25 Oktober 2009

» Home » Kompas » Menunggu Aksi Tim Ekonomi

Menunggu Aksi Tim Ekonomi

Dengan segala ”kegaduhan” yang menyertainya, kabinet baru terbentuk. Pasar finansial tidak terlalu antusias menyambut kabinet. Rupiah dan indeks harga saham gabungan cenderung stagnan, bahkan agak melemah. Mengapa?
Pertama, beberapa muka baru pada posisi kurang tepat. Sebagus apa pun kapasitas dan potensi menteri, jika tidak pada pos yang tepat, akan menyebabkan kecanggungan. Namun, kita lega karena masih ada Sri Mulyani Indrawati dan Mari Elka Pangestu.


Masuknya Armida Alisjahbana juga melegakan. Meski pasar tak terlalu mengenalnya, putri mantan Menlu Mochtar Kusumaatmadja ini sudah diketahui kapasitasnya. Bahkan, ada harapan, di tangannya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bisa kembali ke jalurnya sebagai perencana pembangunan nasional. Berbekal ilmu ekonomi yang kuat, Armida melengkapi ”trio srikandi” ekonomi, Ani-Mari-Armida. Inilah kejutan yang menumbuhkan asa dalam kabinet ini.
Kedua, bergemingnya pasar finansial boleh jadi karena sudah pada titik ekuilibrium baru. Belakangan rupiah pada kisaran stabil Rp 9.300-Rp 9.500 per dollar AS. Indeks harga saham gabungan (IHSG) pun mulai stabil di level 2.500-an. Pasar tampaknya belum melihat alasan kuat untuk melanjutkan penguatan rupiah dan IHSG.
Semula memang sempat timbul keyakinan, jika kabinet baru sesuai ekspektasi pasar, rupiah akan menyentuh Rp 9.000 dan IHSG melambung ke 2.700. Sayang, momentum pembentukan kabinet tidak dapat dioptimalkan. Kini pasar harus sabar menanti momentum lain—misalnya kinerja kabinet—agar rally rupiah dan saham dapat berlanjut.
Program jangka pendek
Program 100 hari kabinet dibuat Wakil Presiden Boediono dan timnya, yang dikoordinasi Kuntoro Mangkusubroto. Bisa dipastikan, Wapres Boediono akan lebih berkonsentrasi pada upaya mewujudkan stabilisasi dalam jangka pendek. Secara realistis dan pragmatis, selama 100 hari pertama kabinet ekonomi, belum banyak hal fundamental bisa dilakukan, kecuali menstabilkan sejumlah indikator ekonomi makro. Memang, kabinet ekonomi kali ini cukup ”beruntung” karena sejumlah indikator ekonomi sedang berkinerja baik. Rupiah yang kuat dan stabil akhir-akhir ini adalah hasil kombinasi melemahnya dollar AS dan sentimen positif yang tumbuh atas perekonomian domestik kita.
Dollar AS melemah karena pasar melihat defisit anggaran pemerintah Federal mencapai rekor tertinggi 1,4 triliun dollar AS dan tidak mudah membiayainya. Harapan untuk menutup defisit sebesar ini adalah jika Pemerintah China mau menolong dengan ”memborong” surat berharga yang diterbitkan Pemerintah AS.
Kini cadangan devisa China kian besar, mencapai rekor tertinggi 2,2 triliun dollar AS. Begitu pentingnya China sebagai penyelamat perekonomian AS dan global, sampai-sampai Presiden Obama menolak menemui Dalai Lama di Washington DC. Obama mau mengambil hati Pemerintah China agar mereka mau membeli obligasi guna pemulihan ekonomi melalui paket stimulus fiskal. Keraguan terhadap perekonomian AS ini menjadi alasan kuat yang menyebabkan dollar AS melemah dan sebaliknya rupiah menguat.
Di sisi lain, perekonomian Indonesia sedang dipersepsikan positif oleh pelaku ekonomi, khususnya asing. Modal utamanya adalah kombinasi antara stabilitas ekonomi dan politik. Stabilitas ekonomi ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang positif (tahun 2009 diyakini minimal 4,3 persen, yang hanya kalah dibandingkan dengan China yang diperkirakan 7,0 persen dan India sekitar 6,0 persen). Artinya, perekonomian Indonesia tetap stabil.
