27 Oktober 2009

» Home » Kompas » Pesan Presiden

Pesan Presiden

Dalam rapat kabinet pertama setelah pelantikan menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, Presiden menyampaikan sejumlah pesan.
Terkait hal itu, Kompas (24/10) menurunkan berita ”Kode Etik Kabinet: Menteri, Jangan Lupa Perilaku”.
Salah satu pesan Presiden yang dikutip adalah ”Pahami dan implementasikan tata kerja dan mekanisme. Pahami garis koordinasi. Saudara punya atasan, punya bawahan, kawan di samping untuk berkoordinasi. Saudara ada dalam sistem.”


Pesan Presiden diamini Wakil Presiden yang mengatakan, sekali Presiden mengambil putusan, Wapres dan menteri-menteri harus mengikuti.
Pesan yang disampaikan Presiden terkait pengambilan putusan yang didasarkan garis komando dan koordinasi dalam suatu organisasi. Dalam pesannya Presiden hendak menegaskan, dalam kabinet, menteri hanya pembantu yang mengeksekusi keputusan.
Dalam mekanisme kerja seperti ini, Presiden tak menghendaki adanya lebih dari satu matahari di dalam kabinet. Keputusan ditentukan siapa yang memiliki jabatan struktural tertinggi meski dalam proses mengambil keputusan terdapat sejumlah opsi. Presiden sebagai penentu kebijakan tentu mempunyai kedudukan struktural yang lebih tinggi dari para menteri.
Para menteri baru yang tidak berlatar belakang birokrasi tentu harus beradaptasi dengan mekanisme kerja demikian. Para profesional yang berlatar belakang akademis akan menemui kesulitan. Hal ini mengingat mereka terbiasa dengan pendapatnya sendiri. Demikian pula dengan para menteri baru yang berasal dari parpol. Mereka harus menyesuaikan diri dengan ”matahari” baru. Ini karena mungkin di parpol mereka adalah mataharinya. Atau platform parpol berbeda dengan platform di pemerintahan.
Ego sektoral
Pesan Presiden dalam perjalanan lima tahun usia kabinet bisa jadi tidak diabaikan. Penyebab utamanya adalah ego sektoral. Ego sektoral dapat muncul dari persepsi menteri itu sendiri terhadap suatu isu, masukan dari birokrasi yang dipimpin, kepentingan komunitas yang ada di bawah kendali menteri, bahkan tekanan dari parpol di mana menteri berasal.
Dari pengalaman pada kabinet-kabinet sebelumnya, banyak isu yang mengakibatkan antarmenteri terjadi konflik. Di antara isu ini adalah isu cost recovery antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Menteri Keuangan. Demikian pula isu menteri mana yang paling berhak menandatangani perjanjian pinjaman luar negeri yang muncul antara Menteri Keuangan dan Menteri Luar Negeri.
Ada juga isu perlindungan lingkungan yang mengakibatkan beda perspektif antara Menteri Negara Lingkungan Hidup dan menteri teknis seperti Menteri Kehutanan dan Menteri ESDM.
Konflik isu
Dalam menghadapi ”konflik” isu antarmenteri, peran menteri koordinator (menko) menjadi penting. Menko menjadi tempat untuk mendengarkan argumentasi dari berbagai perspektif.
Selanjutnya menko harus dapat mengambil keputusan. Namun, bila putusan harus diambil oleh Presiden, menko harus dapat merumuskan alternatif kebijakan yang didasarkan pada argumentasi para menteri.
Ketika putusan telah diambil, baik di tingkat menko atau presiden, para menteri harus tunduk kepada putusan itu. Menteri yang argumentasinya tidak terakomodasi tentu tidak mudah untuk tunduk kepada putusan yang telah diambil.
Dari pengalaman masa lampau ada sejumlah upaya yang dilakukan para menteri. Menteri yang dekat secara pribadi dengan Presiden akan berupaya meyakinkan kembali berdasarkan kedekatannya. Bahkan, ada menteri yang memanfaatkan para akademisi, pers, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyuarakan perspektifnya.
Cara-cara seperti ini tentu tidak sehat. Ini yang akan mengakibatkan tidak berjalannya sejumlah program yang telah dicanangkan Presiden dan Wakil Presiden pada masa kampanye.
Para menteri harus dapat memaknai secara mendalam pesan Presiden bahwa dalam kabinet, mereka tidak lebih sebagai pembantu Presiden. Mereka harus dapat bekerja sebagai tim dan tidak memiliki keinginan untuk menonjolkan diri atau kepentingannya.
Meski demikian, konsekuensi dari pesan Presiden tentu tidak hanya tertuju kepada para menteri. Pesan itu juga berimplikasi pada Presiden dan Wapres. Sebagai pengambil keputusan tertinggi di kabinet, Presiden dan Wapres harus dapat cepat mengambil keputusan saat terjadi konflik atau potensi konflik isu antarkementerian. Bila tidak, jangan salahkan menteri jika mereka menemukan matahari di dalam kabinet, bahkan menjadikan dirinya matahari bagi anggota kabinet yang lain.
Hikmahanto Juwana Guru Besar Ilmu Hukum FHUI, Jakarta
Opini Kompas 27 Oktober 2009