Itulah pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.
Sinyal kekhawatiran akan disloyalitas menteri KIB II amat terasa. Dan ini wajar karena lebih dari separuh anggota KIB II berasal dari parpol. Inilah kabinet kompromi jilid II (kabinet presidensial citra rasa parlementer).
Wajar jika hari-hari ini mengemuka pertanyaan, dengan sukses elektoral Partai Demokrat lebih dari 20 persen pada pemilu legislatif dan lebih dari 60 persen pada pemilu presiden, mengapa Yudhoyono masih kompromistis dan bergantung pada parpol? Bukankah dalam sistem presidensial, pembentukan kabinet menjadi hak prerogatif presiden sehingga loyalitas dan garis pertanggungjawaban menteri hanya kepada Presiden? Faktanya, mandat rakyat dan dukungan kuat politik belum mampu membuat Presiden lebih bernyali untuk membentuk kabinet yang mengedepankan profesionalisme.
Pola pikir yang amat mementingkan keseimbangan dan harmoni politik menyebabkan Presiden cenderung ingin merangkul dan memuaskan semua kalangan. Inilah yang mendorong untuk mengakomodasi parpol-parpol dalam kabinet. Maka, Presiden cenderung tak menghendaki adanya ”oposisi” dan memerlukan pengaman (sekuritas) politik lima tahun ke depan dengan membangun koalisi sebesar-besarnya.
Maka, masuknya sejumlah figur di arus utama pengendali partai ke dalam kabinet, seperti Tifatul Sembiring (Presiden PKS), Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB), Suryadharma Ali (Ketua Umum PPP), Agung Laksono (Wakil Ketua Umum Partai Golkar), dan Zulkifli Hasan (Sekjen PAN), memperjelas kebutuhan politik sekuritas itu, meski penempatan para petinggi partai itu kurang sesuai dengan kompetensinya.
Melibatkan petinggi partai dalam kabinet memang berkorelasi mutualistik karena tidak hanya partai yang mendapat keuntungan akses kekuasaan dan keuntungan ekonomi-politik. Presiden Yudhoyono mendapat penguatan dukungan untuk memenuhi kebutuhan sekuritas politik dalam berhadapan dengan parlemen. Alasan kebutuhan sekuritas itulah yang mungkin mendorong pelibatan para petinggi partai dalam kabinet.
Perlu diingat, melibatkan petinggi partai dalam kabinet bak pedang bermata dua. Dilematis. Di satu sisi diharapkan memenuhi kebutuhan sekuritas politik, di sisi lain seperti membesarkan anak macan. Ini akan melahirkan loyalitas ganda para menteri yang juga petinggi parpol. Mereka harus loyal kepada presiden dan partai asal. Suatu saat, ini akan mengancam stabilitas dan soliditas kabinet.
Apalagi karakter partai-partai politik dalam berkoalisi terbukti tidak disiplin, amat oportunistik, dan pragmatis. Ini pula yang membuat presidensialisme periode pertama Yudhoyono dan kabinet sering terserimpung manuver parpol-parpol mitra koalisi. Kecenderungan ini akan kian meruncing pada tahun terakhir masa jabatan kabinet.
Apa implikasi loyalitas ganda? Partai mitra koalisi akan cenderung menggunakan politik dua kaki dalam menyikapi kebijakan pemerintah, bergabung di kabinet, tetapi juga berperan sebagai partai oposisi di DPR. Hak angket dan ancaman penarikan dukungan, misalnya, akan menjadi alat parpol untuk bernegosiasi dengan presiden.
Karena itu, kemenangan elektoral yang dicapai Yudhoyono pada Pemilu 2009 sejatinya belum layak dirayakan rakyat dalam konteks efektivitas demokrasi presidensial. Kemenangan itu baru layak dirayakan partai-partai yang tergabung ”kabinet kompromi” jilid II. Jika demikian, masih pantaskah kita berharap para menteri dari parpol memiliki loyalitas tunggal hanya kepada Presiden?
Hanta Yuda AR Analis Politik dan Peneliti The Indonesian Institute
Wacana Suara Merdeka 26 Oktober 2009