesantren baru (pesantren-pesantren yang terkemuka saat ini) seperti Pesantren Lasem, (Rembang), Pesantren Darul Ulum, Pesantren Mambaul Maarif (Jombang), Pesantren Lirboyo (Kediri),

Pesantren Asam Bagus (Situbondo), dan Pesantren Krapyak (Yogyakarta), dan Pesantren-pesantren lainnya. Karena jasanya itulah kiai Hasyim Asy’ari kemudian mendapat gelar kiai agung atau hadratussyeikh.
Bentuk Ideal Sebagai tokoh dan pimpinan gerakan Islam di Indonesia dan untuk mengenang jasa dan pengabdiannya kepada tanah air, Presiden Soekarno melalui Keppres No 294 tahun 1964 menetapkan KH Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional.
Pesantren adalah miniatur Indonesia.

Di sinilah tempat bertemu keanekaragaman budaya yang dibawa masing-masing santri sekaligus pencetak kader ulama.

Maka dibekali ilmu bermasyarakat. Namun, kiai pesantren sekarang agaknya lupa dengan bentuk ’’ideal’’ yang pernah dipunyai.

Dalam catatan sejarah, pesantren dinilai tidak hanya mengandung makna keislaman, melainkan juga mengandung makna keaslian Indonesia.

Kenyataan ini tidak lepas dari proses panjang islamisasi yang dilalui, bahwa pesantren ikut terlibat di dalamnya. Selama proses tersebut pesantren dengan ’’canggih’’ telah melakukan akomodasi dan tranformasi sosio-kultural terhadap pola kehidupan masyarakat sekitar.

Kelebihan pesantren antara lain; pertama; sistem pondoknya yang memungkinkan pendidik (kiai) melakukan tuntunan dan pengawasan langsung pada santrinya, kedua; keakraban antar santri dan kiai yang sangat kondusif bagi pemerolehan pengetahuan yang hidup, ketiga; kemampuan pesantren mencetak lulusan yang punya kemandirian, keempat; kesederhanaan pola-gaya hidup komunitas pesantren, kelima; murahnya biaya pengajaran dan pendidikan yang diselenggarakan.

Maka begitu efisien dan efektifitasnya, pendidikan yang terselenggara di pesantren tersebutlah ia sebagai akar keindonesiaan.
Eksodus Kiai
Islam dan seluruh ajarannya adalah politik atau syiasah. Seorang ’’imam’’ atau kiai bertugas menyejahterakan umat, dalam kaidah dasar syariat;

’’Tashararful-imam , alariyyah manutun bil-maslahah’’, apa yang disebut politik ’’kekuasaan’’ adalah apa yang ’’diamanatkan’’ Islam mengingat Islam berdiri di atas dua hal; yakni kedaulatan (kekuasaan) dan kebudayaan.

Pesantren sendiri adalah produk budaya, dan yang dilakukan pesantren adalah kerja-kerja budaya.

Fenomena eksodusnya para kiai menuju politik praktis disinyalir Zainal Arifin Thoha (almarhum) sebagai pertanda runtuhnya singgasana kiai, hal ini disebabkan karena para kiai itu, kini sudah banyak yang meninggalkan dunia pesantren bahkan meninggalkan kerja-kerja sosio-kultural, pemberdayaan dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya.

Barangkali tidak berlebihan jika A. Mustofa Bisri menyebut; ’’kiai, kemaruk politik’’.

Jika dahulu pesantren adalah institusi keagamaan, keilmuan, dan pendidikan kemasyarakatan, kini identitas itu luntur, berubah dan bergeser lantaran peran pesantren berganti menjadi lembaga penyembuhan, biro jodoh, dan bahkan mesin politik partai penggerak massa. Jadi, pesantren (hari ini) masihkah pesantren? (35)

—Imam Hamidi Antassalam, Alumnus Pesantren Krapyak, Yogyakarta
Wacana Suara Merdeka 28 Oktober 2009