25 Oktober 2009

» Home » Republika » Mencermati Staffing Kabinet SBY

Mencermati Staffing Kabinet SBY

Spekulasi susunan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (KIB II) terjawab sudah. Pada 22 Oktober 2009, SBY telah melantik 34 menteri dan tiga pejabat negara setingkat menteri. Pro-kontra pun tak terhindarkan. Sorotan publik tertuju kepada motif politik SBY, berikut kapabilitas dan kapasitas menterinya. Disinyalir, SBY hanya berorientasi pada dukungan partai (power sharing ), sementara kemampuan dan pengalaman mereka kurang diperhatikan.
Mekanisme seleksi kabinet SBY
SBY kembali mendapatkan mandat politik untuk memimpin Indonesia. Dengan legitimasi konstitusional yang dimilikinya, SBY berhak untuk mengangkat para menteri yang akan membantunya mewujudkan harapan rakyat (Pasal 17 ayat 2 UUD 1945 dan UU No 39/2008).

Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan dua prasyarat pokok (Anas: 2009). Pertama, kecakapan pemerintah untuk menjalankan kewenangan, salah satunya, melalui proses rekruitmen kabinet yang tepat. Kedua, ketenangan dan konsentrasi pemerintah dalam melaksanakan tugas. Hal ini hanya bisa dijamin oleh koalisi politik yang kuat dan permanen. Tanpa koalisi yang kuat, ketenangan dan konsentrasi kerja pemerintah bisa terganggu. Kalangan partai yang masuk jadi menteri harus tetap profesional sesuai kebutuhan dan bidang keahliannya serta tidak melupakan kepentingan masyarakat.

SBY mencoba meyakinkan publik bahwa proses seleksi para menteri KIB II berjalan transparan dan akuntabel. Dimulai dari pembahasan visi dan misi pemerintah, selanjutnya ditentukan sasaran capaian dalam lima tahun mendatang yang dituangkan dalam program kerja 100 hari dan rencana aksi lima tahunan kabinet. SBY menerapkan konsep  the right person on the right place and the right time dengan mengakomodasi kemajemukan nusantara, dari segi agama, etnis, suku, gender, golongan, dan tetap mempertimbangkan keahlian serta wawasan agar kinerja kabinet menjadi efektif. Efektivitas dan keberhasilan kinerja kabinet juga sangat ditentukan oleh kemampuan presiden dalam mengarahkan langkah apa saja yang harus dilakukan secara radikal dan  increemental , merujuk pada kontrak kerja dan pakta integritas yang ditandatangani oleh para calon menteri.

Demi mewujudkan hal ini, diperlukan kabinet yang solid, yang merupakan kombinasi berbagai unsur kader partai koalisi dan profesional dan yang dapat bekerja sama serta bersinergis karena salah satu keberhasilan pemerintahan merealisasikan targetnya terletak pada kinerja birokrasi, di samping dukungan partai politik (Koppell, 2006). Profesionalitas, yang  acceptable , jauh dari resistensi partai politik koalisi, akan menjadi dasar pertimbangan utama sesuai target pemerintahan.

Para menteri ini nantinya akan dibantu oleh beberapa direktur jenderal yang merupakan pejabat eselon satu di suatu departemen. Seyogianya, mereka benar-benar orang yang ahli pada bidangnya, yang relevan dengan fungsi departemen itu, sehingga upaya perwujudan visi dan misi pemerintah dapat lebih terarah. Di sinilah peran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dalam mengembangkan pola pembinaan dan pengembangan karier serta penilaian kinerja yg memacu kinerja PNS sekaligus pemberian  reward and punishment yang relevan dengan kinerja. Sehingga, dapat menciptakan iklim yang kondusif dalam berkinerja bagi PNS, merangsang kemauan dan kemampuan PNS untuk mengembangkan diri dengan mengoptimalkan seluruh potensi yang dimilikinya agar dapat memberikan kontribusi yang optimal pada negara.

Kekeliruan dalam penempatan orang tentu dapat mengganggu akselerasi pencapaian target pemerintah SBY. Bila akhirnya kader partai koalisi diakomodasi dalam kabinet, jangan ditafsirkan sebagai bentuk etika politik atas dasar balas budi. Hal ini dilakukan SBY semata-mata untuk menjamin iklim kerja yang kondusif agar tujuan pemerintah dapat tercapai, dengan tetap mengedepankan integritas, komitmen, kompetensi, dan profesionalitas dalam bekerja. Karena, kerja lima tahun mendatang tidaklah ringan. Persoalan dalam negeri semakin kompleks hingga dibutuhkan kesiapan pikiran dan fisik untuk berpikir cerdas dan bekerja keras terhadap kepentingan rakyat. Kompromi politik tetap dibutuhkan demi kenyamanan dan ketenangan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Tantangan ke depan kabinet SBY
Susunan KIB II menunjukkan bahwa pemerintahan SBY didukung oleh enam partai koalisi pemerintah dengan menguasai 75,6 persen suara di DPR dan 24,4 persen kursi DPR di luar koalisi partai. Ini merupakan komposisi yang cukup ideal dalam sistem presidensial karena ada partai yang berperan sebagai penyeimbang pemerintah di DPR.

Meskipun koalisi parpol pendukung SBY di DPR lebih besar dibandingkan periode sebelumnya, tantangan kabinet baru jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Pemulihan segala aspek kehidupan rakyat, khususnya di domain ekonomi, sosial, dan budaya, tidak dapat diselesaikan hanya melalui diplomasi politik, melainkan harus dicari solusinya dengan langkah-langkah konkret para menteri yang berintegritas dan berkemampuan.

Terdapat beberapa tantangan besar yang dihadapi oleh para menteri KIB II (Prasojo, 2009 dan Haris, 2009) sebagai berikut. Pertaman, perkembangan politik yang ditandai dengan melemahnya fungsi parpol akan menyulitkan implementasi kebijakan dan program. Kedua, dalam sistem pemerintahan yang terdesentralisasi, fungsi menteri lebih banyak pada pembuatan norma, kebijakan, standar, kriteria, dan prosedur. Diperlukan komitmen untuk menciptakan  good governance . Ketiga, kemampuan SBY membangun relasi institusi dan kemitraan politik yang produktif dengan DPR. Keempat, kemampuan presiden memimpin dan mengelola potensi kabinet baru dalam rangka pencapaian visi, komitmen, dan janji kampanye politiknya. Kelima, kemampuan optimalisasi pemanfaatan APBN bagi peningkatan kesejahteraan rakyat serta pengurangan pengangguran dan kemiskinan.

Tantangan ini hendaknya menjadi momentum bagi SBY untuk membuktikan pesimisme masyarakat. Apakah kabinet ini mampu menjawabnya? Tergantung pada komitmen yang kuat dari presiden dan para menterinya untuk melakukan perubahan. Hendaknya kita tidak memberi penilaian sebelum kabinet ini bekerja. Hal yang paling penting adalah bagaimana meningkatkan kinerja pemerintahan. Pemerintahan yang efektif merupakan alat untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi yang ditandai dengan semakin membaiknya standar kehidupan masyarakat. Kini, saatnya untuk bekerja. Tunjukkan karya nyata untuk membangun Indonesia demi kesejahteraan rakyat. Selamat bekerja dan berkarya.

Oleh: Prof Dr Ernie Tisnawati Sule SE MSi
(Dekan dan Guru Besar MSDM FE UNPAD)
Opini Republika 26 Oktober 2009