AKHIRNYA Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memenuhi janjinya untuk terus meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di kabinetnya sebagai wujud komitmen politiknya terhadap pentingnya keterwakilan perempuan. Lima perempuan yang terpilih adalah putri-putri terbaik bangsa ini. Itu juga menunjukkan keberpihakan SBY dalam usaha-usaha yang dilakukan kelompok perempuan untuk memperbaiki kehidupan bangsa dan khususnya kaum perempuan. Dua di antara anggota kabinet baru itu telah membuktikan kemampuan mereka membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik, setidaknya diukur dari kemajuan ekonomi makro meski harus tetap dicatat bahwa dari segi indeks pembangunan manusia (IPM), kita terjerembab tiga poin dalam tiga tahun terakhir ini dan masih menghadapi berbagai persoalan yang menuntut untuk segera diatasi. Penunjukan perempuan untuk menduduki pos baru di kabinet, yakni Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas merupakan peneguhan akan komitmen politik SBY atas pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga pengambilan keputusan yang strategis. Dapat dikatakan penempatan lima perempuan pada posisi penting di kabinet SBY merupakan harapan di antara keraguan yang ada di tengah masyarakat.
Meski tidak menyebut secara spesifik soal keadilan gender atau pemberdayaan perempuan dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober yang lalu, setidaknya terdapat empat hal pokok yang akan dicapai dalam lima tahun mendatang, yakni kesejahteraan rakyat, demokrasi, keadilan serta politik luar negeri. Tiga bidang yang pertama sarat dengan kepentingan dan kebutuhan perempuan saat ini mengingat bahwa lebih dari separuh penduduk miskin adalah perempuan. Jika bicara soal demokrasi dalam arti keterwakilan perempuan di berbagai bidang masih sangat rendah meski menunjukkan gerak naik menembus silk ceiling
. Kebijakan-kebijakan yang properempuan juga masih jauh dari harapan padahal seharusnya kita sadar bahwa mereka yang terpilih itu adalah atas nama pemilih perempuan yang menurut beberapa survei mencapai 57% pemilih.
Di bidang hukum masih kerap kita temui perilaku aparat dan aturan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan. Apalagi di bidang pelayanan publik dan akses terhadap keadilan, selain masih jauh dari memadai, para korban ketidakadilan justru menjadi korban kembali dari sikap-sikap maskulin para pelayan publik itu. Apalagi kalau kita bicara dari sudut perbedaan-perbedaan sosial politik lain yang kerap menjadi dasar kebijakan yang bukan saja diskriminatif, melainkan juga menciptakan berbagai konflik dan kekerasan termasuk kekerasan terhadap perempuan serta mengancam integrasi bangsa. Masalah itu terkait pula dengan usaha reformasi birokrasi yang tentunya mengacu pada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik: transparan, akuntabel, adil, berwawasan lingkungan, gender, dan hak asasi manusia (HAM). Penunjukan Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara EE Mangindaan yang juga mantan ketua Komisi II DPR yang baru saja menyelesaikan UU Pelayanan Publik, adalah wujud komitmen presiden atas reformasi birokrasi yang patut kita dukung.
Agenda kesejahteraan rakyat haruslah menjadi prioritas kabinet baru sehingga kita tak lagi mendengar seorang ibu atau bapak terpaksa bunuh diri karena tak sanggup memberi makan dan membayar uang sekolah anaknya atau karena ditolak rumah sakit karena tak mampu membayar uang pengobatan ataupun bayi-bayi yang busung lapar. Penurunan angka pengangguran, peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas hidup
(pendidikan, kesehatan, sanitasi, dan ketahanan pangan) yang merupakan komponen utama IPM adalah wujud akhir dari usaha-usaha perbaikan kesejahteraan rakyat. Pencanangan End of Poverty Day pada 18 Oktober yang lalu serta pencapaian tujuan-tujuan MDGs hendaknya menjadi kerangka kerja kabinet baru ini.
Penegakan hukum
Yang tidak kalah pentingnya adalah agenda penegakan hukum terutama yang terkait dengan masalah pemberantasan korupsi, akses keadilan bagi si miskin masalah-masalah layanan hukum lainnya khususnya perbaikan kondisi lembaga-lembaga pemasyarakatan kita yang merupakan salah satu cermin penghormatan kita terhadap HAM. Penyelesaian masalah pelanggaran HAM era rezim Soeharto khususnya yang terkait dengan korban peristiwa pembantaian dan pembunuhan politik 1965 serta kompensasi bagi korban sangat penting untuk segera diselesaikan. Karena hanya dengan begitu kita bisa tegak berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain dan menatap masa depan dengan lebih percaya diri.
Penegakan hukum merupakan wujud penghormatan terhadap rule of law yang merupakan dasar bernegara kita. Penataan kembali sistem perwakilan termasuk penyelenggaraan pemilu sehingga pelanggaran-pelanggaran HAM terkait dengan pemilu seperti kekisruhan DPT dan cara penghitungan suara adalah agenda penting lainnya yang harus dibenahi. Tak perlu menunggu menjelang Pemilu 2014 karena saat ini kita akan menghadapi kurang lebih 500 pilkada sampai 2014 dan DPT adalah hal mutlak yang harus segera diperbaiki. Pasalnya, banyak perempuan tidak saja kehilangan hak pilih tapi juga kehilangan kursi karena tidak koherennya sistem pemilu yang diterapkan dengan sistem penghitungan perolehan kursi yang digunakan KPU.
Padahal keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan penting merupakan komitmen para anggota PBB sejak dua dekade yang lalu ketika penelitian di banyak negara membuktikan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara tingginya keterwakilan perempuan dan kesejahteraan rakyat. Hal itu telah dibuktikan negara-negara Skandinavia yang selalu menduduki posisi teratas dalam IPM yang dikeluarkan UNDP.
Sebagai penutup, komitmen politik Presiden Yudhoyono ketika menentukan para pembantunya dianggap banyak kalangan sebagai sikap kompromistis dan akomodatif terhadap partai-partai pendukungnya. Oleh karenanya, kinerja pemerintahan ini harus diperkuat dengan komitmen yang lebih ideologis yang mengacu pada pembukaan konstitusi kita.
Oleh Nursyahbani Katjasungkana, Anggota DPR periode 2009-2014, pegiat hak perempuan
Opini Media Indonesia 27 Oktober 2009