Sementara stabilitas politik didemonstrasikan melalui sukses dua pemilu, yang diikuti keberhasilan menumpas terorisme sehingga menumbuhkan rasa aman lagi. Inilah yang membuat modal asing masuk deras meski masih jangka pendek.
Dalam 100 hari ke depan, taruhlah hingga akhir 2009, saya optimistis stabilisasi akan dicapai dengan baik. Kabinet ini cukup ”beruntung” karena memulai tugasnya pada saat mood terhadap perekonomian Indonesia sedang baik.
Soal stabilisasi harga diyakini dapat dikendalikan. Inflasi Januari-September 2009 2,38 persen. Hingga akhir 2009, inflasi diperkirakan 3,7 persen. Ini angka bagus karena dalam keadaan normal, inflasi kita biasanya di atas 6,0 persen.
Namun, jangan terlalu bangga dulu karena rendahnya inflasi juga bisa dimaknai rendahnya daya beli atau melemahnya gairah berkonsumsi. Karena itu, seiring membaiknya perekonomian global 2010, harus diantisipasi bahwa inflasi tahun depan bakal lebih tinggi. Namun, jika kita bisa menahannya pada level di bawah 6,0 persen, misalnya 5,0 persen, itu merupakan level bagus dalam upaya stabilisasi harga sekaligus tetap menjaga kegairahan berkonsumsi.
Jangka menengah
Sambil mengamankan program stabilisasi jangka pendek, kabinet ekonomi juga harus berancang-ancang ”tancap gas” untuk menjangkau sasaran jangka menengah dan panjang. Mau tidak mau, proyek infrastruktur harus dikedepankan sebagai ”panglima” penggerak perekonomian.
Kita banyak belajar dari perekonomian kawasan, kisah sukses Asia Timur praktis dimulai dan dipicu oleh pengadaan infrastruktur. Satu-satunya negara yang pertumbuhan ekonominya tinggi tetapi infrastrukturnya lemah cuma India. Selebihnya, emerging markets di Asia Timur dan Tenggara hampir semuanya meraih sukses karena dukungan infrastruktur kuat.
China adalah contoh garda terdepan. Di era Deng Xiaoping pada 1979, RRC memulai fondasi ekonomi dengan tiga hal. Pertama, membuka lebar-lebar perekonomian. Kedua, membuka zona ekonomi bebas guna mendorong ekspor. Ketiga, membangun infrastruktur besar-besaran dan dipergiat setelah tragedi Tiananmen akhir 1989.
Posisi Indonesia berbeda dengan China 1989. Saat itu China mengalami chaos dan kekacauan politik, lalu melakukan apa saja guna menegakkan perekonomian. Sedangkan kita kini diuntungkan stabilitas politik yang dapat menarik investasi.
Sebenarnya upaya menarik investor asing di bidang infrastruktur sudah dilakukan. Namun, hasilnya kurang menjanjikan. Saya mulai menyimpulkan, memang tidak mudah meminta swasta membangun infrastruktur. Terlalu mahal dan berisiko. Bank-bank pun cenderung enggan atau minimal superhati-hati.
Karena itu, kiranya pemerintah harus mengambil alih beban ini. Anggaran infrastruktur APBN yang ”hanya” sekitar Rp 76 triliun jelas kurang karena kebutuhan kita Rp 250 triliun (sekitar 5,0 persen terhadap produk domestik bruto/PDB kita yang sebesar Rp 5.100 triliun). China saja yang perekonomiannya sudah hebat kini masih getol membangun infrastruktur sampai 10 persen terhadap PDB.
Disarankan pemerintah ”pasang badan”. Injeksikan dana APBN hingga Rp 150-an triliun per tahun untuk infrastruktur. Ini memang akan membengkakkan defisit APBN, bisa melewati 2,0 persen atas PDB. Namun, sepanjang defisit itu teralokasikan dengan efektif, itu tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah jika defisit besar, tetapi dana dikorupsi.
Jika alokasinya benar untuk infrastruktur, kita pun kelak akan memanen beragam dampak. Kini, pemerintah harus berani membuat terobosan dan perlu mencanangkan sejak sekarang. Nanti sebelum kabinet ini berakhir pada 2014, panen investasi itu bakal dituai.


A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI
Wacana Kompas 26 Oktober 2009