Masyarakat dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak menginginkan izin usaha wisata 250 hektar di kawasan itu diserahkan kepada swasta karena dikhawatirkan akan merusak lingkungan. Apalagi pemerintah daerah merasa dilangkahi.
Namun, Menteri Kehutanan (lama) tetap mempertahankan izin yang sudah diterbitkan karena merasa memiliki otoritas. Kepongahan itu tecermin dari pernyataan Direktur Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) bahwa rekomendasi pemda hanya digunakan sebagai acuan (Kompas, 2/10/09).
Persengketaan Taman Wisata Alam Tangkubanparahu (TWA- TP) antara pusat dengan daerah dan masyarakat pecah. Perusahaan swasta yang mengantongi izin usaha TWA-TP pun berkeras melakukan kegiatan di lapangan. Gubernur Jabar lalu menghentikan pengelolaan TWA-TP (Kompas, 7/10/09). Inilah citra buruk pemerintah pusat.
Awalnya semua hutan di Pulau Jawa dikuasakan pemerintah kepada Perum Perhutani sebagai areal kerja. Dalam perkembangannya, beberapa lokasi, termasuk TWA-TP, dikeluarkan dari areal kerja Perum Perhutani. Namun, berdasar SK Dirjen Kehutanan No 133/Kpts/DJ/ 1980, TWA-TP tetap dikelola Perum Perhutani dalam bentuk penugasan. Penugasan itu berubah hanya berupa hak pengusahaan berdasarkan SK Menhut No 284/Kpts-II/1990 tanpa sosialisasi, pengawalan, maupun dukungan petunjuk pelaksanaan teknis memadai.
Entah mengapa, upaya pembenahan TWA-TP 2006-2007 oleh Perum Perhutani justru melahirkan aneka peringatan dari Dirjen PHKA dan berlanjut dengan pencabutan izin penguasaan lokasi wisata pada 22 Mei 2007 melalui Keputusan Menhut No SK 206/Menhut-II/2007.
Pengusahaan TWA-TP pada perusahaan kehutanan negara seperti Perum Perhutani adalah tindakan amat tepat. Dengan ribuan rimbawan, kendala permodalan menjadi masalah besar, selain profesionalitas usaha wisata yang harus ditingkatkan.
Perhutani menyadari hal itu. Tidak kurang dari 30 tenaga profesional wisata dilatih di bawah instruktur profesional dari AS tahun 2006-2007. Proposal pengembangan TWA-TP, yang dicanangkan akan mampu menghasilkan dana hingga Rp 10 miliar setahun tanpa merusak lingkungan, menggambarkan perusahaan kehutanan negara itu bersungguh-sungguh dalam mengelola masa depan TWA-TP.
Namun, langkah-langkah Perum Perhutani yang didukung Pemprov Jabar dan masyarakat wisata lokal itu kandas dengan terbitnya SK Persetujuan Izin Prinsip Pengelolaan TWA kepada sebuah perusahaan swasta. SK No S.508/Menhut-IV/2007 tertanggal 7 Agustus 2007 sesuai permohonan yang diajukan 22 Juni 2007. Yang mengherankan, ada keanehan dengan terbitnya izin prinsip menteri kepada swasta yang berjarak 40 hari. Bandingkan dengan permohonan Perum Perhutani saat itu kepada Menhut untuk perpanjangan izin penangkaran buaya di Jabar yang sudah lebih dari dua tahun dan tak kunjung terbit.
Sebuah permohonan baru tentu memerlukan penelitian mendalam dari berbagai pejabat berwenang dan memerlukan pendapat penguasa wilayah dan masyarakat. Apalagi TWA-TP ada di kawasan lindung.
Masyarakat pun bertanya, adakah agenda terselubung di balik kebijakan itu? Benarkah perkiraan orang bahwa kebijakan itu merupakan wujud ”perseteruan terselubung” Dephut-Perhutani? Ataukah karena ada nuansa KKN? Tidak ada yang bisa memastikan. Yang jelas, Gubernur Jabar telah memutuskan menghentikan pengelolaan TWA-TP meski hal ini akan dapat ”diselesaikan” dengan baik.
Apa pun akhir persengketaan pengusahaan lokasi wisata itu, tujuan utamanya: kelestarian konservasi ekosistem lingkungan. Eksploitasi TWA-TP harus proporsional sebatas daya dukung wisata dan dibatasi ambang kerusakan yang akan timbul sebagai ekses komersialisasi kawasan hutan lindung. Masyarakat lokal harus mendapat akses kesejahteraan material dan kultural. Pengusahaan TWA-TP harus melindungi tatanan budaya, estetika, dan keselamatan wilayah.
Kearifan pemerintah pusat selayaknya tecermin dalam kasus TWA-TP yang menyebabkan akibat negatif di lapangan selama dua tahun terakhir ini. Komunikasi harus diperbaiki dengan sedikit mengabaikan kewenangan absolut masing-masing yang telah biasa diketengahkan dalam setiap konflik. Kawasan wisata Tangkubanparahu harus diselamatkan. Biarkan ia hijau dan indah seperti adanya dan menjadi kebanggaan tatar Sunda.
Opini Kompas 23 Oktober 2009