Ternyata, kepicikan dan keangkuhan primordial cenderung melahirkan patriotisme hitam. ”Benar atau salah, tetap patriaku.” Mental antikritik dalam paham ini membentuk watak defensif. Bahkan, kritik konstruktif pun dianggap cambuk, bukan langkah perbaikan. Ulah A Hitler termasuk wujud patriotisme hitam.
Penolakan kritik-kritik konstruktif termasuk salah satu ciri khas patriotisme hitam yang menganggap diri superior dan serba berkecukupan. Harga diri terlampau tinggi. Sikap saling tergantung dan kerja sama antarbangsa tak dirasa penting.
Patriotisme lebih mengandalkan desakan emosional dan sentimental dalam memecahkan isu-isu kebangsaan. Rasionalitas berbangsa diungkap melalui aneka seruan dan aksi-aksi sesaat yang biasanya merebut simpati massa. Pemaknaan patriotisme masih sebatas dimensi fisis. Kedangkalan paham patriotisme bisa mengerdilkan sosialitas sebuah bangsa.
Proses degradasi makna patriotisme terjadi pada abad ke-19 dan ke-20. Langgam sastra kalangan peminat karya McGuffey (abad ke-19) menelaah patriotisme sebagai kebajikan yang bisa dicapai melalui jerih payah manusia. Kebajikan pada hakikatnya ada di tengah dan tidak jatuh pada salah ekstremisme. Kesetiaan kepada Tanah Air tecermin dari gaya hidup dan pengambilan keputusan penting di Tanah Air.
Setelah Perang Dunia II, terutama sejak 1960-an, patriotisme cenderung ke arah kejahatan (vice) imoral. Perbedaan ideologi, filsafat hidup, dan cara pandang menghambat keserasian kerja sama antarbangsa. Sikap saling curiga, cemburu, dan pengotak- ngotakan mewarnai hidup berbangsa. Konflik dan pergesekan sosial meretakkan hubungan individual dan sosial. Perbenturan sosial kerap memicu kekacauan sosial.
Sebagai kebajikan, patriotisme merupakan salah satu wujud kecintaan dan kesetiaan pada bangsa tertentu. Peduli dan tanggung jawab atas keadaan dan kemajuan Tanah Air termasuk dimensi konstitutif patriotisme. Keunikan, kekuatan, dan prestasi Tanah Air tetap dipelihara. Moralitas dan kearifan lokal sebuah bangsa dijunjung sehingga kepribadian bangsa itu disegani dunia (A MacIntyre, Is Patriotism a Virtue?, 2003, 286-300).
Umumnya diskursus tentang neopatriotisme terpaut konteks lokalitas, nasionalitas, dan internasionalitas yang memuat kerumitan sosial, ekonomi, politik, geografi sebuah bangsa. Rentetan ideologi (konstruktif maupun destruktif) merembes ke seluruh Tanah Air. Orientasi berbangsa mulai membias.
Dampak primordialisme dan sektarianisme seputar masalah etnis, budaya, dan agama menjadi agenda khusus neopatriotisme. Doktrin asing yang subversif bisa secara sistematis dan strategis memadamkan roh persaudaraan, kerukunan, dan kesatuan bangsa. Komitmen seorang patriot selalu diuji. Tak tersangkalkan pentingnya EWS untuk mendeteksi setiap gerakan sosial supaya cita-cita dasar bangsa kita tidak disingkirkan.
Kebaruan patriotisme ini tak hanya sebatas kesatuan Tanah Air, bangsa, dan bahasa (bandingkan Sumpah Pemuda, 28/10/1928), tetapi mencakup komitmen integral pada idealisme, ideologi, visi, dan semangat bangsa sejak kemerdekaan. Kebaruan patriotisme ini berupa sebuah kelanjutan konsensus dan komitmen nasional yang memasuki dimensi kerohanian bangsa.
Persaudaraan bangsa tidak lagi semata- mata ditentukan dimensi primordialitas (garis keturunan darah atau bahasa daerah), tetapi oleh kesetiaan pada semangat perjuangan dan cita-cita pembentukan negara kita seperti yang diilhami Sumpah Pemuda.
Dalam cahaya Sumpah Pemuda, semestinya kita meninjau ulang tanggung jawab utama negara yang menjamin kesejahteraan rakyat sesuai asas keadilan, melindungi dan menyelamatkan semua anak bangsa. Kepekaan sosial para pemegang kuasa tampak dalam kesetiakawanan sosial dengan segenap lapisan masyarakat. Tanah-air dan isi perut patria (hutan, tambang, kelautan) tidak lagi diperjualbelikan sesuka hati atau dieksploitasi tanpa mengingat hak generasi mendatang. Peningkatan profesionalitas putra/putri bangsa dalam semua sektor hidup sosial, termasuk cita-cita utama neoapatriotisme. Bagaimanakah patria kita sanggup tampil sebagai negara hukum yang sejahtera, kuat, bersih, berwibawa, dan tidak dibodohi ideologi-ideologi asing yang menyesatkan dan menghancurkan?
(Ke)Indonesia(an) yang raya amat dipengaruhi sumpah nenek moyang tahun 1928 dan mengubah paradigma putra-putri bangsa dalam proses lebih mencintai dan setia kepada Tanah Air dalam sepak terjang harian. Mengapa masih banyak rakyat yang cenderung belanja, berobat, dan ”selamatkan” duit di luar negeri? Bukankah negara telah dibanjiri mal, supermarket, rumah sakit, dan bank-bank? Bagaimana Susilo Bambang YudhoyonoBoediono (staf menteri, segenap penegak hukum, dan aparat pemerintah di Jakarta dan daerah) sanggup membangkitkan dan meningkatkan rasa kepercayaan rakyat dan dunia atas kekuatan RI?
Wacana Kompas 28 Oktober 2009