27 Oktober 2009

» Home » Media Indonesia » Etika Koalisi Kabinet SBY

Etika Koalisi Kabinet SBY

LAYAKNYA sebuah kapal, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono sudah berlayar. Kapal yang dinakhodai SBY-Boediono ini didukung para anak buah kapal, yaitu para menteri sebagai pembantunya. Berbeda dengan anak buah kapal dalam pelayaran konvensional, para pembantu yang didominasi kader partai politik ini memiliki daya tawar tersendiri. Oleh karena itu, SBY merasa perlu membuat kontrak politik di antara partai koalisi. Tujuannya jelas, agar koalisi bukan sekadar berbagi kursi, melainkan komitmen agar tak ada dusta di antara partai koalisi seperti yang terjadi pada koalisi lalu.
Sebagai sebuah kontrak, ia mengikat sekaligus menjadi standar etika (fatsun) koalisi. Ia mengikat seluruh elemen yang melakukan kontrak. Dalam hal ini, PKS, PPP, PKB, PAN, Partai Demokrat, dan Partai Golkar berada dalam ikatan komitmen yang sama dalam merawat pemerintahan lima tahun ke depan.

Bahkan untuk memperkuat kontrak tersebut, SBY merasa perlu menekankan kembali seusai melantik 34 menterinya untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan partai politik, kelompok, atau golongan. Penekanan itu menunjukkan sebuah kekhawatiran, terutama berdasarkan pengalaman koalisi lalu, atas konsistensi koalisi parpol yang tergabung dalam KIB II.

Kontrak kekuasaan
Kontrak politik merupakan kontrak kekuasaan. Ia melekat sekaligus mengikat elite-elite kekuasaan untuk menjaga kepentingan mereka bersama. Kontrak itu bersifat terbatas dan elitis. Ia tak memiliki kaitan langsung dengan publik. Karena itu, kebijakan yang diambil elite-elite kekuasaan bisa dijalankan berdasarkan kesepakatan di antara mereka, tanpa harus terikat atau terpengaruh oleh aspirasi yang berkembang di ranah publik.
Persoalannya, kontrak politik antarparpol tersebut dibuat elite-elite partai yang eksistensinya tergantung pada suara rakyat, kecuali anggota kabinet yang jelas-jelas tidak dipilih rakyat pada pileg lalu. Sejauh mana legalitas kontrak politik tersebut harus dipertahankan bila berhadapan dengan problem rakyat yang telah menyerahkan suaranya kepada elite tersebut dalam pemilu lalu? Pertanyaan ini penting diajukan karena fungsi partai politik tidak sekadar penempatan kader-kadernya di tampuk kekuasaan (G Sartori; 1976), juga sebagai pertalian (linkage) antara masyarakat dan pembuat kebijakan (Epstein dan Lawson; 1980).
Kalau kontrak politik diarahkan untuk mengamankan kebijakan pemerintah dengan dukungan para kader parpol koalisi di DPR, ia akan memperkuat paternalisme kekuasaan (elitisme politik). Penekanan pada pendekatan top down akan menguat dan menempatkan aspirasi masyarakat sebagai realitas sekunder. Padahal yang diperlukan saat ini adalah semakin kuatnya daya ingat kekuasaan (negara) terhadap kontrak sosial sehingga masyarakat semakin merasa berkepentingan terhadap partai politik dan elite kekuasaan.
Kontrak sosial sebagai basis eksistensi partai politik dan seluruh elemen politik kekuasaan, mengharuskan adanya political will pada kepentingan (kontrak) sosial daripada keharusan mempertahankan kepentingan (kontrak) politik yang terbatas dan elitis. Dengan demikian, partai koalisi tak terjebak pada oligarki yang berpotensi muncul di tengah koalisi jumbo.

Kontrak sosial
Dalam sistem demokrasi, modal dasar kontrak sosial adalah dukungan yang diberikan masyarakat dalam pemilu. Suara rakyat bukan hadiah gratis dalam proses demokrasi. Ia merupakan ekspresi harapan yang begitu besar bagi kenyamanan hidup sebagai warga bangsa.
Harapan kolektif masyarakat yang tercermin dalam dukungannya terhadap partai politik dalam pemilu merupakan kontrak sosial yang tak bisa dikalahkan kontrak-kontrak lainnya, termasuk kontrak politik. Dan itulah basis ikatan sekaligus ranah etika partai politik dan kader-kadernya dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat.
Ketika terjadi pertentangan antara kontrak politik dan kontrak sosial, realitas sosial harus dikedepankan daripada realitas politik. Hal itu karena kekuasaan politik bertopang pada kedaulatan rakyat (government by the consent of the people). Dengan pertimbangan itu, kontrak politik hanya mengikat selama kekuasaan berjalan kelindan dengan kepentingan masyarakat. Pertimbangan sosial yang dimaksud di sini terkait dengan kepentingan masyarakat luas, bukan kepentingan segelintir orang dengan modal besar.

Memperkuat otoritas
Jika melihat komposisi kabinet 2009-2014 dengan dominasi partai politik, memang sangat diperlukan kontrak politik. Ia menjadi detak nadi soliditas kabinet dan stabilitas kebijakan. Walaupun SBY memiliki modal kuat dengan dukungan partai yang dominan dan kemenangannya dalam pilpres dengan sekali putaran, tampaknya modal tersebut tak bisa digunakan sepenuhnya. Itu sekaligus menjadi sinyal awal betapa kuatnya kepentingan partai politik berhadapan dengan kekuasaan dan, tak menutup kemungkinan, akan mewarnai perjalanan pemerintahan SBY ke depan.
Walaupun dalam perjalanannya nanti terjadi reshuffle, penggantiannya pasti mempertimbangkan asal parpol kabinet yang dirombaknya. Di sinilah dilema koalisi. Satu sisi, koalisi dengan kontrak politiknya mengikat parpol, tapi di sisi lain ia mengekang prerogatif presiden dalam menentukan kabinetnya. Oleh karena itu, tanpa mengurangi kekuatan kontrak politik koalisi, Presiden bisa memperkuat otoritas dan legitimasi kebijakannya melalui komunikasi dan interaksi dengan partai politik lainnya yang tidak berkoalisi, kekuatan-kekuatan civil society, dan masyarakat luas, terutama dengan para pemilihnya.
Hal tersebut sangat mungkin dilakukan karena dua pertimbangan. Pertama, ekspektasi masyarakat yang masih tinggi. Menurut sebuah survei, ekspektasi masyarakat terhadap pemerintahan SBY-Boediono mencapai 87,1% (Kompas, 19/10/09). Ekspektasi itu merupakan ekspresi optimisme terhadap pemerintahan kedua SBY berdasarkan track record yang lalu. Kedua, persentase pilihan masyarakat secara langsung pada pilpres lalu dengan sekali putaran merupakan modal legitimatif-formal yang cukup kuat dan absah bagi perjalanan pemerintahan SBY.
Semua ini kembali pada Presiden untuk memaksimalkan atau tidak terhadap hak prerogatifnya dalam menakhodai pemerintahannya. Dan yang lebih penting lagi, Presiden harus memastikan bahwa pilihan rakyat terhadap dirinya pada pilpres lalu tak salah atau terselewengkan. Hanya dengan itu, kapal pemerintahan SBY-Boediono akan berlabuh di hati rakyat. Semoga.

Oleh A Bakir Ihsan, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat
Opini Media Indonesia 27 Oktober 2009