27 Oktober 2009

» Home » Kompas » NTT, Provinsi Terabaikan?

NTT, Provinsi Terabaikan?

Mungkin sudah menjadi nasib rakyat Nusa Tenggara Timur. Stigma ”kemiskinan” yang melekat di benak membuat NTT dipelesetkan menjadi Nasib Tidak Tentu dan kini diperparah dengan meledaknya ladang minyak di Laut Timor, 21 Agustus lalu.
Informasi yang dikutip dari Bloomberg, 22 Oktober, menyebutkan, ledakan ladang minyak itu mengotori Laut Timor dengan minyak sekitar 10 juta liter atau 63.000 barrel.


Sayang di Indonesia, hiruk-pikuk politik—rangkaian pemilu hingga pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, bencana gempa di Tasikmalaya dan Sumatera Barat—telah mengesampingkan insiden yang berdampak pada pencemaran lingkungan dan ekosistem di sebagian wilayah Indonesia.
Rakyat Rote Ndao, Sabu, Timor (Barat dan Leste), Sumba, dan Alor menjadi korban dan terabaikan, tidak dapat mengonsumsi ikan dan/atau menjual hasil laut. Saat ini petani rumput laut di Kecamatan Rote Timur mengaku harga rumput laut sudah tercemar sehingga harga jualnya turun drastis. Dulu harga terendah Rp 20.000 per kilogram, kini anjlok sampai Rp 5.000 per kilogram (Timor Express, 24/10/2009). Di Australia, insiden ini menjadi isu nasional (pemerintah dan parlemen) dan internasional (Timor Gap: Australia dan Timor Leste).
Perairan sengketa
Sebenarnya Laut Timor masih menjadi perairan sengketa antara nelayan Rote (Indonesia) dan Pemerintah Australia. Hal itu terekam dalam buku Trobled Water karya Dr Ruth Balint—seorang ahli sejarah, dosen di Universitas New South Wales, Australia. Buku itu diterjemahkan oleh Prof Dr Mia Noach dan Dr Yusuf L Henuk.
Laut Timor yang berbatasan langsung dengan Australia mengandung dua masalah pokok.
Pertama, gugusan Pulau Pasir dengan ”MoU Box”. Kedua, Celah Timor yang telah lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak tahun 1999 seiring dengan berdirinya negara Republica Democratica de Timor Leste.
Kedua masalah ini lahir dari persetujuan antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia (semasa Orde Baru) pada tahun 1972 dan 1974. Lahirnya persetujuan ini menyebabkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil dari Australia dan Indonesia tumpang tindih.
Seharusnya ZEE 200 mil ditetapkan dan diikuti penentuan garis tengah sesuai ketentuan yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982. Konon Perjanjian tahun 1974 dilanjutkan dengan penandatanganan 11 Desember 1989 sebagai upaya diplomasi ”ambil dan beri” agar Pemerintah Australia tidak memasalahkan isu integrasi Timor Timur ke dalam NKRI.
Almarhum Prof Herman Johannes (mantan Rektor UGM dan anggota DPA) menulis, ”Kita sudah kebobolan dengan Agreed Seabed Boundary tahun 1972.” Nugroho Wisnumurti, Direktur Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri, sebagai ketua tim perunding dari pihak Indonesia, mengaku, garis batas persetujuan tahun 1972 kurang menguntungkan Indonesia.
Garis batas laut antara Indonesia dan Australia seharusnya mengikuti Garis Tengah. Namun, menurut persetujuan tahun 1972 yang tidak dimintakan ratifikasi kepada parlemen Indonesia, garis batas laut itu masuk jauh sekali ke sebelah barat mendekat bibir pantai Pulau Timor.
Akibat kebodohan ini adalah Australia telah mengebor sumur-sumur minyak (Sunrise dan Troubador) di pojok antara batas timur laut daerah Timor Gap dan Agreed Seabed Boundary 1972.
Siapa yang paling rugi?
Nelayan Indonesia asal Rote-lah yang menderita dan dirugikan. Kerugian langsung adalah mereka tidak leluasa lagi mencari nafkah sampai di pulau pasir yang telah dilakukan ratusan tahun lalu sebelum bangsa Eropa memperluas hegemoni emperor mereka yang dikenal dengan Gold and Glory.
Peluang untuk mendapat bagian dari pendapatan sumber-sumber minyak yang tergantung di wilayah Timor Gap hilang begitu saja.
Dalam usulannya, Prof Johannes mengatakan bahwa bila mau menggunakan UNCLOS tahun 1982 tentang ZEE 200 mil, sebaiknya Indonesia menuntut pembagian hasil minyak dan gas di Timor Gap yang seimbang, yaitu 50 persen : 50 persen, saat Timor Timur masih bagian dari NKRI.
Alhasil, saat ini Indonesia sudah jatuh malah tertimpa tangga, yakni dampak dari pencemaran lingkungan dan ekosistem. Sekiranya, 17 wakil rakyat di DPR dan DPD mendesak pemerintah pusat agar merundingkan kembali Perjanjian Timor Gap yang adil, semata-mata untuk mengembalikan hak-hak rakyat Rote dan Timor sebagai bagian dari anak bangsa, sekaligus membangun Indonesia dari NTT melalui potensi laut yang berlimpah.
Putra-putra terbaik NTT yang turut serta membangun fondasi bangsa ini, antara lain turut memberi inspirasi sila-sila Pancasila—saat Bung Karno diasingkan di Ende—selalu tidak nakal, tidak mengharapkan belas kasih, termasuk jabatan menteri, tetapi sekadar menuntut kewajiban pemerintah agar hak-hak rakyatnya dipenuhi.
Di lain pihak, rakyat NTT dan para pejabat, mulai dari kabupaten/kota hingga provinsi, harus mengubah paradigma pola pikir melalui gerakan Nasib Tergantung Tindakan/NTT (kerja keras dengan kinerja terukur, bukan wacana dan slogan), Namun Tetap dalam Tuhan (NTT).
Florencio Mario Vieira Pemerhati Timor Timur; Anggota Forum Kawasan Timur Indonesia; Tinggal di Kupang
Opini Kompas 29 Oktober 2009