Sebagai sumber daya manusia, mereka rentan terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan, ancaman deportasi, tetapi di lain pihak konvensi internasional haruslah melindungi hak-hak para pekerja migran
Para menteri kabinet presiden SBY telah diumumkan. Khusus Menteri Tenaga Kerja masih meninggalkan begitu banyak persoalan terutama yang terkait dengan nasib para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri.
Ironi telah terjadi sementara kita mengatakan bahwa para tenaga kerja indonesia yang bekerja di luar negeri adalah para pahlawan devisa karena pada tahun 2008 misalnya kontribusi mereka berupa kiriman uang ke tanah air (remittance) meliputi Rp 14 triliun, suatu jumlah yang tidak kecil.
Namun nasib mereka seakan-akan ditentukan oleh ”kebaikan” hati majikan tempat mereka bekerja. Hal tersebut mencerminkan minimnya perlindungan hak-hak mereka dimata hukum, kasus penyiksaan beberapa TKI di luar negeri adalah korban ke sekian dari rangkaian kejadian yang mudah-mudahan tidak akan terulang kembali.
Berbagai hal antara lain pemaksaan dan pelecehan seksual, kekerasan dan eksploitasi, diskriminasi hukum ketika mereka tinggal sebagai pekerja tampaknya tidak akan begitu saja dengan mudah diselesaikan secara sepihak oleh pemerintah RI, ataupun sebagai upaya penyelesaian secara bilateral dengan pemerintah tempat para TKI tersebut bekerja (host countries).
Para TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) amat rawan terhadap eksploitasi yakni gaji yang tidak diberikan, jam kerja panjang tidak normal, kekerasan domestik, maupun pelecehan seksual karena mereka adalah orang asing yang bekerja di wilayah privat/ domestik, dan nasibnya sangat tergantung kepada para majikannya.
Bahkan di berberapa negara yang menjadi tujuan para TKI, secara yuridis pemerintah negara yang bersangkutan memberikan semacam kekuasaan penuh di teritori masing-masing rumah tangga majikan para TKI.
Hal ini berarti kontrol publik terhadap teritori rumah tangga masing-masing majikan TKI amat minim. Jadi hal ini sangat berbeda jauh dengan di Indonesia, para tetangga sebuah rumah tangga dapat juga berperan sebagai ”kontrol” publik terhadap para tetangganya.
Tiglao (2000), seorang wartawan Filipina yang meneliti masalah tenaga kerja Filipina maupun Asia lainnya mengatakan perlunya kontrak kerja yang dijamin oleh pemerintah negara majikan (host country) untuk melindungi hak-hak para pekerja domestik/PRT di negara asing. Tanpa adanya hal ini, mereka sangat rawan terhadap berbagai tindak eksploitasi dan kekerasan.
Berbagai pengalaman tersebut di atas tidak saja dialami oleh para pekerja migran asal Indonesia, namun juga oleh Filipina maupun Sri Langka. Hal tersebut menumbuhkan suatu kepedulian internasional terhadap hak-hak para pekerja migran di seluruh dunia terhadap berbagai bentuk eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi di tempat kerja. Barangkali kita perlu belajar dari pengalaman pemerintah Filipina yang terkenal sangat gencar membela para pekerja migrannya.
Maklum karena jumlah mereka 7,5 juta orang dan tersebar di 140 negara asing, bahkan kontribusi ekonomi mereka sangat signifikan karena seperenam GDP Filipina atau sekitar 8 miliar dolar AS per tahun disumbang oleh para pekerja migrannya. Berbeda dengan Indonesia, para pekerja migran Filipina bervariasi mulai dari PRT, penghibur, pekerja konstruksi, kru kapal, guru dan dosen, klerk perkantoran, manajer dan sebagainya.
Perspektif Internasional
Dalam perspektif internasional, jumlah para pekerja migran di seluruh dunia tercatat 175 juta orang, jumlah ini merupakan 3% dari total populasi penduduk di dunia saat ini. Keprihatinan terbesar para pekerja migran ini adalah minimnya perlindungan hak-hak hukum mereka di negara asing tempat mereka bekerja beserta keluarganya.
Kecenderungan terbentuknya blok-blok perdagangan ikut mendorong pergerakan pekerja migran sebagai konsekuensi ekonomis pergerakan kapital antar- kawasan dan negara. Di tempat yang investasinya tumbuh, kebutuhan terhadap sumber daya manusia beserta keahliannya ikut juga meningkat.
Data tahun 2001 dari World Development Report menyebutkan bahwa jumlah remittance atau uang yang dikirim ke tanah air para pekerja migran yakni masing-masing adalah sebagai berikut: India dan Mexico $ 10 miliar, Filipina $ 6,4 miliar, Maroko $ 3,3 miliar, Mesir $ 2,9 miliar, Turki $ 2,8 miliar, Lebanon $ 2,3 miliar dan Bangladesh $ 2,1 miliar.
Sebagaimana juga pada investasi akan mengalir ketempat yang menguntungkan, maka demikian juga para pekerja migran akan mengalir ke tempat yang menjanjikan peluang dan kesempatan kerja untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
PBB sebagai badan dunia atas desakan beberapa negara yang mempunyai pekerja migran telah menuangkan sebuah kesepakatan/perjanjian seperti tertuang dalam United Nations Treaty to Protect Migrant Workers No.857 tanggal 18 Desember 2002.
Substansi kesepakatan tersebut adalah (a) perlindungan hak-hak para pekerja migran, (b) membuat standardisasi perlindungan para pekerja migran, (c) kerja sama antarnegara untuk mengatasi penyelundupan pekerja ilegal dan perdagangan (trafficking) anak-anak dan wanita yang dilakukan secara ilegal.
Kesepakatan tersebut ditandatangani 98 negara dan 33 negara lainnya sebagai pengamat. Kesepakatan tersebut kemudian diperluas menjadi (a) menjunjung martabat para pekerja migran (uphold the human dignity and well-being of migrants), (b) mendorong pembangunan sosial ekonomi melalui migrasi (encourage social & economic development through migrations), (c) membantu tantangan operasional migrasi para pekerja (assist in meeting operational challenge of migration), d) memajukan pemahaman tentang masalah migrasi (advance understanding of migration issues). (80)
—Vincent Didiek WA, Guru Besar Manajemen Internasional Program Pascasarjana Manajemen Unika Soegijapranata Semarang
Wacana Suara Merdeka 26 Oktober 2009
25 Oktober 2009
» Home »
Suara Merdeka » Nasib Pekerja Migran Internasional
Nasib Pekerja Migran Internasional
Thank You!