Universitas Global Berakar Keindonesiaan
Oleh: Adig Suwandi
BOLEH dikatakan, tidak ada sentimen negatif berarti ketika Muhammad Nuh diiumumkan menjadi menteri pendidikan nasional. Kompetensi berorganisasi sejak usia muda, pengalaman panjang dengan reputasi sangat bagus ketika menjabat rektor ITS, serta terakhir menjadi menteri komunikasi dan informasi, merupakan modal sangat bagus dalam mengemban amanah pada jabatan baru.
Namun, kapabilitas Nuh membawa pendidikan Indonesia menjadi jauh lebih bermutu dan mendapat recognition komunitas global tampaknya harus dibuktikan dalam beberapa hari mendatang. Kemampuannya membangun teamwork dan menumbuhkan spirit baru bagi para penyelenggara pendidikan nasional berikut dukungan terhadap program yang diagendakan akan sangat menentukan derajat keberhasilannya.
Publik paham begitu panjang daftar negatif yang diselesaikan Mendiknas. Misalnya, sistem pendidikan yang cenderung karut-marut, tidak terintegrasi, berkorelasi negatif terhadap dunia industri. Juga hasil-hasil penelitian bagus tak connect dengan aktivitas serupa di dunia lain. Pada tingkat pendidikan tinggi, beberapa universitas berambisi mencapai kualifikasi sebagai global university. Sejumlah kerja sama didesain, mulai penyelenggaraan pendidikan secara sandwich, dual degree, hingga penelitian bersama. Upaya tersebut secara logika dapat dibenarkan, tetapi menuai kritik di banyak tempat. Akuntabilitas publiknya digugat karena muncul kesan kurang memperhatikan identitas nasional dan terlalu bias ke kapitalisme yang merupakan sisi buram desain global university. Besarnya biaya pendidikan yang makin jauh dari kemampuan finansial rata-rata orang tua mahasiswa juga sisi negatif lain. Era badan hukum pendidikan diinterpretasikan publik tak lebih sebagai privatisasi sistematis penyelenggaraan pendidikan. Pola serupa bahkan sudah merambah ke jenjang SMA dan SMP melalui kedok proyek rintisan sekolah berstandar internasional.
Di tengah rendahnya kemampuan rektorat mencari sumber-sumber pendapatan yang dapat digali melalui penelitian, kerja sama pengabdian masyarakat, dan kegiatan lain yang dapat menjadi profit centre, mahasiswalah ujung tombak beban pembiayaan kampus. Isyarat tersebut diperkuat oleh banyaknya jalur masuk universitas yang berkonotasi langsung perbedaan level besarnya kontribusi finansial yang harus dibayar. Memang, ada jalur murah melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNM PTN) dan beasiswa bagi keluarga kurang mampu. Namun, jumlahnya relatif kecil sehingga secara kumulatif belum sepadan dengan kebutuhan indikatifnya.
Keluaran pendidikan juga masih merupakan persoalan konvensional. Tidak adanya keterpaduan antara kurikulum dan dunia kerja menjadikan alumni memerlukan adaptasi dan orientasi selama beberapa bulan. Terhadap pernyataan tadi, universitas berdalih bahwa pendidikan tinggi memang didesain tidak untuk menghasilkan tukang dengan keterampilan khusus. Namun, para siap dilatih. Setelah berhasil beradaptasi, diharapkan mereka dapat bekerja secara profesional.
Persoalan lain yang perlu mendapat perhatian Nuh barangkali adalah pembukaan program studi pada sejumlah universitas yang cenderung mengikuti angin, tanpa antisipasi cermat terhadap kebutuhan dan proyeksi tenaga kerja di masa-masa mendatang. Kini sejumlah universitas dan lembaga penyelenggara jasa pendidikan lain beramai-ramai membuka program studi yang berhubungan deangan kedokteran, ilmu komputer dan teknologi informasi, sementara rumpun agrokompleks (pertanian, peternakan, perikanan, dan kehutanan) kehilangan pamor. Yang disebut terakhir, kalaupun mendapatkan mahasiswa, umumnya pilihan kedua dan ketiga dengan passing grade sangat rendah. Pada sejumlah universitas, bahkan kuotanya lebih rendah daripada peminat. Kondisi tadi sangat kontradiktif dengan tantangan bangsa untuk mewujudkan ketahanan/kedulatan pangan dengan menghilangkan sejumlah bahan pangan yang selama ini masih harus diimpor dari pasar global. Artinya, seorang menteri pendidikan nasional, mau tidak mau, perlu berkomunikasi intensif dengan menteri-menteri lain dan dunia usaha untuk mengetahui secara pasti bidang-bidang keahlian apa saja yang diperlukan bangsa untuk setidaknya 5-10 tahun mendatang ketika lulusan universitas masuk dunia kerja.
Bukan rahasia lagi kalau dewasa ini banyak sarjana menganggur, bahkan sebagian di antaranya lulusan magister. Kenyataan faktual lain, terdapat tenaga asing yang bekerja di sejumlah perusahaan nasional atau mutinasional yang beroperasi di Indonesia hanya karena orang kita sangat sedikit yang berkeahlian di bidang itu. Sebut saja bidang-bidang keahlian aktuaria, manajemen risiko, pertambangan, perminyakan, dan mitigasi bencana, yang terpaksa menyewa tenaga kerja asing dengan bayaran jauh lebih tinggi. Prediksi terhadap kebutuhan tenaga kerja mendatang menjadi sangat urgen dan tidak dapat ditunda.
Keterkaitan antara program studi dan kebutuhan dunia industri menjadi urgen untuk dipertimbangkan kembali. Cara-cara lama dalam melihat makna pendidikan mesti berubah secara fundamental meski sebuah universitas harus menyiapkan diri menjadi global university. Bangsa Indonesia perlu iri terhadap India yang alumni universitasnya menjadi pemimpin perubahan pada tingkat global. Tidak sedikit lulusan universitas/institut teknologi di India yang berhasil menjadi pemilik/eksekutif perusahaan global, pemikir ulung, dan guru besar pada sejumlah universitas terkemuka di Amerika Serikat dan Eropa, khususnya untuk bidang-bidang kedokteran, farmasi, teknologi informasi, dan manajemen. C.K. Prahalad mungkin salah satu dari pakar asal India yang mendapat pengakuan dunia karena kemampuannya dalam pemikiran manajemen kontemporer.
Upaya menjadi global university memang sangat relevan, tetapi tidak harus meninggalkan identitas kultural lokal dan keindonesiaan kita. Tuhan memberikan karunia kepada bangsa Indonesia akan sumber daya alam, agroklimat, keragaman budaya, dan manusia multietnis yang bila dikelola scara profesional dapat meningkatkan daya saing. Dalam banyak kasus, orang-orang Indonesia sangat kuat pemahamannya untuk matematika, namun lemah dalam penalaran. Refleksi atas sistem pendidikan yang cenderung menghafal dan menjadikan guru pemegang monopoli kebenaran sudah barang tentu tidak relevan lagi. Alasan inilah yang seharusnya menjadi landasan dalam redesain sistem yang lebih memberdayakan peserta didik. Pembentukan pribadi unggul dan berkarakter dengan akar keindonesiaan kuat tersebut mesti dimulai dari pendidikan bermutu tinggi dan murah dalam pembiayaan melalui keterlibatan negara. Selamat bekerja, Pak Nuh.
*) Adig Suwandi , pemerhati sosial-ekonomi, alumnus Cranfield University, Silsoe-Bedford, Inggris.
27 Oktober 2009
Catatan untuk Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh
Thank You!